Modus
Serangan Israel ke Gaza
Muhammad Ja’far ;
Pengamat Politik Timur Tengah
|
KORAN
TEMPO, 14 Juli 2014
Baru
sebulan yang lalu, asa perdamaian Israel-Palestina merekah melalui inisiatif
Paus Fransiskus mempertemukan Presiden Palestina Mahmud Abbas dengan Presiden
Israel di Vatikan. Melalui pertemuan 25 Mei 2014 tersebut, Paus ingin
membangkitkan kembali spirit persaudaraan agama sebagai landasan perintisan
kembali perundingan damai. Namun, kini, asa itu sudah layu lagi oleh aksi
militer sepihak Israel ke Gaza.
Aksi
militer, terutama terhadap Gaza, menjadi modus yang digunakan Israel untuk
beberapa tujuan. Setidaknya ada tiga modus aksi militer ini, yaitu:
Pertama,
aksi militer kerap digunakan oleh Israel sebagai strategi untuk
mendelegitimasi sebuah perundingan damai yang sebenarnya berjalan
konstruktif. Tentunya, aksi ini inisiasi kelompok konservatif yang cukup
dominan dan berpengaruh dalam perpolitikan Israel, terutama parlemen
(Knesset), untuk meluluskan sebuah kebijakan militer.
Kedua,
aksi militer juga menjadi modus Israel untuk menarik mundur sebuah hasil
perundingan dengan Palestina, agar kembali ke titik "netral" yang
dikehendaki Israel. Ketika sebuah proses perundingan menyepakati klausul
kesepakatan yang tidak dikehendaki oleh faksi konservatif di Israel, aksi
militer kerap digunakan untuk mendelegitimasi klausul tersebut. Perundingan
mundur satu langkah secara sekejap, padahal dirintis dalam tempo yang cukup
lama.
Ketiga,
selain dua modus tersebut, aksi militer menjadi strategi Israel untuk menekan
faksi politik di lingkup internal Palestina. Aksi militer Israel sering kali
ditujukan sebagai simbol sekaligus alat tekanan politik terhadap Hamas
sebagai salah satu faksi di Palestina. Dengan modus tekanan ini pula Israel
berupaya mengantisipasi terjadinya rekonsiliasi politik antara faksi yang
berival di lingkup internal Palestina. Terutama antara Hamas dan Fatah. Dalam
beberapa bulan terakhir, Hamas dan Fatah sedang menjajaki proses rekonsiliasi
yang menargetkan terbentuknya pemerintahan bersatu di antara keduanya. Ini
langkah maju bagi kalangan internal Palestina, namun bisa menjadi langkah
mundur bagi kepentingan sepihak Israel. Rekonsiliasi Hamas-Fatah akan menyolidkan
daya tawar politik negara tersebut di hadapan Israel.
Selama
ini, Israel banyak diuntungkan oleh, sekaligus memanfaatkan secara
manipulatif, friksi politik yang terjadi di antara keduanya untuk melemahkan
posisi tawar politik Palestina di meja perundingan. Israel sering menekan
Fatah untuk memilih antara dua opsi: berdamai dengan Hamas atau Israel.
Terakhir, pernyataan semacam ini dilontarkan Perdana Menteri Israel Benyamin
Netanyahu pada April lalu, menanggapi rencana rekonsiliasi Hamas-Fatah. Menteri
Luar Negeri Israel Avigdor Liberman juga mengatakan secara keras bahwa
prospek rekonsiliasi Hamas-Fatah tersebut membuat kesepakatan damai
Israel-Palestina menjadi "tidak mungkin". Meski proses rekonsiliasi
Hamas-Fatah masih butuh waktu, komitmen, dan konsistensi di antara kedua
faksi tersebut, prospek itu setidaknya telah menjadi lampu kuning bagi
beberapa faksi di Israel.
Aksi
militer Israel ke Gaza saat ini mendekati pola modus yang kedua dan ketiga,
yaitu semakin menarik mundur perkembangan perundingan dan mengantisipasi
prospek rekonsiliasi Hamas-Fatah. Terbuka kemungkinan, dua hal ini
berkelindan dan saling mempengaruhi. Di tengah upaya pemerintahan Obama untuk
mencapai perkembangan impresif perundingan damai melalui tangan dingin Kerry,
Israel justru melakukan langkah sebaliknya: menarik mundur. Aksi militer ke
Gaza ini juga dapat dibaca sebagai strategi Israel untuk memberikan tekanan
politis tidak langsung kepada Hamas dan Fatah, terkait dengan proses
rekonsiliasi keduanya. Israel memutuskan untuk menangguhkan proses
perundingan pasca-perintisan rekonsiliasi Hamas-Fatah.
Setidaknya
ada lima isu yang selama ini menjadi materi perundingan damai
Israel-Palestina selama ini, yaitu status teritori Yerusalem, garis
perbatasan negara, permukiman, pengungsi, dan jaminan keamanan kedua negara.
Pada kelima poin tersebut, Palestina selalu berada di bawah angin dan tidak
pada posisi sejajar secara politis. Dalam hal pembangunan permukiman dan
pengungsi, Israel selalu menunjukkan superioritas dan arogansinya. Dorongan
Obama agar Israel menghentikan proses pembangunan permukiman tidak dihiraukan
oleh Israel. Dalam hal jaminan keamanan negara, Israel menuntut kadar yang
tinggi untuk negaranya, namun sebaliknya kepada Palestina. Aksi militer ke
Gaza saat ini salah satu bukti rendahnya pemenuhan Israel terhadap jaminan
keamanan rakyat Palestina. Mereka melakukannya secara sporadis terhadap warga
sipil Palestina.
Aksi
militer Israel ke Gaza menjadi tantangan bersama bagi Fatah dan Hamas,
terkait dengan realisasi rencana rekonsiliasi keduanya. Persatuan di antara
keduanya akan menguatkan Palestina secara politis, baik soliditas di dalam
negeri maupun di dunia internasional. Momentum rekonsiliasi keduanya sudah
mulai tercipta. Butuh komitmen dan konsistensi keduanya untuk merealisasinya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar