Belajar
Alquran kepada Izutsu
Ahmad Sahidah ;
Penulis buku Izutsu (2014),
Dosen Universitas Utara Malaysia
|
JAWA
POS, 30 Juli 2014
RAMADAN
telah usai. Catatan yang mungkin perlu digenggam adalah pemahaman buku
pedoman agar semangat Ramadan tidak hilang, mengingat kitab suci yang pertama
turun dalam bulan tersebut. Lalu, bagaimana membaca kembali kitab suci pada
era baru?
Betapa
pun para ahli akan merujuk pada tafsir standar yang ditulis para ulama
terdahulu, kehadiran pengkaji bukan Muslim kadang perlu ditimbang. Mereka
tidak saja menepis pandangan bahwa orang luar dengan sendirinya berpandangan
sumir terhadap kitab suci. Memang, mesti diakui, begitu banyak sarjana
orientalis yang berusaha mengungkap kelemahan Alquran secara ’’ilmiah’’.
Jangankan menjernihkan makna, sarjana Barat tersebut hanya meneruskan
kehendak imperialisme melalui pengetahuan.
Di
sinilah kehadiran Toshihiko Izutsu, seorang sarjana terkemuka Jepang, menjadi
penting. Berbeda dengan para orientalis yang mempunyai agenda tersembunyi,
yaitu kehendak dominasi dan konfrontasi, Izutsu secara simpatik telah
mendudukkan kitab suci sebagai wahyu Tuhan, bukan halusinasi yang dialami
Nabi Muhammad sebagaimana dituduhkan beberapa sarjana Barat. Izutsu
benar-benar menggambarkan apa yang diungkapkan Ziauddin Sardar bahwa dia
telah berhasil menghentikan langkah imperialisme sarjana Eropa dengan
menyatakan bahwa hermeneutik sebagai tradisi Injil tidak bisa digunakan untuk
menafsirkan Alquran.
Daya Ungkap Diri
Mungkinkah
Alquran menyampaikan makna dengan teksnya sendiri? Izutsu menukas jelas bahwa
kitab suci mungkin dipahami dengan merujuk pada ayatnya seraya menggunakan
pendekatan semantik. Hakikatnya, pendekatan itu tidak menafikan tradisi ilmu-ilmu
Alquran. Sejauh ini analisis tersebut digunakan untuk mengomunikasikan pesan
kitab suci dengan pembaca umum yang terbiasa dengan cara berpikir pembaca
(komunikan), yang terbiasa dengan strategi berpikir analitis, yang identik
dengan tradisi berpikir Barat. Jelas, dengan serampang dua mata, Izutsu
menyadari pentingnya tradisi Islam dan pada waktu yang sama menggunakan
warisan filsafat Barat untuk meyakinkan pembaca.
Sebagaimana
diungkapkan dalam salah satu karya terbaiknya, God and Man in the Qur’an: Semantics of Quranic Weltanschauung,
sarjana Jepang itu merumuskan pembacaan kitab suci sebagai berikut: Untuk
memahami sebuah konsep, misalnya Islam, pembaca mesti memulai pencarian kata
atau istilah kunci. Dari situ, kita bisa mengungkap makna dasar, lalu
dilanjutkan dengan relasional. Tentu, sebuah kata bisa dipahami secara utuh
dalam kaitannya dengan kata-kata lain yang menjelaskannya atau disebut medan
semantik. Betapa pun makna telah diraih, bagaimanapun kata itu mengandaikan
maksud yang khas karena berada dalam situasi dan kondisi sosial serta
psikologis tertentu (Weltanchauung).
Di sinilah, syair Arab menjadi penting karena sebuah arti kata bisa ditinjau
secara sinkronis dan diakronis yang menggambarkan pandangan dunia Arab dan
Alquran, baik semasa dan pasca pewahyuannya.
Akhirnya,
dari kerja analisis semantik tersebut, pembaca kitab suci akan memperoleh
pesan utama. Ia merupakan kerja linguistik yang mengandaikan penghubungan
antara kata kunci dan medan semantik di ayat lain. Hal yang sama dengan tradisi
ilmu Alquran, munasabah ayat bil ayat. Pendek kata, ada kesamaan cara kerja
untuk mendapatkan makna dalam kitab suci. Malahan, Nasr Abu Zayd yang
dianggap sarjana liberal mengandaikan bahwa Ulumul Quran masih memadai untuk
menafsirkan Alquran. Namun, pembahasan baru memungkinkan pesannya lebih
mungkin disampaikan pada khalayak pada masa kini.
Tuhan, Manusia, dan Alam
Ketika
Izutsu menulis hubungan Tuhan dengan manusia dalam Alquran, tema itu
mengandaikan isu utama dari keseluruhan kitab suci. Dengan mengurai hubungan
keduanya, persoalan kemanusiaan akan menemukan pijakan yang kukuh untuk
diteliti dan dicermati. Sebagaimana diungkapkan dalam God and Man in the Qur’an, hubungan khaliq dan makhluk bermatra
empat, ontologi, komunikatif, tuan-hamba, dan etika. Tentu, di sini saya
tidak akan mengurai semua dimensi tersebut, tetapi menumpukan pada isu etika.
Namun, setiap dimensi mengandaikan hubungan yang tunggal karena hakikat
pandangan dunia Alquran bersifat teosentris.
Dengan
jelas Izutsu menegaskan, terdapat tiga kategori etika yang berbeda dalam
Alquran. Yaitu, terkait dengan sifat Tuhan, aspek fundamental hubungan Tuhan
dengan manusia, dan terakhir prinsip-prinsip serta aturan-aturan tingkah laku
yang menjadi milik dan hidup dalam masyarakat Islam (2004: 18). Implikasi
akhlak manusia pada Tuhan terwujud antara sesama manusia dengan seperangkat
prinsip moral beserta semua kata turunannya. Akhirnya, peraturan itu menjadi
etika sosial yang selanjutnya dalam zaman pasca Alquran dikembangkan menjadi
sistem hukum Islam berskala besar. Dari sini, Izutsu berpandangan bahwa Islam
tidak hanya berkutat pada masalah etik, tetapi juga praktik. Undang-Undang
Islam menjadi mungkin.
Lebih
jauh, cara pandang Izutsu terhadap sebuah konsep menarik ditimbang. Misalnya,
pengertian kafir yang sering digunakan segelintir orang menghardik musuhnya
dan digunakan sebagai legitimasi untuk melakukan kekerasan. Pada mulanya,
kafir bermakna tidak berterima kasih, lalu bergeser menjadi tidak beriman.
Lagi-lagi, ia tidak hanya berkaitan dengan ketidakpercayaan kepada Tuhan
semata-mata. Namun, ia terkait dengan sikap manusia yang menolak
sekeras-kerasnya untuk berserah diri kepada Allah. Akibatnya, mereka
menghabiskan waktu dengan bersenda gurau dan bermain, tertawa, serta riang gembira
sehingga melupakan akhirat.
Dari
pengertian kafir tersebut, jelas label itu tidak hanya ditujukan kepada orang
yang bukan Islam, tetapi juga muslim itu sendiri. Betapa penyerahan diri
kepada Tuhan mendorong hamba untuk tidak leka sehingga membuat orang tidak
beriman. Jadi, pengingkaran pada Khaliq bukan semata-mata penafsiran
kewujudannya, tetapi sikap abai terhadap kehidupan akhirat. Tentu saja,
akhirat tidak hanya dipahami sebagai ’’alam lain’’ semata-mata, tetapi sebuah
keadaan pesona duniawi yang tidak membuat manusia lupa pada hakikat
eksistensinya, hamba Tuhan dan penjaga bumi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar