Negara
Berkemakmuran
A Rudiyanto Soesilo ; Dosen Filsafat dan Etika Fakultas Pascasarjana
Unika Soegijapranata Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 11 Juli 2014
NEGARA berkemakmuran tinggi di dunia ternyata bukan negara yang sering
kita dengar, negara yang adidaya, yang selalu tampil dalam panggung politik
dunia. Tiga negara yang terletak di Jazirah Scandinavia: Norwegia, Swedia,
dan Denmark, ditambah DENGAN Finlandia, yang notabene jarang kita dengar
(kecuali Denmark sebagai ’’mitra’’ bulu tangkis) justru termasuk 10 negara
paling berkemakmuran (Prosperous
Countries in the World, The Legatum Prosperity Index 2013).
Sebagai paradoks, justru negara yang sangat ìkuatî dan mampu mengancam
negara-negara tetangganya, bahkan mengancam dunia, seperti Korea Utara di
bawah dinasti Kim, ternyata rakyatnya kelaparan dalam arti sebenarnya. Negara
tersebut malah perlu ditolong supaya rakyatnya tidak mati kelaparan. Lalu
adakah korelasi antara negara yang kuat dan mampu bersuara lantang, dan
kemakmuran rakyatnya? Sebagai jawaban dari kritik pemikir Karl Marx terhadap
sistem ekonomi yang berlangsung di negara-negara maju maka diciptakanlah
sebuah sistem yang kemudian dikenal dengan nama negara kesejahteraan (welfare country). Dalam sistem ini,
rakyat sebagai warga negara mendapat jaminan kesejahteraan dari negaranya
untuk memenuhi kehidupan dasar, kesehatan, dan pendidikannya, sejak ia lahir
hingga meninggal. From the craddle to
the grave. Sejak itu pula, nasib dan hidup rakyat negara dengan sistem
seperti itu menjadi ”orang kebanyakan”, semisal kaum buruh dan petani (oleh
Marx disebut kaum proletar). Rakyat dari negara kesejahteraan ini jauh lebih
sejahtera dan berkemakmuran dibandingkan dengan sesamanya di negaranegara
komunis, seperti yang sebelumnya dijanjikan oleh Marx dengan komunismenya.
Bagaimana kita mengaitkan demokrasi yang menuju negara berkemakmuran?
Di dalam demokrasi tertanam dan melekat nilai-nilai perdamaian di
dalamnya (Perpetual Peace, Immanuel
Kant). Asas demokrasi di antaranya memang mempersembahkan kemakmuran bagi
rakyatnya, sehingga secara logis harus menghindari konfrontasi dan peperangan
yang ongkos dan akibatnya sangat merusak dan memundurkan negara itu. Apalagi
bila menderita kekalahan. Dalam konteks kekinian, perang bukan lagi
pertempuran fisik melainkan bisa berupa kecenderungan menggertak, sok kuat,
menaikkan secara tidak proporsional anggaran pengadaan dan pembelian senjata
yang kemudian secara implisit tujuan akhirnya adalah suatu hegemoni kultural
terhadap negara-negara lain atau tetangganya (Gramsci) . Pemimpin negara demokratis suatu saat akan dituntut
oleh rakyatnya lewat mekanisme hukum, untuk mempertanggungjawabkan
kerusakan-kerusakan yang timbul dan beban atau ongkos yang harus ditanggung
rakyat atas kehancuran, kemandekan dan kemunduran yang terjadi. Arah
Kekerasan Sejarah mencatat pula bahwa kelahiran kekerasan dalam politik dunia
berawal dari kelahiran pemimpin- pemimpin yang keras (tough) yang membawa negaranya ke arah kekerasan yang menuju suatu
hegemoni tadi. Kita mengenal berbagai despot diktatorial yang kemudian
mencelakakan rakyatnya. Munculnya Adolf Hitler, jago pidato, demagog, dan
agitator, yang setelah mendapat mandat kekuasaan, bersama partainya, yaitu
Partai Nasionalis-Sosialis-Nazi, mengubah arah demokrasi.
Ia membelokkannya menjadi negara fasis, yang inti ajarannya adalah
negara yang sangat kuat, serta rakyat harus patuh dan tunduk kepada para
elitenya. Dari model negara kuat dan mensubordinatkan rakyatnya itulah
kemudian lahir berbagai bencana kemanusiaan sekaligus kehancuran negara dan
bangsanya. Pola despot diktatorial inilah yang terjadi pada dinasti Kim di
Korea Utara. Hasil penelusuran tentang 11
Most Introverted Countries In The World (Aletheia Luna), menunjukkan bahwa negara-negara di Semenanjung
Scandinavia yang mencapai top 10 negara berkemakmuran itu termasuk introvert countries, negara-negara
yang tekun dan konsen mengurusi kesejahteraan warga dan rakyatnya.
Upaya itu dilakukan dengan tanpa harus berpretensi dan bertendensi
untuk menjadi ìnegara kuatî yang mampu menggertak dan mengancam negara lain.
Fakta bahwa beberapa negara adidaya justru ketinggalan peringkat tingkat
kemakmurannya, Amerika Serikat ada pada nomor 12, Inggris 13, Tiongkok 58, dan
Rusia di bawah Putin ’’hanya’’ nomor 63. Setelah melewati pesta Pilpres 2014,
tak ada salahnya rakyat perlu merenung. Sebagai warga sebuah negara sedang
berkembang yang tengah bersiap-siap melesat ke depan, tampaknya perlu
memahami urgensi membenahi diri terlebih dahulu sebagai prioritas. Pahami
sikap introvert country yang lebih
memprioritaskan kesejahteraan yang berkemakmuran sebagai prasyarat utama
mencapai tujuan-tujuan berikutnya. Sebagai negara demokrasi maka suara
rakyatlah yang kemudian akan menentukan negara yang dapat memprioritaskan
kesejahteraan berkemakmuran. Keniscayaan itu bisa ditempuh lewat sikap
introvert, tekun, dan concern
membenahi diri dengan tata kelola dan etos tegar guna mempersiapkan diri
melesat menggapai tujuan-tujuan berikutnya. Itulah tugas presiden-wakil
presiden terpilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar