Uji
Kredibilitas Lembaga Survei
Marwan Mas ;
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
|
SINAR
HARAPAN, 17 Juli 2014
Rakyat
sudah memilih calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada
9 Juli 2014. Pemilihan presiden (Pilpres) kali ini mesti menghasilkan sosok
presiden yang jauh lebih baik dari sebelumnya, bukan hanya baik dari aspek
rekam jejak, melainkan juga baik dalam hal pemilihan alias tidak diraih
karena kecurangan. Karena itu, aneh jika hasil hitung cepat atau quick count (QC) oleh lembaga survei
tentang hasil pilpres menjadi berbeda.
Ada
empat lembaga survei yang menampilkan hasil berbeda dengan delapan lembaga
lainnya. Secara sederhana, bisa dinilai ada problem yang menyebabkan hasilnya
berbeda, yakni ada lembaga survei yang salah metodologinya, memanipulasi
data, atau malah berbohong. Jika hasil QC berbeda lantaran kesalahan
metodologi, dalam tradisi ilmiah bisa dimaklumi sehingga bisa diperbaiki.
Namun,
yang celaka dan tidak mungkin diampuni jika metodologi sengaja dibuat keliru
atau sengaja berbohong. Sebagai contoh, sengaja mengambil sampel lebih banyak
di basis kekuatan capres tertentu dengan maksud hasil QC memenangkan capres
yang memberi imbalan besar.
Lebih
celaka lagi jika hasil QC yang ditampilkan ke publik adalah yang tidak betul
karena dibayar. Padahal, hasil hitung cepat yang sesungguhnya betul sesuai
kaidah ilmiah disembunyikan. Inilah yang disebut pelacuran ilmiah atau
kebohongan ilmiah yang tidak punya tempat dalam alam demokrasi.
Rujukan Terpercaya
Hitung
cepat dalam alam demokrasi menjadi rujukan terpercaya oleh rakyat setelah
mencoblos di tempat pemungutan suara (TPS).
Mengetahui
hasil QC, meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum merekapitulasi manual (real count), setidaknya memberikan
prediksi atau gambaran awal tentang siapa pemenang pemilu. Tujuannya,
menenangkan rakyat dari kegelisahan menanti hasil penghitungan suara yang
waktunya cukup renggang setelah pencoblosan, padahal mereka ingin mengetahui
hasilnya dengan cepat.
Lebih
dari itu, QC dapat berfungsi sebagai instrumen konfirmasi dan alat kontrol
bagi penyelenggara, dari kemungkinan adanya kecurangan dalam perjalanan rekap
suara dari TPS, PPS, PPK, sampai KPU. QC adalah kerja ilmiah yang dipercaya
hasilnya sepanjang teknik penentuan dan pengambilan sampel, jumlah sampel,
keterwakilan areal populasi, integritas pengumpul dan pengolah data, serta
tidak punya tendensi.
Berkaca
hasil QC pemilihan kepala daerah (pilkada) selama ini, hampir semuanya betul
dengan hasil KPU, meski tidak persis sama angkanya dengan margin error (garis merah) antara 1-2
persen, dengan sampel minimal 2.000 TPS.
Sebenarnya,
QC tidak akan menjadi perdebatan dan pembohongan terhadap publik jika
sekiranya dikembalikan ke poisinya, sebagai alat kontrol dari kemungkinan
terjadi kecurangan. Metode QC dilakukan di berbagai negara demokrasi.
Indonesia mulai menggunakan QC pada Pilpres 2004.
Hasilnya persis sama dengan rekapitulasi KPU
yang memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK). QC
digunakan di pilkada dan hasilnya selalu sama dengan rekap KPU yang dilakukan
lembaga survei terpercaya dan menggunakan metode yang benar.
Dalam
tataran ilmiah, QC merupakan pertaruhan dalam demokrasi. Jika lembaga survei
yang melakukan QC ternyata hasilnya berbeda, tentu tidak benar salah satunya,
membohongi rakyat.
Wajar
jika Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) mencurigai hasil
hitung cepat yang berbeda itu dan akan menindak lembaga survei yang melakukan
penyimpangan metode jika melanggar kode etik.
Ada
empat lembaga survei yang memenangkan Prabowo-Hatta, yaitu Pusat Kajian
Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Indonesia Research Center
(IRC), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI),
dengan keunggulan antara 0,58 persen sampai 4,10 persen.
Sementara
itu, ada delapan lembaga survei yang hasil QC-nya mengunggulkan Jokowi-JK.
Kedelapan lembaga survei itu, antara lain LSI (Lembaga Survei Indonesia),
SMRS (Saiful Mujani Research and Consulting), CSIS-Cyrus, Indikator Politik
Indonesia (IPI), Populi Center, Litbang Kompas, dan RRI. Begitu pula
Poltracking juga memenangkan Jokowi-JK. Hasil hitung cepat kesembilan lembaga
survei itu memenangkan Jokowi-JK dengan keunggulan 3,80-6,72 persen.
Perbedaan
semestinya tidak terjadi jika menggunakan metode ilmiah yang benar. Ini
karena yang didata adalah fakta dari hasil penghitungan suara di TPS. Hal ini
menjadi pertaruhan kredibilitas lembaga survei sebab seharusnya hasilnya sama
tentang siapa pemenangnya.
Oleh
karena itu, rakyat gamang menyaksikan perbedaan tersebut. Tetapi rakyat juga
sadar, kepastian pemenangnya ada saat KPU mengumumkan hasil rekapitulasi
suara manual. Berkaca hasil QC lembaga survei terpercaya dan kredibel selama
ini, hasilnya selalu sama dengan hasil hitungan KPU.
Jaga Kebinekaan
Tidak
bijaksana mencontohkan sikap yang jauh dari negarawan, yang hanya mau menang,
tetapi tidak siap kalah dengan menggalang opini publik yang tidak sesuai
fakta suara rakyat. Itu termasuk sikap dan pernyataan elite politik yang
mendukung pasangan capres, agar tidak memicu perdebatan di ruang publik.
Gestur
dan sikap para elite akan senanatiasa dijadikan panutan oleh para
pengikutnya. Saat elitenya bergembira, para pendukung ikut gembira. Begitu
pula sebaliknya yang bisa sedih.
Menjaga
harmoni kebinekaan merupakan keniscayaan bagi kelangsungan hidup negeri ini.
Kesiapan menerima kemenangan atau kekalahan, sekalipun dalam sebuah
kontestasi politik, adalah bagian sikap negarawan sejati.
Jangan
hanya mahir dipidatokan saat berkampanye atau saat debat capres, sikap
negarawan harus memancar dalam perilaku saat menerima hasil penghitungan
suara KPU pada 22 Juli 2014, termasuk hasil QC yang menimbulkan hasil
berbeda.
Kita
dukung audit dan investigasi yang dilakukan Persepi untuk mencari siapa yang
keliru terhadap dua kubu lembaga survei itu. Para pemimpin lembaga survei
harus sadar dan tidak menjual kredibilitasnya hanya karena kepentingan uang.
Jika kemudian terbukti hasil QC-nya salah, dimanipulasi, dan berbeda dengan
rekapitulasi KPU, bersiaplah menerima sanksi dikucilkan dan tidak laku lagi
pada pemilu berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar