Menempuh
Mudik Batin
Ahmad Sahidah ;
Dosen Filsafat dan Etika
Universitas Utara Malaysia
|
KORAN
SINDO, 31 Juli 2014
Pada
pertengahan Juni 2014, puluhan buruh migran ilegal meregang nyawa karena
tenggelam di perairan negeri jiran. Mereka ingin pulang kampung untuk
menunaikan puasa dan merayakan Lebaran.
Sebagai
pekerja tanpa dokumen resmi, mereka jelas tidak mempunyai pilihan selain
pulang dengan kapal tongkang melalui jalan tikus ke kampung halaman.
Malangnya, tekong dan pemilik kapal tak memikirkan keselamatan, karena moda
transportasi ini memang ilegal. Tak ada badan yang mengawasi sebagaimana
dilakukan pada maskapai penerbangan. Apa daya, pulang adalah cara mereka
menemukan jati dirinya.
Mudik
wajib ditunaikan. Hari-hari menjelang Lebaran, polisi Malaysia acap kali
menangkap buruh migran yang mencoba pulang melalui kapal yang tak selamat
itu. Operasi Ramadan dijalankan hingga akhir puasa untuk memastikan tidak ada
lagi pekerja Indonesia dan negara asing lain kembali ke negaranya melalui
jalur tidak resmi. Selain berisiko, peristiwa ini makin memburukkan negara
tetangga sebagai pusat perdagangan manusia (human trafficking).
Namun,
betapa pun pemerintahan jiran berusaha sekuat tenaga, selalu ada celah bagi
para pekerja ini untuk menerobos ketatnya penjagaan di pelbagai titik,
sebagaimana ini juga sering terjadi pada penyelundupan barang tanpa cukai.
Lagi-lagi, di hari ke-17 puasa, kapal tongkang karam. Dua orang meregang
nyawa. Namun demikian, pada masa yang sama, ada ratusan ribu pekerja yang
mudik dengan tenang karena mereka mengantongi izin kerja dan menggunakan moda
angkutan yang jauh lebih selamat.
Meskipun
mereka harus merogoh kantong lebih dalam untuk pulang, mengingat harga tiket
penerbangan naik tajam, kegembiraan berlebaran bersama keluarga di kampung
halaman jauh lebih bernilai. Pendapatan selama bekerja seakan-akan hanya
dihabiskan untuk membiayai kepulangan dan berhari raya bersama keluarga.
Setelah itu mereka kembali lagi bekerja. Sebuah lingkaran yang perlu diretas
agar nasib mereka beranjak dari pemenuhan kebutuhan dasar semata-mata.
Linguistik
Ferdinand
de Saussure, ahli bahasa, mengandaikan hubungan penanda dan petanda yang
lahir dari sebuah kesepakatan (convention).
Mudik sebagai penanda adalah berupa suara atau huruf yang mengandaikan konsep
tertentu, yaitu kepulangan orang dari rantau ke tanah kelahiran. Menjelang
hari raya, peristiwa ini betul-betul massal. Ada 27 juta orang dengan
pelbagai moda angkutan memenuhi jalan dan udara untuk pulang ke kampung
halaman.
Secara
konseptual, ia merujuk pada sistem kekerabatan dalam budaya kita, di mana
hubungan persaudaraan mesti dijaga. Mudik adalah salah satu cara untuk
mengekalkan tradisi turun-temurun. Tentu, makna mudik juga berkait dengan
medan semantik lain, seperti silaturahmi, ketupat, dan halalbihalal. Di
tengah semakin sedikit waktu untuk bertemu dalam keadaan santai, silaturahmi
mengandaikan perjumpaan manusia dalam keadaan riang.
Hubungan-hubungan
selama ini yang mengandaikan pekerja dan majikan tak lagi bekerja. Mereka
hadir sebagai manusia yang setara. Demikian pula, ketupat yang berasal dari
lepat , yang bermakna memaafkan kesalahan menunjukkan bahwa lambang ini bukan
sekadar penyeri Idul Fitri, tetapi juga kesediaan manusia untuk menerima
kekurangan orang lain. Pada akhirnya, mereka akan kembali bersua dalam momen
halalbihalal, yang menunjukkan secara terbuka bahwa masing-masing bersedia
untuk kembali merajut kebersamaan.
Tentu,
pengucapan selamat hari raya mohon maaf lahir dan batin, yang biasanya
diiringi kata minal minal aidin wal faizin meriuh. Kata keramat ini
berhamburan memenuhi udara. Ia meluncur begitu saja, tanpa kita bisa mengurai
makna yang paling dalam dari kata ini. Kata majemuk ini hadir untuk
melengkapi pertemuan di hari kemenangan.
Selebihnya,
kita tak pernah memeriksa adalah permohonan ini benar-benar dari batin?
Ketika ia hanya terucap secara lisan, maka penyakit hati seperti dengki,
hasut, dan iri hati tumbuh subur. Padahal, kesatuan dari wujud lahir dan
batin mengandaikan satunya kata dan perbuatan.
Arus “Ba(l)ik”
Mengingat
mudik itu tak melulu fisik, tetapi batin, mungkin tak arif memisahkan
keduanya. Hanya, kepulangan fisik menjadikan pemudik berisiko. Keadaan jalan
raya yang tak layak, pemeriksaan kendaraan yang tak terjamin, dan faktor
kelelahan karena macet membuat mereka terpapar pada kecelakaan.
Tak
ayal, laporan arus mudik dan balik selalu menyisipkan berita kemalangan yang
merenggut nyawa. Kendaraan terperosok karena jalan yang berlubang. Bus
terperosok ke jurang karena rem blong akibat pemeriksaan rutin yang
diabaikan. Bagaimana kejadian ini berulang setiap tahun, sementara
nilai-nilai puasa mengandaikan kesabaran, kejujuran, dan kesejahteraan?
Puasa
yang secara harfiah bermakna menahan diri (imsak) semestinya bergeser pada
makna epistemologis sebagai kemampuan menahan diri dari hawa nafsu biologis
dan hedonis. Tentu saja, kita bisa dengan mudah mengidentifikasi yang
pertama, tapi memeriksa yang terakhir, perilaku hedonisme, merupakan
tantangan karena pemuasan hawa nafsu terhadap materi acap kali dikaburkan
dengan perayaan hari raya.
Pasaraya
bersolek sedemikian rupa, seperti pemindahan suasana Timur Tengah di lantai
bawah: bangunan masjid, unta, dan padang pasir. Menjelang Lebaran, masjid dan
surau semakin sunyi, sementara pusat perbelanjaan semakin berseri. Ironis!
Padahal, selain pada akhir Ramadan malam Seribu Bulan mungkin turun, di 10
terakhir inilah, kita diselamatkan dari api neraka.
Malangnya,
alih-alih terelakkan, kita memasuki neraka lain, hedonisme. Betapapun kita
dianjurkan untuk mengakhiri puasa dengan Idul Fitri seraya menggunakan baju
baru, secara hakikat pesan moralnya bukan pada kebaruan pakaian, tetapi
penghormatan pada hari suci. Justru, akhir puasa wajib disempurnakan dengan
pembagian zakat fitrah sebagai penyucian diri, bukan bersolek agar diri
tampak molek. Kepedulian kepada orang-orang terpinggir adalah puncak dari
ibadah ini.
Kalau
puasa berakhir dengan mudik yang hiruk-pikuk dan gebyar kemewahan, mungkin
sudah saatnya kita hanya perlu mudik batin. Sementara itu, ongkos mudik disedekahkan
kepada fakir-miskin. Bukankah ini tantangan menahan diri yang tak pernah
dilakukan secara bersama-sama? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar