Menakar
Suksesi Kurikulum 2013
Nanang Martono ;
Dosen Sosiologi FISIP Unsoed Purwokerto
|
HALUAN,
16 Juli 2014
Bertepatan dengan awal tahun
pelajaran 2013-2014, pemerintah bertekad bulat menerapkan kurikulum 2013
(K13). Di sisi lain, penerapan kurikulum baru ini masih menyisakan berbagai
kontroversi.
Tidak siap
Banyak pihak menyangsikan
keberhasilan penerapan K13 di tahun ajaran ini. Keyakinan Mendikbud yang
menjamin distribusi buku ajar K13 dan program pelatihan guru yang selesai
sebelum minggu ke-2 Juli ini pun kembali mentah.
Terbukti beberapa daerah
belum menerima buku ajar K13 yang notabene bisa diperoleh secara cuma-cuma
untuk setiap sekolah. Jutaan guru sampai saat ini juga belum mendapatkan
jatah untuk mengikuti pelatihan K13. Beberapa guru juga baru dilatih
beberapa hari sebelum masa tahun ajaran baru dimulai.
Ditambah lagi banyak
sekolah yang tidak memiliki kesiapan secara fisik, dari sisi fasilitas dan
sumber daya lainnya.Akibatnya beberapa sekolah belum siap menerapkan K13 di
awal tahun ajaran ini.
Dengan kondisi persiapan
yang amburadul tersebut, ada kemungkinan masa depan K13 akan mengikuti
pendahulunya: KBK dan KTSP. Kedua pendahulu K13 tersebut bernasib sama,
diterapkan hanya beberapa tahun saja. Ini disebabkan penyusunan dan
penerapannya yang serba instan tanpa kajian dan evaluasi yang mendalam.
Faktor lain, K13 disusun
dan diterapkan di masa-masa akhir kepemimpinan SBY. Beberapa bulan lagi,
rezim SBY akan diganti oleh kepemimpinan yang baru. Ada kemungkinan, para
pejabat menteri di lingkungan Kemendikbud akan memiliki pemikiran yang baru
berkaitan dengan kurikulum dan kebijakan lainnya.
Kontestasi
Setiap kebijakan
pemerintah adalah sarat dengan berbagai kepentingan yang menaungi produk
kebijakan tersebut. Begitu halnya dengan peluncuran K13 yang merupakan salah
satu produk politik sebuah rezim kepemimpinan.
Pemerintah berkepentingan
dengan K13 karena ingin menunjukkan hasil karya nyata. K13 dipandang sebagai
instrumen yang mampu menunjukkan keberhasilan kinerjanya. Selain K13,
pemerintah juga menggunakan UN (Ujian Nasional) dengan tujuan yang sama.
Peningkatan angka kelulusan, selalu diklain sebagai bukti keberhasilan
pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Di sisi lain, pemerintah
juga berkepentingan untuk menghabiskan anggaran sekian triliun untuk
menyukseskan K13. Kita belum tahu apakah ada upaya memainkan anggaran K13
karena belum aduan berkenaan dengan dugaan korupsi di balik persiapan K13
ini. Namun yang jelas, megaproyek K13 telah menghabiskan anggaran yang tidak
sedikit.
Sebenarnya penggantian
kurikulum bukanlah agenda mendesak yang harus dilak-sanakan pemerintah.
Alokasi dana megaproyek ini seharusnya dialokasikan untuk pembenahan
fasilitas pendidikan, atau untuk peningkatan kualitas dan kinerja guru.
Bagaimanapun baiknya sebuah kurikulum, keberhasilannya akan sangat ditentukan
oleh para pelaku di tingkat bawah, yaitu guru.
Masih banyak guru yang
lebih suka menggunakan metode lama, meskipun mereka berbaju kurikulum baru
yang dirancang sangat modern. Ini menunjukkan masih banyak guru yang tidak
mau mengubah kebiasaanmengajarnya. Kemendikbud seharusnya fokus pada
kondisi ini daripada menawarkan kurikulum baru yang disusun sangat instan.
Memperbaiki kinerja guru tidak cukup dengan memberikan tambahan insentif
melalui sertifikasi guru.
Sejarah
Penerapan kurikulum di
Indonesia relatif berlangsung dalam beberapa tahun saja. Sejak masa
kemerdekaan, tercatat ada beberapa produk kurikulum: kurikulum 1947,
kurikulum 1952, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum
1994, KBK 2004, KTSP 2006.
Masa pergantian kurikulum
tersebut semakin singkat pada masa reformasi. Pada masa Orde Baru, pergantian
kurikulum relatif lama, 10 tahun sekali. KBK hanya berlangsung 3 sampai 4
tahun, KTSP hanya 5 sampai 6 tahun. Apakah dalam waktu singkat tersebut hasil
implementasi sebuah kurikulum sudah terlihat? Tentu saja tidak.
Hasil implementasi kurikulum
dapat dilihat ketika ada evaluasi pada lulusan yang menggunakan kurikulum
tersebut. Ini dapat diketahui antara 5 sampai 10 tahun. Maka, bila implementasi
sebuah kurikulum ‘dirasa gagal’, maka tidak serta merta kurikulum selalu menjadi
produk yang salah. Kemungkinan ada faktor lain yang tidak mampu menyesuaikan
diri, misalnya guru dan faktor pendukung proses pembelajaran lainnya.
Akhirnya, bila sebuah kurikulum digunakan sebagai produk politik, maka implementasinya
hanya akan mengikuti pihak-pihak yang menghasilkan produk tersebut.
Akibatnya, ganti menteri akan diikuti penggantian kurikulum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar