Membidik
Korupsi Migas
Hifdzil Alim ; Peneliti dari Pusat Kajian
Antikorupsi Fakultas Hukum UGM,
Ketua
Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY
|
SUARA
MERDEKA, 26 Agustus 2014
GALAILA Karen Agustiawan menyatakan mundur
dari kursinya sebagai Direktur Utama PT Pertamina, perusahaan negara yang
mengurus soal minyak, gas, serta energi baru dan terbarukan, menjelang
transisi pemerintahan. Meski alot pada awalnya, akhirnya perusahaan minyak
negara menyetujui rencana resign perempuan kelahiran Bandung, 19 Oktober 1958
itu. Dari laman resmi perusahaan diketahui, Karen mengajukan surat
pengunduran diri sejak 13 Agustus 2014. Akhirnya, rapat umum pemegang saham
mempersilakannya untuk tak lagi memegang posisi dirut terhitung mulai 1
Oktober 2014.
Perusahaan juga menyampaikan alasan
pengunduran diri itu lebih bersifat pribadi dan demi regenerasi kepemimpinan
pada korporasi yang berdiri 10 Desember 1957. Namun, beberapa sumber
mengungkap bahwa keputusan Karen tak melulu didasarkan sikap pribadi dan
regenerasi kepemimpinan, tapi soal eksistensi tekanan politik dalam
pengelolaan minyak dan gas. Hal itu dinilai rasional mengingat prestasi Karen
dalam mengatur dan merawat cukup menyakinkan. Contoh, dia berhasil
mengakuisisi aset Conoco Phillips di Aljazair dan membeli ladang minyak
ExxonMobil di Irak. Kemudian, pendapatan fiskal Pertamina naik dalam setahun
belakangan. Total pendapatan pada 2013 sebesar 71,1 miliar dolar AS dari
sebelumnya 70,9 miliar dolar pada 2012. Laba bersih perusahaan tercatat
mengalami kenaikan sekitar 11% dari 2,77 miliar dolar AS pada 2012 menjadi
3,07 miliar dolar pada 2013. Bagaimana pencapaian yang gemilang tersebut bisa
menuntun dia pada pilihan keluar dari perusahaan?
Dengan melihat peningkatan pendapatan
tersebut, wajar masyarakat mengira ada yang tak beres di internal Pertamina.
Kejahatan dan korupsi di sektor minyak dan gas sebenarnya telah lama diendus.
Dari obrolan di Seputar Ibu Kota misalnya, ada fenomena ‘minyak kencing’
dalam pendistribusiannya. Jalur penyaluran minyak dari Jawa ke Kalimantan
telah dikuasai oleh sejumlah cukong tertentu. Akibatnya, jumlah liter minyak
yang dikirim mengalami penyusutan ketika sudah sampai di daerah tujuan.
Walau ada topik demikian, sampai sekarang
fenomena ‘minyak kencing’ sangat susah dibuktikan. Boleh jadi, para cukong
itulah yang ingin dilawan oleh Karen. Dari obrolan juga diperoleh berita
kalau para cukong telah menjalin kerja sama lancung dengan para pengambil
kebijakan negara dan kekuatan politik yang ada di parlemen. Tujuan
kongkalikong itu adalah untuk mengamankan ”pengelolaan” dan penyaluran
minyak. Ada monopoli yang dibangun di luar ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dan kekuatan besar — yang dalam ”Tajuk Rencana” harian ini
(20/8/14) disebut sebagai kekuasaan metapolitik— diduga membekinginya.
Integritas Perusahaan
Sikap Karen yang kukuh ingin menegakkan
peraturan dan menjaga integritas perusahaan pernah dia paparkan ke publik
tatkala menolak keras permintaan tunjangan hari raya (THR) dari anggota
Komisi VII DPR. Bahkan dia tegaskan, tidak akan membiarkan badan usaha milik
negara dijadikan sapi perah oleh siapa pun.
Karena hal itulah, ancaman pemecatan
terhadapnya datang bertubi-tubi (SM, 28/1/14). Jangan-jangan, sekarang ini
ancaman tersebut menuju terbukti. Andai para cukong yang ”bekerja sama”
dengan kekuatan metapolitik benar-benar membuktikan ancamannya, seharusnya
negara tak bisa hanya tinggal diam dan berpangku tangan. Negara harus
bergerak melawannya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai memberi
perhatian pada indikasi keberadaan jaringan korupsi di sektor energi dan
sumber daya mineral. Kasus korupsi yang menjerat Rudi Rubiandini, mantan
kepala SKK Migas yang menerima suap dari Simon Sanjaya, petinggi Kernel Oil Private Limited, adalah
awal yang baik untuk membidik korupsi di bagian minyak dan gas. Sudah ada
preseden bahwa pelaku korupsi di sektor minyak dan gas ternyata bisa
ditangkap. Artinya, kekuatan metapolitik dan konglomerasi dalam sektor
tersebut sebenarnya bisa dilawan. Lembaga antirasuah membuktikan hal itu.
Faktanya, saat ini sejumlah petinggi partai
yang disangka menjadi pemeras SKK Migas mulai diperiksa. Sementara itu, satu
menteri berkaitan dengan kasus tersebut juga sedang diselidiki secara serius.
Ini yang harus ditiru oleh negara. Terakhir, pengunduran Karen harus mampu
menjadi momentum untuk menegakkan integritas Pertamina sekaligus sebagai
bentuk komitmen untuk tidak memberi ruang bagi konglomerasi dan kekuatan metapolitik
busuk dalam pengelolaan dan pendistribusian minyak dan gas. Lagi pula, sesuai
dengan amanat UUD 1945, minyak dan gas hanya ditujukan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Tentu, negara harus mewujudkan perintah tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar