Rabu, 27 Agustus 2014

Desain Kabinet yang Efektif

Desain Kabinet yang Efektif

Laode Ida  ;   Wakil Ketua DPD RI
MEDIA INDONESIA, 26 Agustus 2014
                                                


GAGASAN perlunya perampingan kabinet dalam periode administrasi pemerintahan 2014-2019 mulai digulirkan. Bahkan rancang bangun dan struktur kabinet dimunculkan. Intinya berupa pengurangan jumlah personal kabinet dari yang sekarang berjumlah 34 kementerian menjadi sekitar 20-an saja.

Setidaknya dua alasan utama saling terkait dikembangkan ke arah perampingan kabinet itu. Yakni, umumnya urusan pemerintahan dan pembangunan sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi di era reformasi ini sudah berada di tangan pemerintah daerah otonom sehingga tidak lagi diperlukan banyak kementerian di tingkat pemerintahan nasional. Selain itu, perampingan jumlah kementerian akan sekaligus menciptakan efisiensi anggaran negara untuk kemudian bisa dimanfaatkan dalam rangka membiayai berbagai program pembangunan lainnya.

Kedua argumen itu memang memiliki dasar logika dan empiris sendiri. Tidak salah. Bahkan boleh jadi itu dianggap suatu keniscayaan.Negara besar seperti Amerika Serikat (AS) saja, dan ini juga sering dijadikan rujukan dalam menggagas perampingan kabinet, hanya memiliki 20-an kementerian (tanpa lebih jauh membandingkan sistem pemerintahan dan kondisi sosial ekonomi serta permasalahan yang berbeda antara AS dan Indonesia). Singkatnya, gagasan perampingan kabinet itu seolah-olah cukup bisa diterima secara akal sehat.

Kendati demikian, perampingan kabinet, jika itu memang dikehendaki, tak boleh dilakukan secara mendadak-apalagi hanya karena pertimbangan efisiensi semata. Itu memang sangat penting. Namun, tentu saja tak cukup tidak lebih jauh dan saksama didasarkan pada sejumlah pertimbangan konseptual yang jelas dan matang (clear and mature concepts) dalam rangka efektifnya pengelolaan pemerintahan dan pembangunan dengan melibatkan sejumlah pihak yang profesional independen dalam proses-proses yang terbuka. Itu tak bisa hanya dilakukan sekelompok kecil warga bangsa ini yang terkesan tergesa-gesa karena menyangkut nasib bangsa dalam periode kepemimpinan tertentu di saat sudah pasti termasuk kelompok-kelompok kepentingan yang tidak bisa diabaikan.

Evaluasi

Jika menginginkan perubahan atau perampingan kementerian, yang pertama kali diperlukan ialah langkah evaluasi kritis terhadap keberadaan dan kinerja kabinet yang ada selama ini seraya melakukan semacam studi komparasi disesuaikan dengan kebutuhan domestik Indonesia. Apakah kementerian yang ada sekarang ini dianggap sudah tak sesuai dengan perkembangan, kebutuhan, dan akselerasi pembangunan untuk kesejahteraan rakyat? Jika pertanyaan itu jawabannya `ya', yang harus diperdalam lagi ialah kementerian mana saja yang tak perlu atau sebaliknya masih diperlukan? Mengapa dianggap perlu atau tidak perlu? Atau, kalau mau digabung, kementerian-kementerian apa saja yang perlu digabung itu?

Seraya mendalami lebih jauh jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas, mungkin perlu direnungkan pula asumsi kritis lainnya, yakni sebenarnya jumlah kementerian yang ada sekarang secara relatif semuanya diperlukan. Persoalannya terkait dengan faktor manajemen terutama koordinasi baik lintas kementerian maupun dengan daerah-dae rah otonom. Tepatnya, kepemimpinan negara terkadang luput atau mengabaikan koordinasi agenda yang terintegrasikan. Kepala negara, dalam konteks ini, terkadang mengesankan sebagai aktor yang tak memiliki kewenangan memaksa (imperative powerless) sehingga para pembantu dan atau bawahan mulai Jakarta sampai di daerah-daerah tak terkoordinasikan dengan baik. Mengapa?

Pertama, masih demikian kuat menonjolnya ego sektoral, di saat setiap instansi kementerian cenderung mengedepankan agenda sendiri dan mau repot-repot mengembangkan program yang terpadu. Terlebih lagi mereka mengembangkan programprogram pragmatis karena para pejabat dan aparatnya berorientasi proyek--enggan mengembangkan programprogram berjangka panjang dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

Akibatnya, berbagai agenda kerja yang substansial terabaikan atau tak dimunculkan.Atau, jika pun program-program dimunculkan, sebenarnya tak berlebihan jika dikatakan `sekadar seremoni dan sangat politis', sebagai bagian dari kampanye diri dan atau parpol asal dari sebagian anggota kabinet itu. Makanya sampai di akhir masa tugas dan berkali-kali pun jadi anggota kabinet, sulit untuk mengukur capaian prestasi di bidangnya.Namun, anehnya, sebagian mereka masih tetap menjagokan diri atau mempromosi kan diri de ngan berbagai cara untuk kembali duduk di kursi kabinet.

Kedua, tak bisa dimungkiri, sebagian menteri tidak berkonsentrasi penuh mengurus kementerian lantaran sebagian waktu mereka tersita untuk mengurus kepentingan pribadi, kelompok, dan atau parpol. Sebagian menteri, misalnya, masih saja aktif mengurus kepentingan bisnisnya (meskipun secara resmi sudah dialihkan pada orang lain) dan pada saat yang sama juga mengurus parpol. Padahal, di samping waktu sangat terbatas dengan berbagai tugas di kementerian yang begitu banyak, ada faktor ketidaksesuaian antara latar belakang dan kapasitas sang menteri--sebagai konsekuensi dari kebijakan `menteri sebagai jatah parpol'.

Maka barangkali dalam konteks ini pulalah agaknya salah satu ide yang terlontar dari presiden terpilih Joko Widodo yang memberi isyarat `seorang menteri tak boleh rangkap jabatan mengurus parpol' menjadi sangat signifikan. Memang ide itu terasakan memperoleh resistensi dari sebagian pemimpin parpol yang sudah berharap jadi anggota kabinet, tetapi harusnya disadari bahwa mengurus negara besar untuk menciptakan kesejahteraan rakyat haruslah lebih fokus. Bukankah masih banyak orang atau kader parpol yang bisa lebih fokus juga mengurus, memperbaiki, dan atau membesarkan parpolnya? Juga, jika orang parpol fokus dan berprestasi dalam memimpin kementerian, sebenarnya sudah merupakan kontribusi besar parpol terhadap bangsa dan negara ini, yang pada tingkat tertentu akan jadi bagian dari promosi langsung parpol asal menteri itu.

Para pemimpin parpol sebenarnya harus mengambil contoh positif dari Jokowi dan JK yang sejak awal pencalonan mereka `tidak mengurus parpol'-suatu yang juga harus dicontoh dan diapresiasi yang bermula dari kebijakan dan kebesaran jiwa Megawati Soekarnoputri dalam mengalahkan dirinya sendiri untuk tidak ikut menjadi capres di 2014 ini, seraya mendorong Jokowi untuk menggunakan pintu partainya yang ternyata memang disambut rakyat.

Fokus urus daerah

Memang benar pada umumnya urusan pemerintahan dan pembangunan sudah diserahkan pada daerah otonom. Namun, perlu dicatat bahwa pengelolaan daerah otonom sekarang ini, jika jujur diakui, masih sangat memprihatinkan. Para pejabatnya cenderung `gambar suka-suka' dengan orientasi yang sangat pragmatis. Korupsi di daerah merajalela. Agenda tahunan pun lebih berorientasi pada proyek, mengejar target materi dari pejabat politiknya. Sangat sedikit kepala daerah yang sungguh-sungguh mengurus daerahnya secara baik. Tepatnya, hingga saat ini kita belum bisa berharap banyak pada hanya pemerintah daerah untuk mengatasi permasalahan bangsa ini.

Maka yang perlu diperkuat ke depan ialah para menteri dan jajarannya harus bekerja di bidangnya secara langsung bersama pemerintah daerah, memberikan berbagai arahan teknis dan substansial agar dana yang dialokasikan di daerah benar-benar bisa secara bertahap meningkatkan kesejahteraan rakyat dan atau kemajuan daerah. Di sini diperlukan keseriusan pemerintah pusat yang nanti (2014-2019) akan di bawah komando langsung Jokowi-JK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar