Merajut
Kembali Spirit Multikulturalisme
Thomas Koten ;
Direktur Social Development Center
|
SINAR
HARAPAN, 16 Juli 2014
Sambil
menunggu lahirnya pemimpin baru di republik yang multikultur ini, ada baiknya
kita mengerling kembali suasana batin masyarakat bangsa ini pasca-Pilpres 9
Juli.
Sebagaimana
diketahui, begitu panasnya persaingan politik dalam perebutan kekuasaan antara
dua kandidat calon presiden dan calon wakil presiden. Bahwasannya, kerasnya
persaingan menyebabkan semakin tereliminasinya etika, moral, dan etos dalam
berpolitik.
Secara
teoritis, persaingan dalam koridor demokrasi, etika dan moral menuntut kita
untuk mengedepankan atau mengutamakan martabat dan kehormatan dalam meraih
kemenangan; Dan/atau demokrasi meniscayakan kompetisi yang didasarkan pada
etika, moral, dan etos demi melahirkan pemimpin yang amanah, cerdas
lahir-batin. Kekuasaan (power)
sungguh buas seperti harimau lapar.
Matinya Spirit Multikulturalisme
Suatu
hal yang memiriskan, ketika kampanye hitam yang dilancarkan begitu “sadis”,
sehingga menohok “jantung” multikulturalisme bangsa.
Spirit
kebersamaan-multikulturalisme yang begitu susah payah dibangun selama ini,
bukan hanya terusik, melainkan dihancurkan dan dimatikan. Multikulturalisme
sebagai keniscayaan bangsa, seperti digugat kembali, sehingga merontokkan
daya perekat kebersamaan.
Multikulturalisme
dapat dimengerti sebagai pengakuan terhadap keragaman atau keanekaragaman
budaya dan etnis, yang menumbuhkan kepedulian untuk mengupayakan agar
kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat, dan kelompok mayoritas
bersedia mengakomodasinya dengan tetap mengakui identitas minoritas (Kymlicka, 1989).
Di
dalamnya tetap tercipta dan terjamin kebersamaan yang memungkinkan
masing-masing kelompok tetap mengembangkan identitasnya masing-masing.
Sayang,
dalam perjalanan bangsa, seperti yang terjadi selama ini, kelompok minoritas
kerap terusik keberadaannya sehingga kenyamanan dan ketenteraman mareka
seringkali terasingkan. Kampanye hitam yang terjadi pada Pilpres 9 Juli,
adalah salah satu contoh betapa multikulturalisme bangsa kita masih
menyembulkan masalah.
Belum lagi tidak terhitung banyaknya
perlakuan diskriminatif yang mengusik kebersamaan bangsa. Bahkan,
diskriminasi kerap dilegitimasi, sehingga kelompok minoritas tidak jarang
merasa seperti kehilangan eksistensinya.
Lebih
daripada itu, kampanye hitam yang dilancarkan menjelang Pipres 9 Juli, seolah
semakin memarginalkan kelompok minoritas dalam ruang publik bangsa; Memberi
label “tidak pantas” atau “tidak boleh” berada dan berguna di tengah
masyarakat bangsa yang multikultur ini, apalagi hendak menjadi pemimpin bagi
kelompok mayoritas. Apa yang terjadi? Eksistensi kelompok minoritas terasa
tetap terpinggirkan.
Lalu,
apa yang salah dengan munculnya sikap seperti ini di tengah masyarakat bangsa
multikultur yang berbingkai Bhinneka Tunggal Ika? Tampaknya, Bhinneka Tunggal
Ika yang menjadi wujud karakteristik utuh masyarakat bangsa yang telah lama
terpatri, agaknya masih terpahami secara dangkal, formalitas saja.
Multikulturalisme belum terpahami sebagai mozaik kebudayaan yang mewujud
dalam satu kesatuan yang kuat, utuh, dan sinergis.
Konflik
yang kerap terjadi berlatarkan suku dan agama, atau terjadinya kampanye hitam
menyongsong pilpres, menjelaskan multikulturalisme merupakan kekayaan bangsa.
Namun, dalam implementasinya masih diposisikan sebagai batu sandungan alias
dinding terjal yang sulit dilewati. Konsekuensinya, kita masih menyaksikan
belum terjadinya persentuhan yang harmonis antara kelompok masyarakat yang
berlainan agama, suku, dan lain-lain.
Persoalan
kini adalah bagaimana merajut kembali spirit multikulturalisme, sebagai keniscayaan
demi membangun masa depan bangsa yang lebih harmonis dan bersahaja dalam
panji Bhinneka Tunggal Ika. Itu mengingat sikap diskriminatif, eksklusif,
serta berpandangan partikularitas dan menyangkal multikulturalisme sudah
tidak relevan lagi untuk zaman ini.
Kesadaran Multikulturalisme
Karenanya,
Indonesia pasca-Pilpres adalah Indonesia yang perlu segera berjuang mencegah
keterbelahan dan keterkoyakan masyarakat, akibat perilaku politik tanpa etika
yang diperagakan lewat kampanye hitam dengan memosisikan sang kompetitor
sebagai musuh politik yang harus dihancurkan; Bukan sebagai lawan politik
yang mesti dihormati dalam kebersahajaan (istilah Chantal Mouffe).
Di
sini, yang perlu segera dilakukan adalah membangun dan mengembangkan citra
kemasyarakatan multukultural yang lebih
humanistik dan beradab.
Dalam
arti, dengan semangat pluralitas, kejujuran, keadilan, dan keikhlasan, kita
perlu membangun dan mengembangkan kesadaran untuk menciptakan ruang-ruang
kebersamaan bagi tumbuhnya masyarakat multikultur dalam kemajemukan budaya,
juga etnis; Menjadi mozaik kebudayaan bangsa yang indah, harmonis, dan
bersahaja.
Masyarakat
multikutltur dengan aneka macam etnis atau suku yang berada dalam keniscayaan
pluralitas bangsa, sesungguhnya membutuhkan kesadaran yang relatif lebih
tinggi untuk menciptakan grand design
(desain besar) untuk pengembangan multikulturalisme.
Ini
suatu yang sangat diperlukan untuk digunakan sebagai bingkai artistik, agar
di dalamnya berbagai perbedaan budaya, etnis, dapat dirajut dan dikembangkan
menjadi sebuah mozaik lukisan kebudayaan dan peradaban bangsa. Ini Supaya
dalam bingkai itu pula terakumulasi keragaman budaya, etnis, serta
terciptanya ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya budaya majemuk sebagai
kekayaan bangsa.
Bangunan
kesadaran akan spirit multikulturalisme ini, oleh Durkheim disebut kesadaran
kolektif (collective consciousness).
Kesadaran kolektif adalah suatu konsensus masyarakat yang mengatur hubungan
sosial budaya antara anggota masyarakat yang beranekaragam. Kesadaran
kolektif keberbangsaan dalam keanekaragaman itu dapat berwujud aturan-aturan,
moral, etika, etos, agama, dan segala nilai luhur dan mulia dalam masyarakat.
Hendaknya
itu semua bukan hanya dilakukan pasca-Pilpres, melainkan perlu terus digelorakan
agar tetap tumbuh sikap saling memahami dan menghargai eksistensi identitas
dan kekhasan masing-masing. Dalam hal ini, mayoritas dan minoritas bukanlah
masalah. Semua itu harus dipandang memiliki hak hidup, hak mengembangkan
potensi diri, dan hak-hak lain dalam kebersamaan, yang seyogianya saling
mendukung.
Dalam
memahami dan menghargai kekhasan budaya, etnis, agama, dan kelompok yang
berbeda, kita perlu menyimak pandangan filsuf Prancis, Emmanuel Levinas.
Perbedaan merupakan kekhasan yang eksistensial. Kehadiran yang lain dalam
perbedaan justru menambah kekayaan dan keagungan masyarakat yang akan
membuahkan kedamaian dan menumbuhkan kultur positif dalam kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar