Reinventing
Birokrasi
M Rizki Pratama ;
Alumnus Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP UNAIR, Pemerhati Pelayanan Publik
|
OKEZONENEWS,
14 Juli 2014
Pasca-otonomi
daerah yang bertujuan mendekatkan pelayanan publik ke masyarakat di daerah
sehingga penyelenggaraan pelayanan publik menjadi lebih efisien, efektif,
mudah dikontrol serta mudah diakses oleh masyarakat di daerah, akan tetapi
hingga kini tujuan tersebut masih jauh api dari panggang.
Salah
satu sebab adalah masih setianya patologi birokrasi untuk tidak beranjak dan
terus merongrong eksistensi birokrasi sebagai alat untuk melayani masyarakat
yang antipartisan. Penyakit dalam birokrasi membuat birokrasi daerah kini
masih lembam sangat sulit untuk diajak berubah.
Pada
akhir tahun 2012 riset dari Kemitraan yang bertajuk Indonesia Governance
Indeks (IGI) menunjukkan bahwa dari 33 provinsi di Indonesia tidak ada
satupun provinsi yang memiliki indeks di angka 7, bahkan untuk 10 besar
tingkat nasional yang terbaik dimulai dari provinsi Jogjakarta (6,80), Jawa
Timur (6,43), DKI Jakarta (6,37), Jambi (6,24), Bali (6,23), Sumsel (6,19),
Kalsel (6,19), Riau (6,18), Sulut (6,17), Lampung (6,01). Indeks ini dibentuk
dari 6 elemen yaitu efektvitas, partisipasi, keadilan, transparansi,
efisiensi diantara elemen dalam good
governance yaitu government,
bureaucracy dan civil society
dengan tambahan dari economic society.
Indeks tersebut juga membuktikan bahwa yang terbaik masih berasal dari pulau
Jawa, di daerah lain masih banyak yang jauh lebih buruk.
Fatalnya pembangunan
di Daerah juga masih tergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Daerah tidak dapat berdiri sendiri masih menyusu pada pemerintah pusat.
Kegiatan pembangunan tidak berjalan, anggaran kecil terserap untuk bayaran
pegawai. Sudah berkali-kali dibahas kerugian masyarakat akibat buruknya
birokrasi daerah baik kerugian
material seperti setiap rupiah yang hilang akibat lambannya proses perizinan
dan rawannya pungutan liar maupun nonmaterial seperti emosi yang menyambar
ketika mendapatkan pelayanan tidak ramah.
Untuk
menyelesaikan semua masalah pada birokrasi sebenarnya pemerintah sudah
mencanangkan roadmap Reformasi
birokrasi yang akan diakhiri pada tahun 2025 akan tetapi jika dilihat hingga
kondisi nyata saat ini reformasi birokrasi sendiri juga tersendat meskipun
banyak upaya yang dilakukan akan tetapi secara substansi birokrasi nasional
tidak berubah, apalagi reformasi di daerah yang jarang mendapatkan sorotan
publik dan jarang diawasi padahal titik tumpu awal kegiatan pemberian
pelayanan masyarakat ada di daerah sehingga dampak buruknya birokrasi sangat
terasa bagi masyarakat di daerah.
Ada
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri yaitu asumsi bahwa birokrasi sebenarnya
sudah memiliki value yang baik yang sudah tertanam dalam birokrasi ketika
pada awalnya birokrasi itu dibentuk dengan tujuan tertentu, sudah ditetapkan
dan dikunci untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Hal inilah yang dilupakan
pemerintah yang menganggap semua birokrasi buruk dan harus segera dirombak
melalui reformasi birokrasi. Analogi reformasi birokrasi sangat mirip dengan
membakar gudang untuk membasmi tikus. Padahal akan lebih mudah dan sederhana
jika mereka ulang pandangan dasar setiap birokrasi pada awal pembentukannya,
itu saja. Sangat sederhana sebenarnya ketika birokrasi diarahkan kembali
untuk mencapai visinya atau mengembalikan ke fitrahnya.
Dengan
begitu mengembalikan visi birokrasi daerah sebagai service organization merupakan usaha yang lebih relevan daripada
tujuan ambisius reformasi birokrasi. Ini bukan paradigma liberal ala new public management milik Osbourne
dan Gaebler (1990) tapi inilah perwujudan nyata demokrasi dan pelayanan
publik layaknya new public service
Denhardt dan Denhardt (2002) yakni mengembalikan visi birokrasi untuk
melayani masyarakat bukan juga memberikan masyarakat customer service dengan
layanan yang ramah dan sopan, akan tetapi lebih daripada itu, memberikan
nilai-nilai akuntabilitas, transparansi serta rule of law jauh lebih penting. Reinventing berarti bring
back into existence (membawa kembali ke dalam eksistensi). Jelas kita tak
perlu repot-repot me-reformasi birokrasi yang sangat menantang sebab kita
hanya perlu mengarahkan kembali birokrasi kita ke arah yang sudah ada dan
sudah ditulis bertahun-tahun yang lalu. Kita harus menemukan kembali jati
diri birokrasi. Ide kami lebih hemat dan efisien jika hanya me-reinventing daripada me-reformasi.
Contoh berat reformasi politik 1998 memerlukan pengorbanan yang berat, tentu
kita tak mengharap lagi birokrasi terlalu lama menyeret masyarakat untuk
terus berkorban dan rugi.
Ongkos Mahal Reformasi
Reformasi
merupakan usaha perubahan secara drastis untuk memperbaiki suatu permasalahan
ke arah yang lebih baik. Kata-kata drastis ini memiliki makna yang cukup
“ngeri” yaitu dapat dikaitkan dengan perubahan yang menyeluruh dan radikal
maka jika dicanangkan pada reformasi birokrasi seharusnya kita hari ini sudah
melihat perubahan yang signifikan akan tetapi perubahan yang terjadi masih
semu. Ide reformasi birokrasi memang sama sekali tidak salah karena mangacu
pada praktik-praktik negara lain yang telah dianggap sukses melakukan
reformasi dengan berbagai syarat tentunya, akan tetapi ongkos yang digunakan
untuk reformasi dipastikan sangat mahal. Melihat reformasi birokrasi nasional
kita akan mendapatkan contoh yang buruk bagi Daerah, sebagai catatan kita ingat
bahwa kebijakan remunerasi dalam rangka reformasi birokrasi mengakibatkan
anggaran untuk belanja pegawai meningkat tajam dan sangat dimungkinkan akan
membebani anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN). Sejauh ini apa
remunerasi yang dianggap suatu project
yang paling membuat iri antarpegawai Kementerian/Lembaga belum mampu
menciptakan kinerja optimal bahkan Kementerian Keuangan sendiri yang
mendapatkan porsi remunerasi paling besar justru masih ada saja anggotanya
yang tertangkap tangan korupsi. Sudah
seharusnya dipahami kebijakan remunerasi kurang sejalan dengan semangat
reformasi yang efektif dan efisien. 5 tahun terakhir (2009 – 2013) anggaran
remunerasi mengalami kenaikan
rata-rata sebesar 50 % dan tidak berbanding lurus dengan pencapaian hasil.
Konsep money follow function dan performanced-based pay diterapkan akan
tetapi tak kunjung mendapatkan hasil.
Berbasis Nilai Lokalitas
Nilai
merupakan sesuatu yang sangat substansial yang ada dalam suatu birokrasi yang
dapat mempengaruhi segala bentuk tindakan, perilaku serta ide-ide. Terkait
dengan itu semenjak kita lahir sampai matipun harus tetap berurusan dengan
birokrasi, sehingga kita tahu bahwa birokrasi memiliki impact yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat. Nilai-nilai
dalam birokrasi yang masih terbelenggu nilai Weberian yang rigid, mekanis
serta birokratis harus dibebaskan, jangan terbelenggu pada tugas, pokok dan
fungsi (tupoksi) birokrasi yang itu-itu saja, tapi memberi nilai tambah bagi
masyarakat. Birokrasi harus berpatokan pada kondisi kebutuhan lokal baik
berupa kearifan maupun keunikan lokal sebab hanya dengan memahami secara
mendalam apa yang dibutuhkan masyarakat melalui nilai-nilai yang telah lama
terakumulasi di dalam masyarakat maka akan lebih mudah untuk menginisiasi
perubahan termasuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui campur tangan
birokrasi. Misalnya ketika Daerah banyak memiliki pelaku ekonomi lokal yang
hanya bergantung pada usaha mikro dengan penghasilan dan modal yang terbatas
maka birokrasi harus tanggap dengan menyediakan pelayanan publik dengan cara
mendatangi mereka secara langsung dan memberikan konsultasi secara mendalam
sampai terjadi perubahan keadaan ekonomi mereka, karena golongan tersebut
juga sangat tidak mungkin untuk datang ke office
dom birokrasi untuk meminta
bantuan, sebab mereka sendiri tidak memahami dan tidak berdaya. Oleh karena
itu Birokrasi harus memiliki mekanisme jemput bola kepada masyarakat terutama
masyarakat “pinggiran”.
Core business
pemerintah dalam hubungannya kepada rakyat adalah memberikan tanggung jawab
untuk menciptakan kesejahteraan rakyat melalui berbagai upaya, hemat kami
pelayanan publik meruapakan yang terpenting sebab kesejahteraan hanya daapta
dicapai jika kebutuhan dasar dapat dipenuhi. Kebutuhan dasar dpat terpenuhi
jika kegiatan pmerintah dalam memberikan pelayanan publik secara berkualitas
dan memiliki nilai tambah. Menemukan jati diri sendiri jelas bukan pekerjaan
mudah sudah bertahun-tahun birokrasi ditarik oleh sifat buruk yag membuat
mereka sukar berubah dan hingga berubah menjadi nilai yang dianggap menjadi
kebiasaan birokrasi, masyarakat sendiri sudah mahfum dengan kondisi tersebut
banyak yang sudah apatis asal semua bisa cepat korupsi pun dijajal toh sistem
tahu sama tahu memang mengizinkan hal itu. Birokrasi pasti sudah memiliki
visi melayani masyarakat akan tetapi tata kelola untuk mengarahkan
masing-masing sumber daya ke visi yang sama belum terjadi masih banyak para
pelayanan publik yang hanya bekerja untuk mencari uang, patuh pada atasan
adalah yang utama karena salah akan ditendang bukan patuh pada aturan
ditambah anomali perilaku korupsi yang benar-benar melanggar hukum akan
tetapi masih saja dilakukan. Di tengah reformasi yang tersendat-sendat,
perilaku birokrat yang belum berubah, efisiensi dan efektivitas masih nihil,
saran hanya untuk reinventing birokrasi mungkin dapat dilakukan sebelum
ongkos reformasi yang semakin mahal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar