Jerman
dan Legenda Lorelei
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 17 Juli 2014
Saya
masih terpengaruh oleh euforia keberhasilan Jerman menjadi juara Piala Dunia
2014 di Brasil. Memang angkanya tipis. Jerman hanya berhasil mengalahkan
Argentina dengan skor 1-0. Tapi, mau bagaimana lagi? Final adalah pertarungan
dua tim terbaik. Jadi, pasti tidak mudah untuk menang dengan skor telak.
Buat
saya, kemenangan itu cermin keberhasilan Jerman melawan kisah dalam legenda
klasik mereka: Lorelei. Buat Anda
yang belum pernah mendengar, berikut ini kisah ringkasnya. Sungai Rhine
membentang dari Pegunungan Alpen di Swiss melintasi Jerman, masuk ke Belanda,
dan beranak cabang sampai ke Belgia hingga pada akhirnya bermuara di Laut
Utara. Di sungai itulah legenda klasik Jerman, Lorelei, bermula. Dengan lebar
hingga lebih dari 113 meter dan kedalaman sekitar 25 meter, arus Sungai Rhine
sangat tenang. Itu sebabnya pada sekitar abad pertengahan banyak kapal Jerman
yang suka berlayar melintasi sungai tersebut.
Namun
arus yang tenang malah kerap kali menghanyutkan. Membuat para nakhoda yang
kurang berpengalaman dan waspada menjadi lengah. Dongeng pada abad
pertengahan yang telah melegenda itu bercerita, ketika kapal berlayar
memasuki kawasan Sankt Goarhausen di Rhineland-Pfalz, di atas bukit setinggi
100-an meter, duduk seorang gadis cantik. Sambil menyisir rambutnya yang
berwarna keemasan, gadis itu menyanyikan lagu yang berkisah tentang
kerinduannya kepada sang kekasih. Ia duduk di atas bukit, menunggu sang
kekasih yang lama pergi dan tak kunjung kembali.
Oleh
karena tepi sungainya yang berupa bukit bebatuan, suara sang gadis tadi
dipantulkan kembali oleh dinding-dinding bukit sehingga menghasilkan gema
suara yang merdu mendayu. Nakhoda yang tengah berlayar terpana. Ia kagum
dengan suara merdu sang gadis, darahnya berdesir melihat kecantikannya,
tetapi sekaligus iba dengan nasibnya yang malang. Sebagian dari mereka
mengutuk sang kekasih yang tega meninggalkan gadis itu.
Perangkap
Ketika
perasaan tengah mengharu biru, mereka tak sadar bahwa di tengah sungai itu
terdapat gundukan pasir yang membelah aliran sungai menjadi dua. Di sebelah
kiri arusnya mengalir deras, sementara yang kanan lebih tenang. Setelah
melewati gundukan pasir, dua arus tadi bertemu kembali dengan kecepatan yang
berbeda dan menghasilkan pusaran. Banyak nakhoda yang tengah terpana dengan
sang gadis tadi tak sadar masuk “perangkap” tersebut. Sejarah mencatat,
sejumlah kapal pernah karam di tempat tersebut. Itu sebabnya kawasan itu
kemudian dinamai Lorelei atau
terjemahan bebasnya kurang lebih bukit
batu dengan arus yang deras.
Legenda
itu kemudian dituliskan dalam serangkaian puisi oleh sastrawan Jerman seperti
Heinrich Heine (1824). Kini, untuk mencegah berulangnya kecelakaan tersebut,
Pemerintah Jerman membangun rambu-rambu untuk mengingatkan kapal-kapal yang
akan melintas di wilayah tersebut. Sebenarnya tim sepak bola Jerman bisa
senasib dengan kapal-kapal yang karam tersebut. Mereka bisa saja lengah
karena pada pertandingan semifinal sebelumnya tim Jerman mampu menenggelamkan
tim Brasil dengan skor telak 7-1 dalam tempo pertandingan 2 x 45 menit.
Sementara
itu tim Argentina baru lolos ke babak final setelah bertarung habis-habisan
melawan Belanda selama 120 menit, ditambah dengan drama adu penalti yang
menguras bukan saja fisik, tetapi juga mental para pemain. Namun legenda Lorelei seakan mengingatkan tim
Jerman. Meski banyak kalangan menilai di atas kertas posisi tim Jerman
seakan-akan berada di atas angin, Argentina bisa saja menjadi gundukan pasir
di Sungai Rhine dan menyebabkan tim Jerman terseret arus dan karam.
Untungnya, tim Jerman tidak lengah. Hasilnya, kita sama-sama tahu, tim Jerman
harus bertarung habis-habisan sebelum mencetak satu-satunya gol pada menit
ke-113 dan dalam waktu yang tersisa harus bertahan sekuat tenaga menghindari
gempuran Lionel Messi dan kawan-kawan.
Awan Mendung
Bagi
kalangan bisnis, siapa pun pemenang dari partai final Jerman vs Argentina,
hasilnya sebetulnya sama saja. Pemenang sesungguhnya adalah Adidas, merek
perlengkapan olahraga asal Jerman. Sebab, selain menjadi salah satu sponsor
utama Piala Dunia 2014, Adidas juga menjadi sponsor utama dua tim tersebut.
Meski begitu, jika tim Jerman berhasil terhindar dari Lorelei, Adidas tampaknya masih berusaha keluar dari perangkap
tersebut. Penjualan bersih Adidas selama kuartal I 2014 mencapai USD 4,8 miliar
atau turun hampir 6% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ditambah dengan
meningkatnya berbagai biaya, selama kurun waktu itu pula laba bersih Adidas
menurun hingga 33,5%.
Jika
kuartal I 2013 laba bersih Adidas masih USD419 juta, untuk tahun ini tinggal
USD279 juta. Adidas adalah potret kecil dari gambaran besar perekonomian
Jerman yang juga tengah bergerak menurun. Contohnya di industri manufaktur.
Menurut survei komposit Purchasing
Manager Index (PMI) yang melacak aktivitas di sektor manufaktur dan jasa,
selama Februari-Maret 2014 telah terjadi penurunan indeks dari 56,4 menjadi
55,0. Banyak kalangan di Jerman menilai ini penurunan tertinggi selama kurun
waktu 2,5 tahun terakhir. Potret penurunan yang lain juga terjadi pada sektor
ritel.
Indikator
German Retail Sales bulan per bulan
pun menunjukkan terjadinya penurunan tersebut. Pada bulan Mei 2014, misalnya,
angka indikator ritel turun 0,6%. Meski begitu penurunan tersebut lebih baik
ketimbang April 2014 yang angkanya turun hingga 1,5%. Apa yang menjadi
penyebab menurunnya kinerja perekonomian Jerman? Sejumlah ekonom di sana
menunjuk pada krisis Ukraina-Rusia yang diperkirakan bakal berdampak pada
pasokan energi di Jerman dan kinerja sektor-sektor bisnis lain. Kondisi
itulah yang menyebabkan The Economist
pada Juni lalu menulis, “Ada mendung di
depan perekonomian Jerman.”
Meski
begitu Pemerintah Jerman optimistis mereka bakal mencapai target pertumbuhan
ekonomi tahun ini yang 1,8%. Bahkan sebagian kalangan menduga angkanya bisa
mendekati 2%. Apakah itu pertanda bahwa mereka sudah melihat adanya “Lorelei” yang ada di depan? Saya
berharap begitu. Jadi, bukan sekadar optimisme yang dipengaruhi sentimen
positif keberhasilan Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014. Sebab mengurus
ekonomi jauh lebih rumit ketimbang mengurus sebuah tim sepak bola. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar