Kapan
Perang Berakhir?
Smith Alhadar ; Penasihat pada The Indonesian
Society for Middle East Studies
|
REPUBLIKA,
27 Agustus 2014
Penghentian perang
Hamas-Israel, belum juga berujung. Upaya gencatan senjata yang dilakukan
berkali-kali di Kairo oleh Mesir, AS, dan PBB, dan melibatkan Israel maupun
Hamas-Fatah tidak mencapai kata sepakat. Masing-ma sing bersikukuh pada
syarat gencatan senjata yang diajukannya. Maka, perang pun dilanjutkan sejak
jeda 24 jam berakhir Selasa, 19 Agustus. Sejauh ini, perang ini hanya menghasilkan
tuduhan keja-hatan perang, antikemanusiaan, kerugian besar bidang ekonomi,
dan penurunan martabat Israel. Sedangkan, kematian 2.000-an warga sipil,
terjadi 10 ribu pengungsi, kehancuran infrastruktur yang luar biasa, serta
juga kerugian ekonomi diderita oleh Palestina.
Kesia-siaan
Setelah gencatan senjata
72 jam, Israel menarik seluruh pasukannya dari Jalur Gaza. Israel mengklaim
berhasil mencapai tujuan perangnya dengan menghancurkan 34 terowongan Jalur
Gaza-Israel. Terowongan itu tidak mudah di hancurkan dalam waktu singkat. Apalagi
jumlah terowongan pun kemungkinan lebih banyak dari yang diklaim Israel.
Sejak dulu, Is rael
berupaya menghancurkan ratusan terowongan Gaza-Mesir tapi tidak pernah
berhasil. Klaim pemerintahan PM Benjamin Netanyahu itu hanya untuk konsumsi
dalam negeri demi menjustifikasi perang yang di lancarkan, yang sangat
merugikan Israel, setelah upaya melucuti Hamas--yang menjadi tujuan perang
utama Israel--tidak tercapai.
Penghancuran
rumah-rumah dan infrastruktur Gaza, serta pembunuhan keji ribuan warga sipil,
yang diharapkan memuaskan publik Israel sebagai balas dendam penculikan dan
pembunuhan tiga remaja Yahudi di Hebron, Tepi Barat--sebagai pemicu
perang--dan harapan agar warga Gaza kehilangan kepercayaan pada Hamas dan
kehilangan legitimasi, juga tidak tercapai. Kebrutalan perang Israel itu
justru memunculkan antipati komunitas internasional, khususnya masyarakat
Eropa, yang selama ini memberi bantuan besar kepada Israel di bidang ekoniomi
dan politik.
Publik Is rael pun
mempertanyakan cara Netanyahu mengatasi Hamas setelah keluarnya puluhan
kantong jenazah prajurit Israel dari Gaza. Belum lagi, biaya perang yang
dikeluarkan Israel sebesar 3,5 miliar dolar AS dan kerugian ekonominya
sebesar 546 juta dolar AS. Di pihak lain, AS, sekutu utama Israel, tak kuasa
berdiam diri. Maka, kita menyaksikan para pemimpin utama Eropa dan AS ber
seliwaran di Timur Tengah untuk menghentikan segera perang.
Sejauh ini, Hamas dan faksi-faksi pejuang Palestina di Gaza pun tidak mendapatkan
apa-apa kecuali kehancuran rumah warga dan infrastruktur, yang kalau
diuangkan 2,4 miliar dolar AS atau Rp 28,23 triliun.
Mengubah strategi
Setelah melihat gencatan senjata tidak dapat dicapai karena Israel tidak
dapat memenuhi tuntutan Hamas agar blokade atas Gaza dibuka dan Hamas tidak
dapat memenuhi tuntutan Israel agar dilucuti atau melucuti diri, pemerintahan
PM Israel Benjamin Netanyahu menarik seluruh pasukannya dari Gaza.
Tentara itu ditempat
kan di seluruh perbatasan Gaza untuk perang panjang.
Perang singkat yang direncanakan semula, dengan mengerahkan seluruh kekuatan militernya, guna menimpakan kehancuran sebesar mungkin pada Gaza, diantaranya menyerang warga sipil dan rumah-rumah serta infrastruktur vital, diharapkan warga Gaza berbalik melawan para pejuang Palestina itu. Tapi kekuatan Israel itu telah berubah menjadi kelemahannya dan kelemahan Hamas berubah menjadi kekuatannya.
Perang panjang ini
dimaksudkan mendapatkan kemenangan dari dampak psikologis, sosial, politik,
dan militer. Israel tidak akan melakukan serangan massif dan brutal lagi,
tapi serangan-serangan terbatas yang berlarut-larut untuk menciptakan situasi
perang di Gaza sambil mengantisipasi serangan balasan roket-roket rakitan
Hamas.
Jumlah roket milik
Hamas terbatas. Bila digunakan terus dalam jumlah besar, maka dalam waktu
relatif cepat senjata itu akan habis. Hamas harus menggunakan roket-roketnya
dalam jumlah besar agar punya dampak signifikan, yaitu kerugian ekonomi yang
cukup besar pada Israel sehingga bisa memaksa negara Yahudi itu menerima
gencatan senjata dengan syarat-syarat yang didiktekan. Bila bom terus
dijatuhkan Israel, akan timbul masalah sosial dan ekonomi yang akan menimbulkan
dampak psikologis. Diharapkan dukungan warga pada Hamas dan Jihad Islami
akan melemah. Kalau roket Hamas habis, maka mudah bagi Israel mendiktekan
gencatan senjata, yang akan "menghabisi" Hamas di sana. Ini skenario
Israel.
Front Baru
Kendati perang sangat
memukulnya, Israel tak dapat menerima syarat gencatan berupa pencabutan
blokade dan pemulihan pengoperasian bandara internasional Gaza karena akan
membahayakan posisi PM Benjamin Netanyahu dan masa depan Israel.
Pertama, kalau blokade
dicabut, maka Netanyahu akan jatuh dari kursi kekuasaan karena gagal
memenangi perang. Kedua, posisi Hamas dan Jihad Islami akan semakin kuat.
Ketiga, pencabutan blokade dan beroperasinya bandara internasional akan
membuka akses internasional bagi Hamas dan Jihad Islami yang dapat membuka hubungan
langsungnya dengan Turki di bawah Presiden Recep Tayyep Erdogan dari partai
berbasis Islam yang bersimpati pada Hamas. Dan khususnya berhubungan dengan
Iran yang bersedia membantu senjata dan selama ini menawarkan bantuan politik
dan ekonomi pada Hamas. Khususnya lagi faksi Jihad Islami yang lebih militan
dan sepenuhnya berkiblat pada Teheran.
Posisi Presiden
Otoritas Palestina Mahmud Abbas di Tepi Barat dan AS pun tidak menguntungkan.
Abbas, pemimpin Fatah, yang mengakui eksistensi Israel dan memilih jalan
diplomasi mem peroleh kemerdekaan, dipertanyakan setelah jalan diplomasi
tidak membawa hasil. Perundingan sembilan bulan Fatah-Israel yang diprakrasai
Menlu AS John Kerry, gagal total karena pemerintahan Netanyahu tidak bersedia
memberi konsesi apa pun pada Abbas.
"Keberhasilan"
jalan perang yang dipilih Hamas, yang tidak mengakui eksistensi Israel,
mungkin sekali diapresisasi warga Palestina secara keseluruhan. Kecaman Abbas
pada Israel atas pembantaian di Gaza, pengikutsertaan politisi Fatah dalam
perundingan gencatan senjata di Kairo, dan pengerahan warga Tepi Barat
memprotes tindakan Israel merupakan upaya Abbas menyelamatkan posisinya.
Dengan begitu, kepemimpinannya diakui Hamas dan warga Palestina, serta
membuka kembali jalan perundingan perdamaian dalam posisi Palestina lebih
kuat. Sementara itu, sambil terus memasok amunisi pada Israel agar sekutunya
itu tidak kedodoran dalam perang, Washington bekerja keras meloloskan
gencatan senjata menyelamatkan muka Israel, sekaligus memelihara status quo politik Timur Tengah.
Munculnya kerusuhan di
Tepi Barat menantang Israel, yang telah menewaskan remaja Palestina sehingga
diharapkan terjadi eskalasi pemberontakan di Tepi Barat, merupakan upaya
Abbas membuka front baru untuk tidak membiarkan Perang Gaza berlalu begitu
saja.
Gencatan senjata
dengan pen cabutan blokade adalah bagian dari harapan Abbas untuk menjadi
modal bagi perundingan perdamaian Palestina-Israel ke depan. Keadaan sulit
yang dihadapi Israel diharapkan dapat memaksa negara itu mengalah pada Hamas
dan Jihad Islami.
Hanya AS dan Israel
yang dapat mengakhiri penderitaan ini. Inilah saatnya Presiden AS Barack
Obama memenuhi janjinya menciptakan perdamaian Israel-Palestina dalam
pidatonya di Universitas al-Azhar, Mesir, ketika baru terpilih jadi presiden.
Perdamaian Israel-Palestina adalah kepentingan kemanusiaan dan politik-ekonomi
semua pihak.
Membuka kembali pintu
perdamaian dengan Fatah, untuk mencapai kesepakatan perdamaian yang adil dan
bermartabat, akan didukung warga Gaza yang telah letih menghadapi perang.
Obama perlu menggunakan pengaruhnya menekan Israel agar bersedia memberi
konsesi pada Palestina. Berapa banyak lagi peluru harus dimuntahkan dan darah
rakyat tak berdosa harus ditumpahkan sebelum perdamaian kekal bisa
diwujudkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar