Religiositas
Mudik
Achmad Fauzi ;
Aktivis Multikulturalisme
|
KORAN
TEMPO, 15 Juli 2014
Makna
esoteris mudik tidak sekadar berkonotasi fisik. Sebagai perayaan kemenangan
bagi yang telah berpuasa sebulan penuh menahan gejolak nafsu, mudik harus
ditafsirkan sebagai kesadaran kembalinya pengembaraan spiritual umat manusia
kepada Yang Maha Azali. Bahwa ruh dalam wadag hanyalah titipan Tuhan yang
harus dijaga kesuciannya dan suatu saat akan kembali kepada Sang Pemilik.
Mudik,
meskipun menurut Umar Kayam (2002) adalah tradisi primordial masyarakat
petani Jawa berabad-abad yang lalu, kini menjadi cara kaum urban untuk
menemukan kembali nilai-nilai keadaban. Setelah letih bergulat dalam kerasnya
kota, imajinasi kampung halaman yang permai menjadi penawar rasa keterasingan
diri. Kampung halaman memiliki memori sejarah yang membangkitkan otentisitas
nilai-nilai kemanusiaan. Tapi, sekali lagi, mudik bukan sekadar fisik.
Manusia adalah jatimurti atau sukma dalam wadag yang hadir dalam dunia rasa.
Karena itu, dalam mudik, seseorang harus bisa bebas menyatakan diri secara
utuh tanpa terikat oleh mesin/industri.
Salah
satu paradoks manusia modern, tulis Filsuf Herbert Marcuse dalam buku One Dimensional
Man (1964) berporos pada kealpaan manusia menemukan kembali hakikat dirinya.
Sebagai mikrokosmos, manusia kerap teralienasi oleh serangan industrialisasi
dan penguasaan hidup teknologi sehingga lorong waktu yang dilalui mereka
"tidak hidup" dalam makna manusiawi, tapi hanya hidup sebagai
bagian dari mesin.
Suasana
ini kontras dengan kehidupan di kampung yang sarat akan cita rasa
kebersamaan, guyub, solider, dan tradisional. Di kampung, identitas diri
pertama kali dilahirkan, dibentuk, berkembang, dan pada akhirnya berkelana
dalam persinggungan dengan nilai budaya modernitas. Karena itu,
sejauh-jauhnya orang merantau, jika Lebaran tiba, nurani terdalam cenderung
mendorong diri untuk kembali ke kampung halamannya.
Mudik
secara ideal harus mengandung perjumpaan batin antarmanusia secara primordial
dalam kapasitas sebagai makhluk Tuhan di muka bumi. Wajar saja jika mudik
selalu dilekatkan dengan momentum Idul Fitri, karena makna Idul Fitri kembali
kepada kesucian (jiwa).
Mudik
bermuara pada Lebaran. Kosakata Lebaran bermakna keluasan dan peleburan.
Makna lebar dan lebur di sini bisa berupa terbukanya pintu maaf atau
meleburnya seluruh masyarakat dalam kesatuan. Orang saling mengunjungi dan
mengucapkan selamat dan maaf saat Lebaran, sehingga hatinya luas dan terbuka.
Benih prasangka yang menyiksa inklusivitas pergaulan membuka peluang untuk
saling bertoleransi.
Akhirnya,
pada suatu saat nanti di sekitar Arasy, ada menara-menara yang tersusun oleh
partikel cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan
wajah mereka pun berpendar memancarkan cahaya. Mereka bukan para nabi atau
syuhada, hingga para nabi dan syuhada kagum pada mereka. Ketika sahabat
bertanya, Rasulullah SAW menjawab: Mereka adalah orang-orang yang saling
mencintai karena Allah, bersahabat karena Allah, bersilaturahmi karena Allah,
dan saling memaafkan karena Allah. Inilah inti sesungguhnya dalam memaknai
religiositas mudik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar