Mengurus
Residu Sosial
Adrianus Meliala ;
Kriminolog FISIP UI; Komisioner Komisi Kepolisian Nasional
|
KOMPAS,
16 Juli 2014
INDONESIA
segera memiliki pemerintahan baru. Bukan hanya presiden dan wakil presiden
yang pasti merupakan orang baru, sekitar seribu pejabat politik dan pejabat
eselon I juga akan berganti. Ada yang akan segera diganti, ada pula yang
masih menunggu hingga masa jabatannya selesai.
Maka
sejatinya pemerintahan baru yang akan segera ditangani pertama kali adalah
sektor, lembaga, atau elemen masyarakat yang dianggap penting terkait
kehidupan ekonomi dan politik masyarakat. Wajar jika kemudian perbaikan
infrastruktur, seperti jalan raya, rumah sakit, dan sekolah, demikian pula
kemudahan berusaha dan peningkatan kapasitas industri menjadi fokus untuk
segera ditangani.
Itulah
contoh dari hal yang sering menjadi program 100 hari dari semua pemerintahan
baru di semua tingkatan. Itu wajar saja mengingat semua pemerintah baru ingin
dilihat berkinerja oleh masyarakat, setidak-tidaknya konstituennya.
Permasalahannya,
setelah pemerintah sibuk menyentuh berbagai sektor, berbagai lembaga,
berbagai bidang, hingga berbagai elemen masyarakat, kapan residu sosial mulai
ditangani?
Residu
sosial adalah istilah penulis yang ditujukan kepada beberapa elemen
masyarakat yang berada pada situasi kurang mampu atau kurang produktif karena
satu dan lain hal sehingga menjadi beban masyarakat. Konsep residu juga
mengandung makna orang-orang yang karena suatu penyebab tidak bisa mengikuti
dinamika masyarakat. Alih-alih jadi orang yang tetap berada dalam mainstream
masyarakat, malah menjadi marjinal, menyimpang, terkucil, dan sebagainya.
Dengan
definisi tersebut, mereka yang tengah jadi narapidana, penderita penyakit
menahun atau kronis, orang lanjut usia, gelandangan, orang tanpa status,
penyandang disabilitas, atau yang sedang mengalami masalah kewarganegaraan
dapat disebut residu sosial tersebut. Jika Indonesia memiliki masalah seperti
bencana alam atau konflik sosial, bertambah pula kategorinya: mencakup
pengungsi dan yatim-piatu korban perang.
Tidak
enak memang membicarakan kalangan ini. Kalangan ini cenderung sensitif dan
bisa emosional terhadap situasi yang dihadapinya. Namun, tidak semua anggota
dari kalangan ini tidak mampu berkontribusi bagi masyarakat sebagaimana
dibuktikan sekalangan penyandang disabilitas. Secara umum, dibutuhkan lebih
dari sekadar niat baik untuk menyentuh dan mengembangkan kalangan ini.
Itulah
persoalan yang juga dihadapi setiap pemerintah baru. Pertanyaan seperti kapan
mulai memberi perhatian kepada kalangan ini, ada saatnya mengemuka. Jika
memang dianggap sudah waktunya, mengingat kelas menengah sudah dipuaskan
kebutuhannya dan kebijakan pro rakyat kecil sudah mulai menggeliat,
pertanyaan lanjutan: seberapa besar perhatian itu?
Persoalan
seberapa besar perhatian itu menjadi penting di mata mereka yang diberi
kewenangan menjalankan amanah masyarakat. Ini mengingat kelompok masyarakat
yang produktif dan/atau mainstream di masyarakat akan gusar jika alokasi
anggaran bagi narapidana lebih besar dibandingkan dengan anggaran pendidikan.
Mereka juga akan gusar jika pajak yang mereka bayarkan diberikan dalam bentuk
tunjangan buat penderita penyakit kronis yang lebih besar daripada dana untuk
kesehatan masyarakat. Contoh lain, uang makan bagi para migran selundupan
lebih besar ketimbang kebutuhan hidup minimum pekerja di daerah tersebut.
Katakanlah
pemerintah mengupayakan program pemberdayaan, pertanyaan seberapa besar hal
itu menjadi prioritas yang dianggap tinggi urgensinya, selalu menantang. Akan
selalu ada yang keberatan jika perhatian pemerintah tersita untuk urusan
tersebut. Akan selalu ada orang yang kritis sebagai berikut, ”Orang yang taat hukum enggak diurus, yang
sudah jelas-jelas salah malah diurus.”
Pemerintah
yang baik tentu wajar jika merasa gerah dengan tudingan semacam itu. Terlepas
bahwa semua orang memiliki hak asasi, adalah hak seseorang pula untuk
mendapatkan perhatian dari negara. Pemerintah yang baik tentu tidak boleh
membeda-bedakan warganya. Masalahnya, bagaimana mungkin?
Saat
pemerintah terancam kontraksi ekonomi, mulai kehilangan dukungan politik,
menurun elektabilitas politik, atau mulai mendekati pemilu, diperkirakan
kalangan residu ini pula yang segera kehilangan perhatian dari pemerintah.
Pemotongan anggaran akan segera mereka alami demikian pula melorotnya
perhatian banyak pejabat pemerintah terhadap mereka. Mengurusi residu sosial
dengan demikian benar-benar dipersepsi sebagai beban.
Lebih
menyedihkan lagi, saat musim kampanye, kemungkinan besar tak ada kontestan
yang mau menjadikan isu penanganan residu sosial sebagai tema kampanye yang
seksi. Pendekatan pemerintah terhadap residu sosial kemungkinan dianggap
mengada-ada dan berlebihan. Bahkan, kontestan petahana yang, katakanlah,
telah berbuat banyak bagi residu sosial, bisa juga ogah menjadikan mereka
sebagai primadona kebijakannya. Apakah situasi yang sama juga akan dilakukan
capres/cawapres terpilih kelak? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar