Quick
Count Effect
Adiwarman A Karim ;
Peneliti
di Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
14 Juli 2014
Hari pertama Bursa Efek
Indonesia dibuka kembali setelah pilpres yang menampilkan hasil quick count,
indeks harga saham gabungan (IHSG) pada pagi hari melesat 102 poin didorong
aksi beli yang sangat ramai. Bahkan, pada sesi perdagangan siang, yaitu pada
saat quick count dipublikasikan,
terjadi 228.947 kali transaksi dengan volume 5,335 miliar lembar saham
senilai Rp 9,448 triliun.
Keriuhan di bursa pada
hari itu mungkin saja menjadi rekor tertinggi sementara tahun ini. Dana asing
berperan penting dalam memeriahkan bursa. Dari total transaksi Rp 15,8
triliun pada perdagangan tanggal 10 Juli itu, lebih dari separuhnya merupakan
transaksi investor asing. Investor asing membeli saham senilai Rp 9,865
triliun dengan transaksi jual Rp 5,667 triliun. Dengan demikian, asing tercatat
beli bersih (foreign net buy)
senilai Rp 4,197 triliun.
Mengakhiri perdagangan
Kamis itu, IHSG ditutup melompat 73,298 poin (1,46 persen) ke level
5.098,010. Sementara, Indeks LQ45 ditutup melesat 16,347 poin (1,89 persen) ke
level 875,659. Kurs rupiah terhadap dolar AS juga menguat pada 10 Juli itu.
Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menguat dari Rp 11.695 per dolar
AS men jadi Rp 11.549 per dolar AS. Per akhir Juni, inflowdolar AS sudah
deras mencapai 11,54 miliar dolar AS, per 10 Juli itu nilai tukar semakin
menguat karena adanya inflowdolar AS lagi.
Sebagaimana "Jokowi
effect" pada pertengahan Maret ketika Jokowi resmi dideklarasikan
sebagai capres oleh partainya, "quick count effect" juga tidak
berumur lama. Satu ha ri berikutnya, Jumat 11 Juli, pada sesi perdagangan
pagi, IHSG sudah anjlok 85 poin ke level 5.013,45. Seluruh sektor bisnis
mencatat penurunan nilai saham dengan laju koreksi terdalam pada sektor aneka
industri.
Kurs rupiah juga langsung
melemah 78 poin pada Jumat itu dari Rp 11.549 per dolar AS menjadi Rp 11.627
per dolar AS atau melemah 0,67 persen terhadap dolar AS. Fenomena ini
memberikan pesan yang sangat kuat bahwa upaya mengaitkan kejadian politik
tertentu dengan kondisi ekonomi Indonesia, terutama melalui distorsi pasar di
bursa efek dan di pasar devisa, tidak akan berumur lama.
Kekuatan pasar
sesungguhnya yang memang sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia
akan menolak distorsi tersebut dan mengoreksinya ke supporting level yang
wajar.
Upaya mengaitkan kejadian
politik tertentu dengan kondisi ekonomi bukanlah hal baru. Ketika
pemerintahan Orde Baru kehilangan kredibilitasnya, letter of credit dari bank-bank di Indonesia tidak lagi diterima
semua pihak di luar negeri. Para kreditur di luar negeri mendesak para penerima
pinjaman di dalam negeri agar segera membayar utangnya yang saat itu
diperkirakan mencapai 9,8 miliar dolar AS berupa utang jangka pendek swasta
yang jatuh tempo.
Akibatnya, tekanan
terhadap rupiah semakin bertubi-tubi. Krisis perbankan semakin dalam, 16 bank
swasta ditutup, terjadi kepanikan luar biasa nasabah menarik dananya dari
perbankan.
Ketika yen Jepang mengalami
depresiasi tajam pada 12 Juni 1998, tak ayal lagi kurs rupiah anjlok pada Rp
17 ribu per dolar AS pada 17 Juni 1998, titik terendah dalam sejarah rupiah.
Sedangkan, IHSG terjun bebas pada level 254 pada September 1998, titik
terendah dalam sejarah bursa efek. Kita sudah paham kejadian berikutnya yang
berujung pada jatuhnya pemerintahan Orde Baru.
Fenomena ini memberikan
pesan yang sangat kuat bahwa upaya mengaitkan kejadian politik tertentu
dengan kondisi ekonomi hanya akan terjadi bila kondisi fundamental ekonomi
rapuh. Ibaratkan tubuh manusia dalam keadaan lemah akan mudah terkena
serangan virus dan bakteri. Sedangkan, dalam keadaan kuat, sistem kekebalan
tubuh akan mampu melawan serangan tersebut.
Dari dua fenomena di atas,
"Jokowi effect" dan "quick count effect" di satu sisi dan
krisis ekonomi Indonesia 1998 yang berujung pada jatuhnya pemerintahan Orde
Baru di sisi lain mempunyai satu kesamaan, yaitu keterkaitan ekonomi
Indonesia dengan kekuatan-kekuatan ekonomi global. Sistem ekonomi Indonesia
yang terbuka memberikan peluang yang sangat besar bagi kemajuan ekonomi
bangsa, tapi juga menimbulkan eksposur risiko yang tidak kalah besar.
Ibarat seorang yang banyak
bergaul, ia akan mempunyai ba nyak teman dan pada saat yang sama ia akan
terpapar pada risiko salah pergaulan. Biasanya ada panduan ABCD dalam menghindari
virus salah pergaulan. A artinya absenteeism,
yaitu menghindari pergaulan sama sekali, atau dalam bahasa Arab disebut uzlah. B artinya be faithful, yaitu hanya bergaul dengan pergaulan yang baik,
dalam bahasa hadisnya "bergaul
dengan penjual minyak wangi dapat wanginya". C artinya cover your risk, yaitu menjadi ustaz
di kampung maling atau bahasa Arabnya istiqamah. D artinya disclose your risk and manage it,
yaitu menerima kenyataan bahwa pasti ada pengaruh buruk pergaulan lalu bertobat
dan menggantinya dengan perbuatan baik.
Untuk sistem ekonomi
Indonesia yang demikian terbuka, strategi D mungkin yang paling cocok.
Melarang investor asing bermain di bursa efek, misalnya, bukanlah suatu
pilihan yang cerdas. Dalam syariah, bursa terbuka bagi siapa pun investornya
asalkan mematuhi rambu-rambu syariah.
Upaya distorsi harga saham
seperti praktik pump and dump atau
istilah Arabnya bay najasy (membeli
saham untuk menaikkan harga kemudian menjualnya sekaligus untuk menjatuhkan
harga), dan berbagai praktik tidak sehat lainnya harus dikikis dan dicegah.
Ketika Rasulullah SAW
melihat praktik ijon kurma di Madinah sudah menjadi kebiasaan masyarakat,
beliau tidak serta merta melarang sama sekali praktik ijon. Rasulullah SAW
pun tidak membedakan ijon dilarang buat kaum Muslimin, boleh bagi kaum
non-Muslimin yang ada di Madinah.
Tanpa membedakan siapa
pelakunya, Rasulullah SAW mengatur agar ijon tetap dibolehkan asalkan empat
hal pasti. Kuantitas kurma yang dijual pasti, kualitas yang dijual pasti,
harganya pasti, dan waktu penyerahan kurmanya pun pasti. Ijon yang tadinya
haram berubah jadi bay salam yang halal.
Ketika Ibrahim, putra
Rasulullah SAW wafat pada 18 Rajab 10 Hijriyah, yang baru berusia satu tahun,
terjadi gerhana matahari menyelimuti Kota Madinah. Banyak kaum Muslimin
mengatakan, "Gerhana matahari ini
pertanda sedihnya jagat raya akan wafatnya Ibrahim." Rasulullah SAW
me negaskan, "Tak ada kaitannya
gerhana matahari dengan mati atau hidupnya seseorang."
Mengait-ngaitkan suatu
peristiwa dengan kejadian tertentu yang tidak ada relevansinya tidak akan
membawa manfaat apa pun kecuali memang ingin menimbulkan kesan dan pesan
keliru tertentu. Darrell Huff dalam bukunya yang fenomenal, How to Lie with Statistics, mengingatkan
bahwa keterkaitan bukan berarti adanya sebab akibat. Sekadar, othak athik gathuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar