Doa
untuk Perdamaian
Ridual Situmorang ;
Staf Pengajar Bahasa
Indonesia
dan
Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan
|
KOMPAS,
02 Agustus 2014
Meski kemudian Israel dan Palestina
saling serang kembali, undangan Paus Fransiskus untuk pemimpin dua negara
yang bertikai, Peres dan Abbas, ke Vatikan murni hanya untuk berdoa, −bukan
untuk diskusi politik−, adalah upaya revolusioner.
Betul ini adalah konsekuensi
logis dari buntu dan ”gagalnya” pendekatan politik damai yang telah
berkali-kali diupayakan berbagai pihak. Namun, kelihatannya Paus Fransiskus
tidak sekadar mengajak pemimpin kedua negara berdoa.
Lebih luas lagi, Paus
Fransiskus berusaha membuka pikiran para pemimpin dunia yang kini cenderung
sekuler untuk kembali pada pendekatan doa.
Kita memang tidak dapat
mengukur kekuatan doa, apalagi membatasi ukuran kekuatannya. Doa adalah
sesuatu yang abstrak, tetapi hasilnya bisa konkret.
Doa pun bukan magis yang
diperalat iblis, melainkan ungkapan teologis yang berhubungan transendental.
Karena itu, doa adalah keindahan. Segala tindakan yang menyakiti bukanlah
wujud konkret dari doa.
Pada prinsipnya, doa universal.
Kitalah yang gegabah menyekatnya dalam teologi sempit. Jadi, wajarlah apabila
diresapi dan dihidupi, doa menjadi senjata pamungkas untuk menyatukan segala
sesuatu yang tampak berbeda.
Bukan pelarian
Pada doa, kita tidak
menghalalkan logika kekuatan, apalagi kekerasan, tetapi di dalam doa, kita
diharuskan untuk meresapi kekuatan logika kedamaian. Inilah yang jeli
ditangkap Paus Fransiskus. Ia sadar bahwa dengan doa kesempatan untuk saling
menghormati menjadi terbuka, baik dengan realitas kemanusiaan maupun
ketuhanan.
North Carolina pernah
menyimpulkan hasil penelitiannya pada doa-doa yang dihidupi para tokoh
Perjanjian Lama—Hannah, Ruth, Salomo, dan Daniel—bahwa doa hanyalah ekspresi
cinta di antara sahabat, ratapan orang jujur yang menjadi korban, upaya
mengobati luka sosial, dan upaya menentang kekuatan represif.
Jadi, doa adalah sesuatu
tindakan yang kongruen dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan.
Masalahnya, apakah doa para
pemimpin itu lantas bermuara pada terciptanya kedamaian dunia, terutama di
Israel dan Palestina? Kenyataannya, Israel dan Palestina kembali saling serang.
Yang pasti, doa bukan pelarian ketika tidak ada jalan lain. Jika diresapi,
dimaknai, dan dihidupi, niscaya hati mereka yang sungguh-sungguh berdoa akan
saling mengasihi karena doa merupakan ekspresi cinta di antara para sahabat.
Dengan kata lain, doa mensyaratkan
timbunan ego diturunkan demi kemaslahatan bersama. Israel, misalnya, harus
menurunkan dosis egonya dengan cara mengakui Palestina sebagai negara. Bukan
karena Palestina layak merdeka, melainkan karena hak dasar setiap manusia itu
adalah bebas dan merdeka.
Sebaliknya, Palestina pun harus
bertanggung jawab penuh dan menggaransi kenyamanan bagi orang Israel dan
Kristen untuk bebas berziarah ke Bethlehem. Palestina pun harus mengakui
Israel sebagai negara yang juga berhak atas kota suci agama mereka, dan
menjamin hilangnya tindakan radikal di sana.
Itulah sebenarnya wujud konkret
doa yang diharapkan oleh Paus Fransiskus.
Doa revolusioner
Kita telah sama-sama melihat
dan menyaksikan mereka berdoa. Kita yakin pula, dengan doa, mereka sudah
dicegah untuk melakukan hal yang tidak baik, apalagi mengkhianati.
Kalau mereka yang berdoa
menjadi penyamun di kemudian hari, itu adalah masalah belakangan yang harus
kita kutuk.
Apalagi, kita meyakini doa
mengundang Yang Ilahi untuk hadir. Jadi, kalau mereka—terutama Peres dan
Abbas—sudah berani mengundang Yang Ilahi, seharusnya mereka siap mengorbankan
sesuatu untuk Yang Ilahi, yaitu pembebasan hati manusia dari setiap timbunan
kebencian.
Berani mengundang Yang Ilahi
berarti berani pula membiarkan Tuhan bekerja, yaitu menghapuskan segala
penindasan. Jadi, seperti seruan Paus Fransiskus, ”Lakukan sesuatu yang
berani, kita tidak bisa terus-terus seperti ini.”
Dalam hati, melalui doa bersama
ini, kita sangat ingin agar kedamaian sesegera mungkin tercipta dari sana
untuk dunia. Semoga gereja menjadi nama lain dari kasih, semoga sinagoga
menjadi lambang persaudaraan, dan semoga pula masjid menjadi lambang rahmat
karena pada hakikatnya agama itu adalah jalan untuk melahirkan keharmonisan,
bukan kekacauan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar