KPU
dan MK Menentukan
Margarito Kamis ;
Doktor Hukum Tata Negara,
Dosen FH Universitas Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 14 Juli 2014
Memahami
pemilihan presiden (pilpres) semata dari perspektif hukum tata negara sebagai
cara, tentu beradab; mekanisme yang dipilih bangsa ini dalam mengisi jabatan
presiden juga tepat. Tetapi itu masih belum cukup.
Siapa
yang akan dipatuhi sebagai satu-satunya figur di dalam tata negara yang
membuat berbagai keputusan dalam memerintah dan mengatur bangsa ini juga
penting dan harus dipertimbangkan. Itu sebabnya dalam tata negara modern,
pilpres juga dipertimbangkan sebagai tata cara sebuah bangsa menyediakan
jawaban- jawaban spesifik terhadap masalah-masalah bangsa. Agar diperoleh
jawaban kredibel, maka tata cara penyelenggaraannya harus sederhana, juga
adil, terbuka, suasana menuju bilik suara asyik, dan suara pemilih terjamin
kerahasiaannya.
Ketaatan pada Aturan
Boleh
saja orang bicara mengenai pembagian atau pemisahan kekuasaan, plus checks
and balances dalam konteks relasi antarfungsi ketiga organ– eksekutif,
legislatif dan yudikatif–tetapi harus diakui kedigdayaan organ presiden
melebihi fungsi dua organ lain. Karena sifat dan jangkauan fungsi yang
disandangnya itu kekuasaan ”presiden” merangsang banyak orang, khususnya
politisi dan pengusaha. Mereka selalu terbakar rindu menggapainya. Tetapi,
tentu bukan karena soal itu semata, yang mengakibatkan pemilu presiden mesti
diberi sifat normatif. Pelembagaannya ke dalam serangkaian aturan, yang kelak
melahirkan tatanan dan atau sistem politik yang adil adalah perkara yang
tidak bisa ditawar.
Aturan-aturan
yang menjadi hal terpenting dalam sistem pemilu itu, yang tidak lain
merupakan respons atas pengalaman demi pengalaman sebelumnya, karena
dihasilkan oleh politisi, acap terlalu rumit untuk hal tertentu, tetapi
longgar untuk hal lainnya. Selalu, sebagaimana biasa, hukum pada umumnya,
hukum pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena yang dihadapi bukanlah para
filsuf– mereka yang arif dan bijak–melainkan politisi, yang kerap sangat
konyol, kelemahan hukum pemilu itu, bukannya ditutupi dengan tindak tanduk
etis dan bijak, melainkan memanfaatkannya untuk keuntungan diri, kelompok
atau golongan masing-masing. Itulah soalnya.
Meminta
electoral organ, misalnya Komisi
Pemilihan Umum (KPU), saja yang menaati hukum pemilu, jelas tidak keliru,
tetapi tidak cukup masuk akal. Kehebatan, bukan hanya hukum pemilu, melainkan
sistem pemilu, plus implementasinya terletak pada kepatuhan semua pihak pada
hukum pemilu itu secara sukarela. Para capres, termasuk partai politik yang
mencalonkan mereka, yang menundukkan diri secara sukarela, tentu tanpa syarat
pada hukum pemilu, adalah cara terhebat menghidupkan sistem pemilu dan
menaikkan derajat demokratik bangsa itu.
Hanya KPU
Komisi
Pemilihan Umum (KPU) adalah satu-satunya organ konstitusi, yang diberi
kewenangan menyelenggarakan pemilihan umum, baik pemilihan umum anggota
legislatif maupun presiden. Kewenangan ini bersifat monopolistik, karena
konstitusi tidak membaginya dengan organ lain, apa pun dan mana pun di
Indonesia. Karena sifatnya yang monopolistik itulah, jangkauan kewenangan
organ ini pun demikian luasnya. Mengawalinya dengan merencanakan
penyelenggaraan pemilu dan mengakhirinya dengan pernyataan hukum tentang
perolehan suara, dan siapa yang terpilih menjadi presiden, itulah medan
kewenangan KPU.
Kapan
mencoblos surat suara, siapa yang mencetak surat suara, kapan perhitungan di
tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, KPU kota, kabupaten, provinsi dan
nasional, semuanya menjadi kewenangan KPU. Hebatnya kewenangan itu, sekali
lagi, karena telah disifatkan oleh pasal 22E UUD 1945, tidak dibagi kepada
organ lain, apapun organ itu, dengan atau untuk alasan apapun, dan dalam
keadaan apapun. Apa konsekuensinya? Semua tindakan hukum yang dilakukan oleh
organ lain di luar KPU tentang, misalnya menyatakan bahwa capresnya
memperoleh suara terbesar, tidak bernilai hukum sebagai tindakan hukum yang
sah.
Pada
titik itu, pernyataan Megawati, Jokowi dan Jusuf Kalla tak lama setelah
pencoblosan surat suara, yang seolah-olah memperoleh suara terbanyak, dan
menjadi pasangan terpilih pada pemilu kali ini menarik. Dari segi waktu,
jangankan di tingkat kecamatan, di tingkat desa sekali pun, KPU belum selesai
melakukan rekapitulasi perolehan suara semua pasangan calon. Bagaimana nalar
hukum kemenangan itu? Dari mana keadaan hukum– kemenangan– itu berasal dan
diperoleh? Jelas pernyataan ini tidak memiliki nilai hukum, tidak juga
menimbulkan akibat hukum, misalnya, menimbulkan hak bagi pasangan ini
menyandang status sebagai pasangan capres terpilih.
Haruskah
disayangkan tindakan hukum itu? Sudahlah, bila pun tindakan hukum terasa
mengurangi cita rasa demokratis dalam konstitusionalisme pemilu kali ini,
terimalah tindakan hukum itu sekadar sebagai kembang-kembang pesta yang
sangat damai kemarin. Bila ada sedikit kekeliruan dalam pemilu ini, Amerika
Serikat, yang demokrasinya kadang dipuji setinggi langit itu, juga memiliki
banyak cerita serupa. Bahkan tatanannya menjadi penghalang kesetaraan untuk
jangka waktu yang lama. Apa yang terjadi di Florida kala George W Bus
berhadapan dengan Al Gore adalah salah satu contohnya.
Tetapi
luka itu diselesaikan di Mahkamah Agung, (Grier
Steven, 2001). Mengagumkan, republik ini memiliki Mahkamah Konstitusi
(MK). Dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 diketahui MK adalah satu-satunya
organ konstitusi yang berwenang menyelesaikan sengketa pemilu presiden. Sama
halnya dengan KPU, kewenangan MK pun tidak didelegasikan ke organ lain, apa
pun itu, dalam keadaan apa pun, dan untuk alasan apa pun. Hebatnya pula,
tidak ada organ lain, apa pun organ itu, yang dapat menangguhkan penggunaan
kewenangan MK.
Nantikanlah
tanggal 22 Juli, tanggal pleno rekapitulasi perolehan suara secara nasional
resmi KPU. Pada tanggal ini, akan jelas secara hukum siapa di antara dua
pasangan capres yang memperoleh suara terbanyak. Akankah ada sengketa? Semoga
tidak. Namun bila pun ada, MK-lah yang memutuskannya, bukan lembaga survei.
Cara menyelesaikan sengketa pemilu ini adalah penanda terbaik atas derajat
keberadaban republik tercinta ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar