Hitung
Cepat atau Hitung Sesat?
Triyono Lukmantoro ;
Dosen Sosiologi Komunikasi
FISIP Universitas Diponegoro Semarang
|
SINAR
HARAPAN, 16 Juli 2014
Hasil
hitung cepat (quick count) yang
dilakukan sejumlah lembaga survei telah menimbulkan kebingungan. Siapa pihak
yang menjadi pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014, belum bisa
dipastikan. Berbagai lembaga survei yang menjadi penyelenggara hitung cepat
memberikan pernyataan kesimpulan yang sangat berlainan.
Hitung
cepat yang diharapkan bisa memberikan informasi lebih segera pada publik
justru menghadirkan kegalauan. Hitung cepat pun bisa menjadi hitung sesat
karena berbagai disinformasi sengaja digelontorkan berdasarkan hasil survei
yang keliru. Hitung sesat yang benar-benar salah itu dijadikan senjata
propaganda.
Simaklah
bagaimana sejumlah lembaga survei menyodorkan hasil hitung-hitungan yang
sungguh bertolak belakang. Insitusi-institusi semacam Puskaptis, JSI (Jaringan
Survei Indonesia), LSN (Lembaga Survei Nasional), dan IRC (Indonesia Research
Centre) menyatakan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memenangi pilpres. Joko
Widodo-Jusuf Kalla dimenangkan Litbang Kompas, RRI (Radio Republik
Indonesia), SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting), CSIS-Cyrus, LSI
(Lingkaran Survei Indonesia), IPI (Indikator Politik Indonesia), Poltracking
Institute, dan Populi Center.
Manakah
yang benar? Manakah yang sesat? Hitung cepat memang tidak dapat diperlakukan
seperti dalam berkeyakinan. Dalam problem keyakinan, setiap penganut tidak
boleh memandang penganut lain yang berbeda keyakinan sebagai pengikut ajaran
sesat. Kebenaran dalam domain itu adalah misteri yang tidak terpecahkan.
Tidak
demikian halnya dalam dunia survei. Dunia survei adalah wilayah yang
sedemikian empiris, dapat ditelusuri secara indrawi. Selain itu, survei juga
memiliki tata cara yang ketat dan baku. Hitung cepat termasuk dalam dunia
survei yang empiris ini. Jadi, siapa yang benar dan siapa yang sesat, dapat ditentukan.
Mendeteksi Kecurangan
Hitung cepat, sebagaimana dijelaskan Melissa
Estok, Neil Nevitte, dan Glenn Cowan (The
Quick Count and Election Observation, 2002) ialah proses pengumpulan
informasi yang dilakukan kalangan relawan. Informasi atau data itu merupakan
hasil pengamatan langsung terhadap proses pemilihan dan hasil penghitungan
suara di lokasi pemungutan suara.
Informasi
yang didapatkan dari lapangan itu dilaporkan kepada pusat pengolahan data.
Jadi, dalam hitung cepat tidak ada satu pun opini yang ditampilkan. Hitung
cepat merupakan perekaman data yang benar-benar konkret.
Hitung
cepat dijalankan secara faktual karena pada prinsipnya didasarkan atas sejumlah
alasan, yakni mendeteksi terjadinya kecurangan dalam pemilihan umum,
menampilkan hasil lebih segera dibandingkan lembaga resmi (dalam kaitan ini
adalah penghitungan yang dijalankan Komisi Pemilihan Umum), dan mendorong
masyarakat untuk menjalankan partisipasi. Semua itu menunjukkan, hitung cepat
memang dimaksudkan untuk mengontrol agar pilpres bisa berjalan baik.
Hitung
cepat yang cermat serta akurat, dan bukan hitung sesat, justru mampu menjadi
acuan tentang calon presiden-calon wakil presiden mana yang menjadi pemenang.
Itu karena hitung cepat dilaksanakan pada hari H pencoblosan. Bahkan, hitung
cepat mampu menjadi referensi yang benar daripada kalkulasi nyata (real count) yang dilakukan KPU.
Klaim
bahwa real count merupakan
penghitungan yang pasti benar tidaklah tepat. Kata real itu bisa menyesatkan karena tidak memperhitungkan kecurangan
yang muncul.
Seakan-akan
apa yang telah dilakukan penyelenggara resmi pilpres sesuai prosedur kebakuan
yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Lebih tepat jika dikatakan, real count ialah official count, yakni penghitungan yang dijalankan pihak yang
secara resmi atau legal menyelenggarakan pilpres.
Menelusuri Kelicikan
Kalau sejumlah penyelenggara hitung cepat
menunjukkan berbagai hasil berbeda, bahkan bertolak belakang, layak pula
publik bertanya bagaimana menelusuri kelicikan yang terjadi.
Pertama,
hal yang harus diketahui ialah kredibilitas institusi penyelenggara hitung
cepat. Kredibilitas tidak hanya diketahui dari nama populer lembaga itu,
tetapi yang lebih penting adalah apakah lembaga ini telah berpengalaman dalam
melakukan aneka survei untuk kepentingan pemilihan umum. Reputasi lembaga
menjadi catatan paling utama yang harus disodorkan. Institusi yang pernah
berbohong, atau hasil surveinya sering keliru, harus ditolak kehadirannya.
Kedua,
siapa yang mendanai hitung cepat? Apakah dana yang dipakai berasal dari
lembaga itu sendiri, atau mendapatkan dari donor yang tidak mengikat,
merupakan kunci independensi lembaga penyelenggara hitung cepat. Sebaliknya,
bila dana itu berasal dari pasangan calon presiden-calon wakil presiden
tertentu, layak pula bila hasil hitung cepat tersebut diragukan kebenarannya.
Itu
berkaitan dengan soal ketiga, institusi yang mendapatkan bayaran dari
kontestan pilpres tertentu, pasti punya agenda terselubung. Ketidakbebasan
sangat mungkin berlangsung karena lembaga itu menjadi kaki tangan untuk
memenangkan calon presiden-calon wakil presiden tertentu.
Contoh
konkret terjadi ketika hasil hitung cepat Poltracking Insitute secara sepihak
dibatalkan publikasinya oleh TVOne. Padahal, lembaga ini sudah memiliki
kontrak dengan stasiun televisi yang dikenal sebagai penyokong garis keras
pasangan Prabowo-Hatta. Stasiun televisi yang berslogan “Memang Beda” itu
justru pada titik akhirnya melibatkan lembaga-lembaga survei lain yang tidak
dikenal publik. Hasilnya pun menjadi bahan gunjingan dan gugatan.
Lain
dengan RRI, sebagai sebuah Lembaga Penyiaran Publik (LPP), yang hasil hitung
cepatnya senada dengan lembaga-lembaga yang sudah kredibel. Ironisnya, peran
RRI yang bagus semacam ini justru dipertanyakan segelintir anggota DPR dari
Komisi I. Tentu saja, ini bisa terjadi karena hasil hitung cepat RRI
memenangkan pasangan Jokowi-JK.
Keempat,
berkaitan problem teknis metodologis. Ini adalah langkah-langkah penelitian
yang harus dilakukan secara ketat dan benar-benar berdisiplin. Misalnya,
berapakah jumlah populasi dalam hitung cepat.
Populasi
adalah jumlah keseluruhan tempat pemungutan suara (TPS) yang menjadi fokus
hitung cepat. Dikarenakan hitung cepat menggunakan metode survei, populasi
diambil sebagian tapi mampu merepresentasikan keseluruhan. Inilah yang
disebut sampel. Sampel yang benar-benar mewakili keseluruhan itu harus
diambil secara acak (random) untuk
menjamin kedudukannya sebagai miniatur populasi.
Jika
keempat cara untuk menelusuri kelicikan hitung cepat itu tidak terbukti
dilakukan lembaga survei, bisa dijamin hasil penghitungannya benar-benar
layak dipercaya. Namun, jika secara metodologis dan nonmetodologis lembaga
yang melakukan hitung cepat terbukti berbuat licik, hasil perhitungannya
sungguh-sungguh telah menyesatkan publik. Lembaga semacam ini harus
mendapatkan sanksi secara moral dan hukum karena telah menjalankan hitung
sesat yang menimbulkan kekacauan politik yang luar biasa. Lembaga ini sekadar
menjadi alat propaganda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar