Kontroversi
dan Solusi PPN Pertanian
Adhi S Lukman ; Ketua Umum Gabungan Pengusaha
Makanan
dan Minuman Seluruh Indonesia
|
KOMPAS,
28 Agustus 2014
KETUA
Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi telah
menjelaskan posisi petani dan Pajak Pertambahan Nilai yang menjadi
kontroversi akhir-akhir ini (Kompas,
15/8/2014). Hal itu terkait keluarnya Keputusan Mahkamah Agung Nomor 70
Tahun 2014, yang membatalkan beberapa pasal dari PP No 31/2007 terkait PPN
pertanian.
Dengan
jelas disampaikan dari dua sisi pandang. Di satu sisi, yang menjadi masalah
pada usaha perkebunan yang terintegrasi, adalah masalah penghitungan pajak
pada rantai pasokan setelah produk pertanian keluar dari kebun. Karena produk
pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (Pasal 2 PP
No 31/2007), PPN masukan lainnya tidak bisa dikompensasikan ke PPN
keluarannya.
Hal
lain, dari sisi petani, akan menjadi masalah apabila produk pertanian dikenai
PPN. Hal itu karena PPN akan menjadi beban bagi petani kalau petani tidak
mencatat PPN masukan dan keluaran dengan baik. Hal ini berimplikasi harga
produk pertanian akan bertambah 10 persen atau mungkin menekan harga di
tingkat petani sebesar 10 persen.
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 197/2013 (berlaku 1 Januari 2014)
disebutkan batasan pengusaha kena pajak, yaitu yang memiliki omzet usaha
lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun. Pertanyaannya, apa tak mungkin petani
beromzet usaha lebih dari Rp 4,8 miliar setahun? Apa tidak mungkin pedagang
pengumpul produk pertanian beromzet lebih dari Rp 4,8 miliar setahun?
Kalau
mengambil contoh pedagang pengumpul kakao, omzet Rp 4,8 miliar per tahun
hanya untuk sekitar 192 ton biji kakao kering. Jumlah itu sangat kecil
dibandingkan dengan kebutuhan biji kakao industri dalam negeri yang berkisar
500.000 ton per tahun saat ini. Jadi, jawaban pertanyaan di atas sangat
mungkin terjadi dan asumsi di atas sangat mungkin terjadi.
Pemerintah
melalui Kementerian Perindustrian menerapkan program hilirisasi industri
pertanian. Program ini dirancang untuk meningkatkan nilai tambah produk
pertanian di dalam negeri sehingga bisa meningkatkan kesempatan kerja,
devisa, dan menggairahkan industri dalam negeri. Program ini dinilai berhasil
pada beberapa komoditas, yang tadinya banyak diekspor mentah kini sudah
banyak diolah dalam negeri. Hasilnya menjadi andalan ekspor.
Kembali
mengambil contoh kesuksesan hilirisasi industri kakao dan cokelat, sejak
dikeluarkan PMK No 67/2010, jumlah industri pengolahan kakao meningkat tajam.
Sebaliknya, ekspor biji kakao mentah menurun drastis. Hal ini didorong bea
keluar 0 persen-15 persen sesuai dengan PMK No 75/2012. Bea keluar jadi
insentif bagi petani dan pedagang pengumpul untuk menjual ke industri dalam
negeri.
Apa
yang terjadi jika produk pertanian dikenai PPN? Tentu akan imbang antara
pengenaan PPN 10 persen dengan bea keluar yang berkisar sama saat ini. Juga
menjadi beban modal kerja tambahan bagi industri pengolahan yang berorientasi
ekspor.
Apabila
diasumsikan pedagang pengumpul/petani adalah pengusaha kena pajak, saat
menjual produk pertaniannya ke industri pengolah ia akan dikenai PPN 10
persen. PPN ini menjadi PPN masukan bagi industri pengolah. Setelah diolah,
industri mengekspor hasil olahan dengan PPN 0 persen, terjadi kelebihan PPN
masukan yang bisa direstitusi pada akhir masa pajak.
Dalam
masa satu tahun lebih ditambah masa menunggu pemeriksaan pajak restitusi dan
pembayaran restitusi, tentunya industri tersebut akan perlu modal kerja
tambahan 10 persen lebih. Belum lagi kalau ditambah beban bunga pinjaman yang
sangat tinggi di Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
Jika
hal ini benar terjadi, program hilirisasi dan peningkatan nilai tambah di
dalam negeri jadi mubazir. Demikian juga program peningkatan devisa ekspor
melalui produk jadi pertanian mundur selangkah. Pelaku usaha lebih memilih
jadi pengusaha ekspor komoditas pertanian mentah daripada mengolahnya.
Solusi PPN pertanian
Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak No SE-24/PJ/2014 tertanggal 25 Juli 2014 telah
diterbitkan. Implikasinya, keputusan MA harus dijalankan meski dalam surat
edaran tersebut masih ada pengecualian, terutama untuk buah dan sayur, serta
komoditas yang tidak ditetapkan dalam PP No 31/2007, yaitu beras, gabah,
jagung, sagu dan kedelai.
Apakah
ini solusi terbaik? Keberpihakan ke pertanian mungkin perlu dicarikan solusi
terbaik. Hal ini demi mewujudkan kekuatan ketahanan pangan serta kedaulatan
pangan seperti yang diamanatkan dalam UU No 18/2012 tentang Pangan.
Salah
satu solusi agar semua pihak bisa menikmati insentif dalam mewujudkan negara
agraris yang kuat adalah melalui kebijakan PPN yang berpihak ke pertanian
dalam arti luas. UU No 42/2009 tentang perubahan ketiga UU No No 8/1983
tentang PPN barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, sama
sekali tak menyebut produk pertanian merupakan barang yang tidak dikenai PPN.
Atas dasar ini pula, MA membuat keputusan bahwa PP No 31/2007 bertentangan
dengan UU PPN.
Alangkah
indahnya kalau UU PPN diubah dengan menjadikan produk pertanian menjadi
Barang Kena Pajak dengan tarif 0 persen. Hal ini agar menjadi berimbang
antara PPN ekspor dan PPN pertanian, yaitu dalam UU No 7/1983 disebutkan,
”atas ekspor barang dikenai pajak dengan tarif 0 persen” (Pasal 7 ayat 2).
Sekaligus dilakukan perubahan Pasal 7 ayat (3) yang menyebutkan, ”dengan
peraturan pemerintah, tarif pajak serendah-rendahnya 5 persen dan
setinggi-tingginya 15 persen, agar diubah menjadi serendah-rendahnya 0 persen.
Solusi
ini akan menjawab perusahaan perkebunan terintegrasi sehingga bisa
mengompensasikan PPN masukan dalam rantai pasokan usahanya, dan akhirnya bisa
meningkatkan daya saing produknya. Demikian juga petani, pedagang pengumpul
atau perusahaan industri pertanian lain tidak mengalami beban tambahan akibat
pengenaan PPN.
Maka,
keberpihakan regulasi untuk pertanian menjadi awal menuju kejayaan Indonesia
sebagai negara agraris sejati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar