Membangun
Kota Sehat
Ahmad
Arif ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
02 Juli 2014
KOTA
Jakarta saat ini ibarat kota-kota di Eropa dan Amerika 200 tahun lalu.
Bahkan, problem Jakarta, yang tahun ini berulang tahun ke-487, agaknya lebih
akut.
Akhir
abad ke-19, kota-kota di Eropa dan Amerika yang sebelumnya dirancang hanya
untuk hunian harus menjalankan fungsi produksi seiring terjadinya
industrialisasi. Kota-kota menjadi sumpek, kumuh, penuh polusi, dan sumber
penyakit. Kriminalitas pun merajalela.
Persoalan
ini melahirkan teori tata kota modern yang menonjolkan pembangunan fisik dan
infrastruktur. Asumsinya, tata kota baik melahirkan warga kota sehat fisik
dan perilakunya. Dimulailah teori zoning
yang memisahkan fungsi tiap kawasan dan diikuti garden city tahun 1898 (Hall, 2004). Konsep ini diekspor keluar
Eropa melalui kolonialisme hingga Indonesia.
Beberapa
permukiman baru dengan konsep garden
city yang dibangun Belanda di Indonesia misalnya Bandung Utara (1917) dan
Kota Baru Yogyakarta (1920). Kota Bandung awalnya disiapkan sebagai ibu kota
Hindia Belanda, menggantikan Batavia yang saat itu dianggap sebagai kota
gagal.
Kota gagal
Pieterszoon
Coen awalnya memimpikan Amsterdam ketika meminta Simon Stevin merancang kota
di muara Sungai Ciliwung pada 1619. Kota itu dikelilingi parit, tembok kota,
lengkap dengan kanal. Dengan kanal itu, Coen berharap bisa mengatasi banjir
sekaligus menjadi jalur pelayaran.
Batavia
memang sempat dijuluki ”Venesia dari Timur.” Namun, endapan lumpur segera
memampetkan kanal. Terusan berbau busuk dan menjadi sarang malaria. Hanya
tiga tahun sejak dibangun Batavia kebanjiran.
Pada
akhir abad ke-18 terjadi perpindahan besar-besaran penduduk Batavia ke arah
selatan, yaitu Weltevreden—sekitar
Lapangan Banteng saat ini. Pada 1830, ibu kota Hindia Belanda resmi pindah ke
kawasan ini.
Namun,
banjir tak teratasi. Pada 1 Januari 1892 banjir melanda pusat kota. Puncaknya
terjadi Januari 1918 saat hampir seluruh kota kebanjiran hingga sebulan.
Wabah kolera merebak dan membunuh banyak warga. Citra Batavia sebagai kota
gagal terus membayangi hingga periode akhir penjajahan.
Tak
mengherankan, begitu Indonesia merdeka, Presiden Soekarno menyiapkan Kota
Palangkaraya sebagai calon ibu kota baru. Namun, cita-cita ini kandas seiring
pergantian rezim.
Jakarta
berkembang pesat seiring pergeseran paradigma modern planning dari
kepentingan publik kepada kepentingan pemburu rente yang menjadikan tanah
sebagai investasi. Harga properti tak terjangkau sebagian besar warga kota
yang jumlahnya terus melonjak. Sebagian besar penduduk tinggal makin ke
pinggiran atau ke ruang tak layak huni, seperti bantaran sungai.
Dampaknya,
beban transportasi kian tinggi dan banjir meluas. Namun, kemacetan,
kekumuhan, dan kriminalitas menjadi banal dan tak dianggap sebagai masalah.
Keruwetan lalu lintas, misalnya Tanah Abang, dan okupasi waduk-waduk di
Jakarta, seperti Waduk Pluit untuk hunian, puluhan tahun tak tersentuh.
Namun,
mimpi menjadikan Jakarta sebagai kota sehat dalam 1-2 tahun ibarat mimpi
siang bolong. Butuh bertahun-tahun memperbaiki Jakarta. Apalagi,
bersinggungan dengan kota-kota di sekitarnya. Butuh dukungan kuat dan
konsisten pusat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar