Jalan
Mendaki Jokowi
Wahyudi Kumorotomo ;
Guru besar pada Jurusan Manajemen
dan Kebijakan Publik Fisipol UGM
|
JAWA
POS, 05 Agustus 2014
”Two years into his
administration, the public resisted his calls for support and Congress was
deadlocked over many of his major policy proposals.”
Kalimat di atas adalah gambaran pemerintahan Barack Obama di
Amerika Serikat (AS) seperti ditulis dalam analisis G. Edwards di buku Overreach (2012). Kendati konteksnya
berbeda, yang dihadapi pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) setelah
kemenangan Pilpres 2014 mirip kemenangan Obama-Biden di AS pada 2008. Melihat
ketatnya persaingan pilpres dan rumitnya konstelasi politik di parlemen
Indonesia, banyak hal yang harus dipersiapkan Jokowi supaya tidak mengalami
kemacetan kebijakan seperti Obama di AS.
Ketika masih mahasiswa di Fakultas Kehutanan UGM, Jokowi punya
kegemaran mendaki gunung dan dikenal sebagai pribadi pantang menyerah. Kini,
setelah ditetapkan sebagai presiden ketujuh Republik Indonesia oleh KPU,
pembuktian Jokowi untuk menghadapi medan pendakian berikutnya ditunggu
seluruh rakyat Indonesia. Melihat opini publik yang berkembang, tantangan
bagi Jokowi bukan lagi masalah legitimasi hasil pilpres yang sedang digugat
ke MK oleh kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Namun bagaimana membuat
kebijakan yang efektif agar janji-janji politiknya dapat dipenuhi selama lima
tahun mendatang.
Oposisi Kebijakan
Dalam pidato di Sunda Kelapa setelah KPU mengumumkan hasil
pilpres, Jokowi menyerukan agar perseteruan yang terjadi karena perbedaan
pilihan dalam pilpres segera diakhiri. Tema pidato Jokowi dengan pidato Obama
setelah memenangi pilpres di AS pada 2008 juga sangat mirip. Dia meminta
perbedaan antara faksi merah (Partai Republik pendukung John McCain) dan
faksi biru (Partai Demokrat pendukung Obama) segera diakhiri sehingga terjadi
rekonsiliasi nasional. Namun, pidato Obama itu tampaknya tidak banyak
digubris para politikus.
Kelihaian persuasi Obama pada awalnya memang membuahkan
kebijakan reformasi tunjangan kesehatan yang terkenal dengan Obamacare, namun
di tingkat implementasi kurang efektif. Kebijakan menekan defisit anggaran,
pengendalian senjata api, atau green
policy yang sangat penting bagi masalah pemanasan global belum bisa
terwujud dan masih terapung-apung menjadi agenda perdebatan sengit di
Kongres.
Obstructionism dalam legislasi bahkan berlanjut dalam masa jabatan kedua
sekarang. Akibat oposisi kebijakan itu bahkan tampak konyol seperti
terjadinya penghentian layanan oleh pemerintah (shut down) di Washington pada Oktober 2013 lantaran Kongres tidak
kunjung menyetujui anggaran.
Apakah Jokowi sudah mengantisipasi oposisi kebijakan semacam itu
dalam masa jabatan sebagai presiden sampai 2019? Sebagai pemegang amanah
rakyat yang menyatakan siap menang, tentu banyak hal yang sudah dan akan
dipersiapkan hingga pelantikan presiden 20 Oktober nanti. Tetapi,
tantangannya memang tidak enteng. Di awal Jokowi harus membuktikan bahwa
sebagai presiden dirinya tidak didikte tokoh dari partai pendukungnya. Siapa
pun mafhum bahwa pencalonan Jokowi oleh PDIP yang menunggu terlalu lama
menunjukkan betapa besar peran Megawati Soekarnoputri sebagai pemimpin
partai.
Tantangan kedua adalah kesiapan menghadapi garangnya DPR.
Koalisi partai pendukung Jokowi hanya menguasai 37 persen kursi di DPR,
proporsi yang sangat sulit untuk menghadapi oposisi legislatif. Setelah
pengumuman resmi KPU, sebagian pakar memang mengatakan bahwa pada akhirnya
Koalisi Merah Putih akan bubar. Sinyal dukungan ke Jokowi sudah disampaikan
beberapa politikus Partai Golkar, PPP, Demokrat, dan mungkin PAN. Sebagai
partai yang terbiasa menjadi bagian dari pemerintahan, usulan sejumlah
politikus Golkar untuk menyegerakan munas menjadi pertanda beralihnya
dukungan ke Jokowi. Demikian pula politisi PPP, Demokrat, maupun PAN, mungkin
banyak yang bersiap menyeberang. Tidak ada yang mustahil dalam politik.
Tetapi, DPR tidak akan ramah terhadap Jokowi, sebagaimana tidak ramahnya
Kongres terhadap Obama, kiranya sudah terbaca sejak awal.
Masa transisi dan pembentukan kabinet menjadi pertaruhan besar.
Pilihan membentuk kabinet pelangi atau sebaliknya, kabinet ahli (zaken
kabinet), sama-sama mengandung konsekuensi berat. Mengakomodasi tokoh parpol
dari seberang kubu akan mengurangi oposisi kebijakan di legislatif, tetapi
berpotensi mengulang kesalahan koalisi besar seperti pada masa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebaliknya, membentuk kabinet ahli
berarti memenuhi janji politik dan kebijakan pemerintah akan lebih efektif,
tetapi Jokowi harus bersiap menghadapi oposisi di legislatif yang siap
mencegat apa pun kebijakan yang diusulkan.
Keberanian Tidak Populer
Rumah Transisi menjadi awal bagi Jokowi untuk menyiapkan RAPBN
2015 bersama pemerintahan SBY dan mengatasi defisit fiskal. Kebutuhan subsidi
energi (terutama BBM dan listrik) kini sudah mendekati angka Rp 400 triliun
dan harus segera diatasi dengan kebijakan nasional yang tepat. Sayangnya, dua
opsi kebijakan paling strategis untuk menekan defisit fiskal sudah pasti
kurang populer.
Pertama, kenaikan harga BBM. Ketika Presiden SBY masih menikmati
bulan madu dengan mandat 62 persen suara pilpres pada 2004, kenaikan harga
BBM lebih dari 100 persen tidak banyak menimbulkan resistansi. Namun, situasi
yang dihadapi satu dasawarsa berikutnya oleh Jokowi sungguh berbeda. Tidak
ada masa bulan madu bagi Jokowi. Diperlukan kepiawaian komunikasi politik
yang luar biasa untuk mengambil pilihan menaikkan harga BBM dengan mandat
yang tipis sekarang ini.
Kedua, mengurangi pertumbuhan mobil pribadi sembari menyediakan
transportasi publik yang efisien dan murah. Infrastruktur adalah masalah yang
selama ini terbengkalai sehingga mengakibatkan daya saing Indonesia terus
terpuruk. Tetapi, apa pun instrumen kebijakan yang digunakan, pengendalian
kendaraan pribadi adalah langkah tidak populer di tengah kebiasaan kelas
menengah Indonesia yang telanjur nyaman dengan fasilitas yang memboroskan
energi tidak terbarukan itu.
Pemberantasan korupsi pasti akan didukung seluruh rakyat karena
inilah agenda kebijakan yang belum diwujudkan pemerintahan sebelumnya. Namun,
resistansi terhadap kebijakan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi
bisa saja mendorong sabotase oleh aparat pemerintah yang mengakibatkan
tumpulnya efektivitas implementasi kebijakan. Jalan mendaki dan terjal harus
dihadapi Jokowi. Namun, kita berharap, sebagai presiden pilihan rakyat,
Jokowi benar-benar bisa membawa perubahan menuju terwujudnya bangsa yang lebih
makmur dan sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar