Mengakhiri
Akar Konflik
Amanda Adiwijaya ;
Lulusan International Biblical College, Yerusalem
|
KORAN
JAKARTA, 17 Juli 2014
Israel pernah disebut Nabi Musa sebagai bangsa tegar tengkuk karena kebebalannya pascaeksodus dari Mesir.
Seusai menyeberangi Laut Merah dan
aman dari kejaran tentara Firaun,
bangsa itu justru musyrik luar biasa dengan menyembah patung lembu emas.
Rupanya sebutan tersebut berlanjut hingga
kini dan kian nyata dalam
serangan ke jalur Gaza. Ada beragam
analisis terkait motif serangan. Tapi
yang boleh jadi paling tepat adalah
balasan atas kematian tiga remaja Israel secara mengenaskan. Publik dan pemerintah
Israel menuduh Hamas sebagai pelaku penyiksakaan. Hamas membantah tuduhan
tersebut. Pemerintah Israel mendapat tekanan untuk membalas, sebagaimana
hukum mata ganti mata dan gigi ganti gigi.
Perlu diketahui, di mata Israel, Hamas
adalah organisasi teroris. Jadi,
menyerang Gaza yang merupakan sarang Hamas dianggap pilihan logis. Bukti Hamas teroris tampak
pada sikap kelompok itu yang selalu
mengganggu eksistensi Israel lewat berbagai aksi teror seperti menyiksa atau
menyandera personel militer dan warga sipil Israel.
Israel
mengeluarkan pernyataan mengejutkan di tengah krisis Gaza yang semakin
memburuk. Israel meyakini Palestina sudah mengubah fungsi tempat ibadah
sebagai tempat perencanaan aksi teror. Hamas dan beberapa organisasi teroris
lain telah menggunakan tempat seperti itu secara sistematis untuk keperluan
militer dan politik. Demikian pernyataan resmi Pusat Intelijen dan Kontra
Terorisme Israel, seperti dimuat
Israel Nation News, Selasa (15/7/2014).
Beberapa hari lalu, Israel melancarkan
serangan atas dua masjid di Gaza.
Serangan tersebut sontak membuat Hamas naik pitam. Hamas pun belum mau
menerima proposal terbaru Mesir untuk
gencatan senjata. Mereka juga terus meluncurkan roket ke Israel.
Kabinet Israel, Selasa (15/7), juga membahas proposal gencatan senjata
usulan Mesir. Obama mendukung proposal
tersebut.
Demikian pula Paus Fransiskus pun sudah
mendesak kedua belah pihak, Israel dan
Hamas, mau menempuh jalan damai dan dialog, bukan perang. Paus jelas amat
kecewa dengan banyaknya korban sipil akibat serangan. Padahal baru sebulan
lalu, Paus memprakarsai doa bersama di
Vatikan dengan mengundang Presiden
Palestina, Mahmoud Abbas, dan Presiden Israel, Shimon Peres.
Ayat Alquran, Injil, dan Taurat pun dibacakan di sebuah taman di Vatikan,
Minggu (8/6). Paus duduk di antara Peres dan Abbas. Sekitar 80 pemimpin agama
hadir, selain wartawan. Ketiga tokoh lalu
membacakan doa. Peres berdoa
dalam bahasa Ibrani yang mengutip Taurat. Paus dalam bahasa Italia dan mengutip
Injil. Terakhir, Abbas berdoa dalam
bahasa Arab dengan mendaraskan ayat
Alquran.
Selanjutnya, ketiganya memberi sambutan.
Peres dan Abbas berpegangan tangan, lalu
berpelukan. Menurut Paus, perdamaian membutuhkan keberanian
daripada perang.
Acara doa
digagas Paus sejak kunjungan tiga harinya ke Palestina pada bulan Mei. Dalam kunjugan
itu, Paus sempat mendatangi Masjid Al
Aqsa di Yerusalem, Senin (26/5). Ketika di Yerusalem itu, Paus menyerukan
umat Kristen, Yahudi, dan Muslim bekerja sama mengupayakan perdamaian.
Karena
perdamaian berdimensi spiritual, maka
perlu doa. Yerusalem sendiri bermakna sebagai kota damai. Di kota suci
bagi tiga agama samawi ini, khususnya
Yerusalem Timur, sepanjang 24 jam juga terlantun doa-doa dari sinagoga, gereja, dan masjid. Doa dari ketiga umat beragama itu
sudah berlangsung ribuan tahun.
Ironi
Ironisnya perdamaian menjadi sesuatu yang
mewah dan mahal di Timur Tengah pada umumnya dan Gaza khususnya. Memang, manusia jangan pernah berpikir bahwa doa di Vatikan bisa menyelesaikan segalanya atau membawa
hasil cepat dan menuntaskan masalah.
John L Allen Jr menyebut doa adalah awal
baik. Ibarat seorang petani, setelah doa, dia juga harus membajak, menanam benih, memupuk, menyiangi,
baru memetik panen. Menurut Pierrebattista Pizzaballa,
Pemimpin Ordo Fransiskan di Timteng, doa bersama tiga tokoh itu sungguh awal
yang baik bagi perwujudan perdamaian.
Tanah Palestina khususnya, dan Timur Tengah
umumnya, yang menjadi asal ketiga agama samawi, kerap dilanda konflik, permusuhan, dan kebencian. Tak
terhitung jumlah korban. Padahal di kawasan itu, nama Tuhan paling sering
disebutkan dan doa-doa tiada putus
disampaikan.
Selain
doa, akar masalahnya harus dirampungkan. Konflik Israel-Palestina berakar dari klaim rebutan Tanah Air. Pada
abad 19, muncul gerakan rekayasa
kelompok-kelompok Yahudi Eropa buah
kongres Basel (Swiss) 1897 yang dipimpin Theodore Herzl. Intinya,
mereka ingin membentuk sebuah Tanah
Air bagi bangsa Yahudi yang diaspora
di seluruh dunia.
Keinginan
itu tidak masalah, andai Menlu Inggris, James Arthur Balfour, tidak
menjamin dalam Deklarasi Balfour 1917. Isinya, Inggris yang ketika itu menguasai wilayah Timur Tengah termasuk Palestina
menjamin berdirinya negara Yahudi di Palestina. Janji diberikan kepada
seorang Yahudi Amerika bernama Baron Rothchild.
Dari tahun 1917, hingga
pendirian negara Israel pada 15 Mei 1948, ratusan ribu rakyat Palestina eksodus. Sebagian hidup
di banyak kamp pengungsian seperti
Lebanon dan Yordania. Populasi warga Kristen Palestina yang sudah ada
sejak zaman Yesus, misalnya, juga menyusut. Mereka lebih suka pindah ke
mancanegara.
Sebelum menyerang Gaza, Israel
terus memprovokasi dengan mendirikan permukiman baru di Yerusalem Timur. Serangan ke Gaza kali
ini pun dari perspektif perang yang adil, tak bisa dibenarkan karena banyak
korban sipil. Israel memang berhak membela diri, setiap diserang roket Hamas, tapi balasannya
berlebihan.
Memang serangan Israel ke Gaza akan terus
terulang, jika tak ada penyelesaian mendasar. Penyelesaian permanen bisa
diwujudkan bila pemerintah Israel dan sekutunya, khususnya Amerika Serikat,
yang gemar memveto di PBB, mau
menaikkan status otoritas Palestina sebagai negara merdeka penuh.
Memang resolusi 181 (II) PBB yang
mengatur pembagian Palestina menjadi dua: negara Israel dan Palestina tetaplah
menjadi solusi terbaik. Negara Israel sudah berdiri dan berdaulat, sedangkan
otoritas Palestina belum.
PBB memang sudah mengangkat status Palestina sebagai “negara pengamat non-anggota” sama
dengan status Vatikan. Jika status Palestina dinaikkan, mungkin saja eskalasi kekerasan mereda. Selama otoritas
Palestina hanya menjadi setengah
merdeka, serangan seperti ini bisa
terus terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar