Melacak
Akar Konflik Arab-Yahudi
Faisal Ismail ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 29 Agustus 2014
Dari
segi akidah dan syariah, bangsa Arab dan Yahudi mempunyai banyak ikatan
pertalian, kedekatan, dan persamaan. Jika dirunut sampai ke nenek moyang,
bangsa Arab dan Yahudi masih keturunan Nabi Ibrahim.
Agama
Islam dan agama Yahudi sama-sama melarang umatnya makan babi. Kedua agama
sama-sama mengajarkan kepada komunitasnya untuk berkhitan. Kedua komunitas
(dan Kristen) sama-sama menjadikan Yerusalem sebagai kota suci. Akan tetapi,
karena muatan sentimen politik antara umat Arab dan umat Yahudi jauh lebih
dominan, konflik berdarah pun terjadi secara turun-temurun sampai sekarang ini.
Akar masalah konflik Arab-Yahudi bermula sejak zaman Nabi Muhammad di Madinah
pada abad ke-7 M. Awalnya, komunitas Yahudi menandatangani Piagam Madinah dan
menyatakan setia kepada Nabi Muhammad sebagai kepala negara.
Tapi
ketika Perang Ahzab (Khandaq) terjadi pada 627 M, komunitas Yahudi (Bani
Quraizhah) berkhianat, mereka membantu kaum Quraisy menyerang umat Islam.
Akibat pengkhianatan ini, kaum Yahudi banyak yang dijatuhi hukum mati.
Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M) mengusir komunitas Yahudi dari Madinah
karena mereka merupakan musuh dalam selimut. Kaum Yahudi menyebar di daerah
Khaibar dan sekitarnya. Keberadaan Yahudi di wilayah itu tetap menjadi
ancaman bagi umat Islam. Karena itu, pasukan muslim menyerang dan menaklukkan
mereka.
Jika
dihitung sejak zaman Nabi (abad ke-7 M), konflik Arab-Yahudi sudah
berlangsung lebih dari 14 abad dan belum berakhir sampai sekarang. Jika
dihitung sejak berdirinya negara Israel tahun 1948, konflik Arab
(Palestina)-Israel sudah berlangsung selama 66 tahun. Belum juga ada
penyelesaian politik. Tidak tercapainya penyelesaian secara adil dan permanen
telah menyebabkan terjadinya serangkaian konflik berdarah yang mengerikan. Di
tahun 1967, perang enam hari Arab-Israel pecah dan berakhir dengan kekalahan
pihak Arab (yang melibatkan tentara gabungan Mesir, Suriah, Lebanon, dan
Palestina).
Karena
tentara Israel memiliki persenjataan yang lebih canggih dan modern, negara
zionis itu menang. Resolusi DK PBB agar Israel mundur ke wilayah perbatasan
sebelum perang tidak diindahkan Israel. Sampai sekarang Israel menganeksasi
Dataran Tinggi Golan milik Suriah. Israel menyerang Lebanon pada September
1982 dan tentaranya mengepung Sabra dan Shatila yang menjadi konsentrasi
pengungsian Palestina. Dalam situasi terkepung, pasukan Kristen Maronit Falangis
dengan mudah memasuki Sabra dan Shatila dan membantai rakyat sipil.
Diperkirakan
3.500 orang terbantai(kebanyakanpengungsi Palestina). Tindakan milisi Kristen
Falangis merupakan “balasan” terhadap milisi muslim menyusul terbunuhnya
Bashir Gamayel (dari Partai Kristen Kataeb) dalam suatu ledakan bom di
Beirut. Saat itu Gamayel dinyatakan menang dalam pemilu dan sebagai presiden
terpilih. PM Ariel Sharon dan rezim zionis Israel harus bertanggung jawab
atas terjadinya “massacre“ ini
karena tentaranya memuluskan jalan bagi milisi Falangis ke Sabra dan Shatila
untuk melakukan pembantaian.
Agresi
tentara Israel ke Gaza yang pertama terjadi pada 27 Desember 2008. Pasukan
Israel secara gencar menyerang Gaza secara eksesif, masif, dan membabi buta.
Tiga pekan lamanya tentara Israel melakukan serangan ke Gaza dan berakhir
pada 18 Januari 2009. Pasukan Israel menjatuhkan berton-ton bom ke Gaza.
Militer Israel melancarkan serangan dari udara, darat, dan laut dengan
persenjataan yang modern dan canggih. Sementara Hamas hanya mengandalkan
roket. Akibat gempuran ini, banyak korban tragis berjatuhan dipihak
Palestina: lebih dari 1.300 orang tewas dan lebih dari 3000 orang luka-luka.
Mayoritas
mereka adalah anak-anak, wanita, dan rakyat sipil yang tidak berdosa. Banyak
gedung, masjid, sekolah yang dikelola oleh PBB, dan rumah penduduk Palestina
ludes. Fasilitas-fasilitas umum seperti jaringan listrik, telepon, dan saluran
air bersih hancur. Di pihak Israel, 13 tentaranya tewas dan beberapa orang
terluka terkena roket Hamas. Gaza sangat mengalami kekurangan makanan, air,
dan aliran listrik. Rumah sakit sangat kewalahan merawat ratusan korban
(anak-anak, perempuan, dan rakyat sipil) yang terluka.
Dewan
Keamanan (DK) PBB mengeluarkan Resolusi No 1860 yang isinya menyerukan kepada
Israel untuk menghentikan serangannya ke Gaza. Namun, rezim zionis Israel tak
bergeming sedikit pun dan terus menggempur Gaza. Dalam sidang DK PBB, Amerika
Serikat (AS) abstain. Sikap politik AS—baik di bawah pemerintahan Partai
Republik maupun Partai Demokrat—tetap pro-Israel. Gencatan senjata tercapai
setelah Gaza porakporanda digempur tentara Israel.
Agresi
militer Israel ke Gaza yang kedua terjadi pada 8 Juli 2014. Pola, taktik, dan
strategi serangan tentara Israel ke Gaza serupa dengan serangan pada tahun
2008-2009. Berawal dengan membombardir Gaza dari udara, pasukan Israel lantas
menyerbu dari darat secara besar-besaran. Pihak Hamas, yang hanya
mengandalkan roket, tidak berdaya menghadapi serangan tentara Israel yang
menggunakan tank, senjata berat, dan rudal yang modern dan canggih. Israel di
bawah rezim Benjamin Netanyahu mempersenjatai diri dengan Iron Dome yang dapat menangkis
serangan roket Hamas sebelum mencapai sasaran.
Dengan
cara ini, pihak Israel dapat meminimalisasi korban penduduk sipil. Agresi
brutal Israel ke Gaza telah menewaskan lebih dari 2.000 orang Palestina dan
melukai lebih dari 8.000 orang Palestina (termasuk anak-anak, perempuan, dan
penduduk sipil). Gedung, masjid, rumah penduduk, universitas, sekolah (termasuk
sekolah PBB) dan fasilitas umum seperti jaringan telepon, aliran listrik, dan
saluran air minum hancur remuk. Penduduk Gaza sangat kekurangan makanan, air
bersih, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan lainnya.
Di
pihakIsrael, sejumlah kecil tentaranya tewas dan beberapa penduduk sipil
terluka terkena serangan roket dari Gaza. Atas inisiatif Sekjen PBB Ban
Ki-moon dan Menlu AS John Kerry, gencatan senjata antara Hamas-Israel
tercapai, tetapi hanya dalam hitungan jam dan tidak efektif. Kini Mesir terus
memediasi agar terjadi gencatan senjataantarakeduabelahpihak, tetapi belum
maksimal.
Perang
terus berlanjut: Hamas meroket Israel, Israel mengebom Gaza. Dua petinggi
militer Hamas beserta istri dan anaknya tewas terkena bom Israel. Masih sulit
ditemukan solusi politik yang dapat mendamaikan Palestina (Hamas) dan Israel
yang telah begitu lama terlibat konflik. Masing-masing pihak hendaknya
bersikap realistis, yaitu dapat menerima tawaran “two state solution”.
Palestina hendaknya menerima dan mengakui eksistensi negara Israel, begitu
juga Israel hendaknya menerima dan mengakui keberadaan Negara Palestina.
Kedua
negara hidup berdampingan secara damai. Inilah seruan yang terdengar di
kalangan masyarakat internasional dan inilah opsi yang dapat dipandang
sebagai “win-win solution.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar