Korupsi,
Keluarga, dan Nilai Sosial Kita
Erlangga Masdiana ; Kriminolog;
Mantan
Ketua Program Pascasarjana (PPS) Kriminologi FISIP Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
28 Agustus 2014
MIRIS melihat
sendi-sendi moral yang terkoyak di negeri ini sudah masuk dalam kehidupan
keluarga. Keterlibatan tiga pasangan suami-istri (Romi Herton-Masyito,
Nazaruddin-Neneng Sri Wahyuni, Ade Swara-Nurlatifah) dan satu keluarga yang
melibatkan ayah dan anak (Zulkarnaen Djabar-Dendy Prasetya) menunjukkan
masyarakat kita sedang ”sakit”.
Keluarga sebagai
sistem sosial terkecil semestinya berfungsi sebagai agen sosialisasi
nilai-nilai demokrasi dan penegakan hukum. Kenyataannya, sejumlah keluarga
justru terjangkit virus hedonisme yang mendukung merebaknya virus korupsi.
Pendidikan antikorupsi
yang dicanangkan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak akan berhasil kalau agen
sosialisasi yang paling berpengaruh, yakni keluarga, tidak mendukung
prosesnya.
Keluarga adalah tempat
bercengkerama, mendiskusikan masalah, belajar, mengukir kepribadian, menakar
kemampuan, dan meningkatkan independensi. Proses sosialisasi dan
internalisasi nilai sangat ditentukan dalam keluarga.
Keluarga paling berat
menanggung beban saat menghadapi problem sosial, dari biaya sekolah yang
mahal hingga ikut sibuk saat anaknya mencari kerja. Kondisi semacam ini
membuat banyak keluarga terpaksa bersikap permisif terhadap korupsi.
Ada yang awalnya
menolak korupsi menjadi menerima asal tidak diketahui keluarga lain. Ada yang
terang-terangan mendukung beberapa perilaku koruptif dengan alasan: ”zaman
seperti sekarang tidak usah idealis, kalau idealis susah sendiri”.
Dalam pemikiran
Hussein Alatas, Mochtar Lubis, dan sejumlah ahli struktur fungsionalis (ahli
sosio-kriminologi), mereka menyatakan ada sejumlah negara yang tidak bisa
lepas dari praktik korupsi.
Kalau tak ada korupsi,
roda pembangunan tak bisa berjalan baik. Mereka menyatakan, korupsi memiliki
fungsi sosial yang bisa mendorong pembangunan. Dengan kata lain, meskipun
tidak legal, korupsi menjadi bagian yang bisa mempermudah konstruksi proses
pembangunan politik dan ekonomi.
Penegak hukum
Tokoh-tokoh yang
semestinya menegakkan hukum justru menjadi pelaku karena tertangkap tangan.
Boleh jadi pelakunya jauh lebih banyak lagi karena tidak tertangkap tangan
KPK.
Virus ini mewabah tapi
sulit mencari antivirusnya karena orang model Akil Mochtar yang seharusnya
menjadi pilar penegakan hukum justru menjadi pelaku kejahatan. Begitu juga
Hadi Poernomo, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, yang ditangkap KPK karena
rekomendasi pembebasan pajak.
Ada kewajaran jika
masyarakat mempertanyakan kredibilitas lembaga-lembaga penegakan hukum.
Sebab, sejumlah masyarakat merasakan ada kesulitan atau jalan yang terjal
jika harus berhadapan dengan proses mencari keadilan dan proses hukum lain.
Contoh sederhana,
masyarakat yang datang ke kantor (birokrasi) pelayanan sering kecewa saat
berhadapan dengan oknum-oknum yang tak memiliki komitmen moral.
Bahkan, KPK sebagai
lembaga penegakan hukum yang diharapkan banyak pun dianggap tidak bersikap
terbuka, ada yang ditutupi, dan pandang bulu. KPK juga dianggap memainkan
peranan soal kasus (cases), waktu (timing), dan situasi (situations). Kapan keterlibatan orang (tersangka) itu diumumkan.
Pengumuman Anas
Urbaningrum dan Andi Mallarangeng membutuhkan waktu yang sangat panjang.
Sejumlah orang menduga KPK memainkan waktu (timing) untuk merespons terhadap desakan atau situasi politik
yang berkembang.
Kita berharap
nilai-nilai moral tertinggi yang ada pada orang-orang yang bertugas di KPK
tidak terkontaminasi oleh kepentingan apa pun kecuali menjadi garda terdepan
proses penegakan korupsi.
Keinginan
mengeliminasi virus korupsi yang mewabah pada sendi-sendi kehidupan, dari
kehidupan di keluarga, sekolah, hingga di lembaga-lembaga publik, belum juga
terpecahkan meskipun sudah ada KPK.
KPK bahkan lebih
mengarah kepada penangkapan daripada pencegahan, tapi tidak mampu mereduksi
tindakan korupsi. Yang ada adalah menambah daftar jumlah orang yang menjadi
tersangka dan menciptakan rasa takut. KPK belum sampai kepada bagaimana
korupsi harus ditolak dan dimusuhi dari internal diri anak-anak bangsa.
Merujuk kepada
pendapat Ong Hok Ham, sejarawan, korupsi adalah warisan sejak zaman Kerajaan
Mataram, yakni praktik mengutip upeti yang dilakukan oleh kalangan priayi
kepada rakyat tidak semuanya disetor kepada raja. Bahkan, raja juga tidak
banyak mengetahui tentang kegiatan pengumpulan upeti tersebut. Pemerintah
kolonial Belanda juga membiarkan praktik upeti ini ketika sudah menaklukkan
raja-raja.
Konsep tentang
kepemilikan harta benda menjadi faktor utama virus korupsi menjangkit dalam
kehidupan keluarga. Ada fenomena jika seorang pemimpin menguasai suatu
jabatan, ia dan kroninya memersepsikan jabatan adalah harta benda milik
pribadi, keluarga, atau kolektif komunal.
Tindakan koruptif
adalah ”amal baik atau kebajikan” seperti membantu nepos (kerabat) di dalam
atau di luar kewenangannya. Namun, birokrat yang memiliki kesadaran
antikorupsi dianggap orang yang ”sombong”, lupa diri, tidak mau kenal lagi
sanak saudara. Dilematis atau memang sudah mendarah daging! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar