Gairah
Demokrasi Publik
Agus Hernawan ;
Bergiat di Populis
Institute; Pernah ”Nyantri” di SIT, Vermont, AS
|
KOMPAS,
02 Agustus 2014
Kompetisi
Pilpres 2014 terhitung paling tajam sepanjang sejarah perpolitikan di Tanah
Air, khususnya setelah Reformasi. Gelanggang polarisasi terbangun di semua
lapisan, dari partai pengusung sampai ke ruang-ruang kesadaran publik
pemilih. Menarik disimak ialah antusiasme publik meningkat signifikan,
diikuti menyusutnya angka golput.
Antusiasme
itu menandai tengah berkecambahnya kesadaran politik publik, baik sebagai
alat (tool) maupun tujuan (objective). Sebagai alat, kesadaran
politik memotivasi ragam analisis kritis pada kehidupan politik yang kian
dinamis. Sebagai tujuan, ia membasisi partisipasi politik publik agar
mengekstrakan kepentingan politik dengan lebih terukur dan bertanggung jawab.
Tulisan
ini melihat antusiasme tersebut sebagai episode awal efek demokrasi kita. Reafirmasi berlangsung
sepanjang hajatan pilpres itu, tempat di mana publik menemukan sepasang lensa
untuk melihat, menemukan perangkat pengetahuan dan kepekaan sejarah dalam
menghadirkan gagasan sekaligus responsibilitas dan solidaritas untuk berbuat.
Kemenangan
sesungguhnya tidak pada hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja,
akan tetapi pada kesanggupan menciptakan ”ruang politik baru”, sebuah
panggung tempat efek demokrasi berlangsung.
Megafon demokrasi
Situasi
dialektis dari nomor punggung kedua pasangan capres-cawapres itu adalah satu
ketegangan kreatif. Kadar reaktivitas memang masih cukup dominan. Hal itu
tentu terkait dengan kesadaran politik mayoritas belum menukik, tetapi
sesuatu yang masih sebatas menjalar di permukaan kondisi material. Namun,
sebagai titik balik, ia membawa pesan ke semua organisasi politik kita untuk
tidak lagi sekadar alat meraih kekuasaan dan kendaraan kelompok kepentingan
memiliki ”deposit” di kekuasaan politik.
Hal
menarik seputar pilpres kali ini ialah munculnya kelompok penekan yang datang
dari bawah. Kehadiran kelompok penekan ini mengacaukan ekuilibrium politik
yang selama ini dikuasai konsensus konservatif. Pencapresan Joko Widodo alias
Jokowi tidak terlepas dari campur tangan kelompok ini, yang otomatis
mengacaukan Kesepakatan Batu Tulis antara elite PDI Perjuangan dan Gerindra.
Konsensus konservatif menjadi batal dengan kedua partai dihadapkan pada
situasi dialektis yang masing-masing tidak dalam kondisi yang siap.
Hal
yang tidak kalah menarik ialah kemunculan ruang-ruang kurpol atau kursus
politik di dunia maya. Internet diolah jadi ruang ”folklor” politik. Opini berseliweran dan
argumentasi politik beradu tangkis-menangkis dengan sengit. Peristiwa saling
bully berlangsung, baik lewat update status maupun perang posting. Situs
jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Youtube, menjadi gelanggang
apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai war of position, pertarungan untuk
memenangkan hegemoni.
Ketegangan
kreatif merupakan koridor mendekati, mewarnai, dan merengkuh kekuasaan
politik. Perang dukungan yang masif di dunia maya justru telah melokalisir
potensi konflik terbuka. Bahkan, ia telah mengubah materi kampanye politik
yang biasanya klise menjadi sangat
kreatif. Situasi ini barangkali mendekati pengertian democracy’s megaphones
yang disebut Jim Shultz.
Kreativitas
berdemokrasi itu sayangnya dicederai oleh kemunculan selebaran Obor Rakyat
dan berbagai media yang mengeksploitasi unsur suku, agama, ras, dan
antargolongan alias SARA. Frekuensi kampanye hitam yang intens disebarkan
oleh Obor Rakyat dan permainan push polls menggiring publik dalam ketegangan
destruktif. Dengan sangat sistematis dan bekal pengetahuan diferensiasi
pemilih, Obor Rakyat membawa kualitas kesadaran politik publik jatuh pada
kesadaran naif dan fanatik.
Latar dan transformasi
Gelombang
relawan di kubu Jokowi-JK menciptakan tradisi baru perpolitikan di Tanah Air.
Keberadaan para relawan ini tidak bisa dipisahkan dari kehadiran kelompok
penekan dari bawah yang disebut di atas. Mereka membangun tradisi
voluntaristik dengan kesadaran kritis sebagai basis kesadaran politis, yang
diaplikasikan menjadi partisipasi politik. Sulit disangkal bahwa barisan
relawan inilah latar utama kemenangan Jokowi-JK.
Sepanjang
proses pilpres, beragam modalitas sosial, seperti komunitas penyuka perkutut,
komunitas sepeda onthel, komunitas layang-layang, sampai ke guyub-guyub
profesi, berubah jadi modalitas politik, menjadi mesin pemenangan Jokowi-JK.
Mereka
lahir spontan, mendeklarasikan dukungan secara terbuka, bekerja tersebar, dan
bersifat desentralis saat memasuki geografi pemilih. Kolektivitas dalam
bentuk power to dan power with telah melahirkan semacam ledakan kegembiraan
dan kreativitas serta militansi yang
mencengangkan.
Tradisi
voluntaristik itu tidak lain upaya derivatif melahirkan demokrasi yang
terikat kuat pada citizenship, kewarganegaraan. Demokrasi sebagai ”kata
dasar” dan citizenship sebagai ”afiks”. Jaringan relawan di kubu Jokowi-JK
adalah perwujudan awal dari semangat kewarganegaraan itu. Mereka tumbuh
kolektif yang bergerak bersama dalam sifat yang politis. Mereka dikatakan
politis karena peran ”users” (pengguna
hak politik) dan ”chooser” (pemilih atau voters) di luar kaidah kontrol yang
selama ini dimonopoli perspektif elite.
Keparipurnaan
citizenship ialah ketika kesadaran politik dan partisipasi politik selaku
”users” dan ”chooser” ditransformasikan menjadi ”makers” dan ”shaper”, yakni
partisipasi publik untuk menghasilkan dan membuat perbedaan. Partisipasi publik harus melampaui sekadar partisipasi
material atau fungsional kesesaatan, terlebih lagi token participation.
Partisipasi harus jadi kepekatan warna demokrasi kita, demokrasi yang
terbebaskan, sepenuhnya dalam gairah publik. ”Keeping citizens apart has become the first maxim of modern
politics”, ujar Rousseau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar