Rupiah
dan IHSG Menguat Jelang 22 Juli
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi
dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
21 Juli 2014
AKHIR pekan lalu, rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
cenderung menguat. Rupiah diperdagangkan Rp 11.600-Rp 11.700 per dollar AS,
sedangkan IHSG bertahan di level di atas 5.000, bahkan mendekati 5.100. Hal
ini disebabkan bekerjanya beberapa faktor, baik eksternal maupun internal.
Secara eksternal, timbul sentimen positif setelah Kepala Bank
Sentral AS (The Fed) Janet Yellen mengumumkan bahwa kenaikan suku bunga AS
baru akan dilakukan tahun depan, bukan tahun ini. Di AS memang sedang timbul
polemik tentang suku bunga. Ada yang ingin agar bunga dinaikkan dari level
sekarang yang mendekati nol. Di sisi lain, termasuk Janet, masih ingin
menahan kebijakan suku bunga rendah ini hingga tahun depan (The Wall Street
Journal, 16/7/2014).
Perekonomian AS kini sedang membaik, ditunjukkan dengan angka
pengangguran yang turun menjadi 6,1 persen. Namun, karena kinerja pertumbuhan
ekonomi triwulan I-2014 cuma 1,7 persen—akibat terganggu cuaca dingin yang
ekstrem—menyebabkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2014 terkoreksi menjadi 2,1
persen. Semula, target pertumbuhan 2014 di atas 2,5 persen.
Melemahnya target pertumbuhan ekonomi AS menyebabkan kurs dollar
AS cenderung melemah terhadap mata uang dunia atau sebaliknya bagi rupiah
menyebabkan apresiasi (menguat). Sebelum Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli,
kurs rupiah di atas Rp 12.000 per dollar AS.
Di luar faktor AS, ada dua hal yang menyebabkan rupiah menguat,
yakni (1) hasil pilpres yang mengindikasikan hal positif dan (2) penguatan
skema Inisiatif Chiang Mai yang menguntungkan Indonesia.
Menjelang pengumuman resmi hasil pilpres oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) 22 Juli 2014, mulai terindikasi kuat bahwa hasil penghitungan riil
(real count) oleh KPU ternyata
sesuai atau nyaris identik dengan hasil penghitungan cepat (quick count) oleh delapan lembaga
survei yang kredibel. Pasar pun merespons positif. Ini bisa dideteksi dari
mengalirnya investasi portofolio asing yang mengalir masuk ke Indonesia.
IHSG pekan lalu ditutup mendekati 5.100. Jika pengumuman KPU 22
Juli 2014 berlangsung mulus, IHSG akan terus membubuhkan rekor baru.
Meningkatnya IHSG itu sesungguhnya tidak sejalan dengan kinerja para emiten.
Kinerja emiten perbankan umumnya stagnan. Memang ada yang mengalami
pertumbuhan laba, tetapi banyak pula yang labanya merosot karena tercekik
likuiditas ketat. Secara rata-rata, laba bank mengalami stagnasi. Di sektor
riil, situasinya sama saja. Industri otomotif bahkan mengalami penurunan
penjualan pada triwulan I-2014. Ini menunjukkan bahwa secara fundamental,
tidak ada gelagat positif kinerja para emiten di bursa efek.
Kalau begitu, kenaikan IHSG tentunya tidak disokong kondisi
fundamental (underlying), tetapi
lebih disebabkan euforia atau sentimen positif yang diembuskan lingkungan
bisnis (business environment), yang
dalam hal ini adalah pilpres (agenda politik).
Dari pengalaman India, sesudah pemilu, pasar percaya bahwa
kepemimpinan perdana menteri baru Narendra Modi telah menumbuhkan kepercayaan
dan harapan stabilitas ekonomi. Akibatnya, terjadilah aliran dana masuk (capital inflow) yang menyebabkan mata
uang rupee menguat. Di kalangan negara-negara emerging markets di Asia, tiga negara yang tetap menjadi favorit
tujuan investasi adalah Tiongkok, Indonesia, dan India. Jadi, jika India baru
saja mengalami keberhasilan pemilu, situasi yang sama mestinya juga akan
terjadi pada Indonesia.
Faktor lainnya adalah penguatan skema Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM), yakni kerja
sama antarbank sentral ASEAN ditambah Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.
Skema ini intinya adalah jika negara ASEAN terkena krisis, di mana
keseimbangan eksternalnya tertekan hebat—sehingga mata uangnya terdepresiasi
tajam—tiga negara Asia Timur itu (belakangan ditambah Hongkong) akan membantu
memasok devisa.
Kerja sama semacam ini sangat menguntungkan Indonesia. Saat
Indonesia terkena krisis 1997-1998, pasokan devisa dari IMF terlalu kecil dan
lambat. Padahal, situasi kita sangat kritis, tetapi IMF terlalu ”pelit”
memasok devisa. Akibatnya, krisis Indonesia bukannya sembuh malah parah dan
lama.
Situasi itu kini coba ditanggulangi dengan CMIM. Semula CMIM
hanya menyiapkan dana 120 miliar dollar AS, kini ditingkatkan menjadi 240
miliar dollar AS untuk disalurkan ke negara ASEAN yang terkena krisis.
Sebagai perbandingan, Brasil-Rusia-Tiongkok-Afrika Selatan (BRICS) baru saja
membentuk bank dengan modal 100 miliar dollar AS, jauh di bawah komitmen
CMIM.
Skema baru CMIM sangat membantu Indonesia menghadapi krisis.
Indonesia tidak perlu lagi meminta tolong IMF karena memiliki negara-negara
sahabat yang lebih berempati dan sigap membantu, yakni trio
Tiongkok-Jepang-Korea Selatan. Kombinasi cadangan devisa ketiganya kini 5,6
triliun dollar AS, yakni Tiongkok (4 triliun dollar AS), Jepang (1,28 triliun
dollar AS), dan Korea Selatan (360 miliar dollar AS). Cadangan devisa
Indonesia kini 107 miliar dollar AS.
Sebagaimana India yang sukses dengan pemilu dan pembentukan
pemerintah baru yang lebih ramping, Indonesia tidak boleh menyia-nyiakan
momentum pilpres. Pasar sudah memberikan indikasi mendukung hasil
penghitungan cepat dan penghitungan riil sementara, yang ditunjukkan dengan
menguatnya rupiah dan IHSG. Hendaknya momentum ini kita kawal, pertahankan,
dan bahkan ditingkatkan sehingga mencapai titik kulminasinya pada Selasa, 22
Juli 2014.
Karena itu, sangat penting untuk tidak mengganggu KPU melakukan
penghitungan final. Biarkan KPU bekerja dengan tenang, tanpa tekanan
kerumunan massa. Masyarakat cukup menonton dari televisi, tidak perlu ke KPU,
yang justru rawan menimbulkan kegaduhan secara tidak perlu.
Selanjutnya, biarkan pasar menilai dengan saksama sehingga hasil
final pilpres bisa mengoptimalkan pergerakan rupiah dan IHSG. Jika Selasa
besok semuanya aman-aman saja, ekuilibrium baru rupiah Rp 11.300 per dollar
AS dan IHSG mencapai 5.200 bukanlah hal yang sulit dicapai.
Sesudah itu, izinkan presiden baru nanti dengan tenang dan
jernih membentuk kabinet yang profesional, ramping, dan efisien. Hanya dengan
cara itu sentimen positif pasar bakal bisa dipelihara dan berlanjut. Inilah
modal awal terbesar yang kita miliki untuk memulai Indonesia baru yang penuh
harapan. Jangan pernah menyia-nyiakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar