Ecosophy
dan Capres Peduli SDA
Hadi S Alikodra ;
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
|
KORAN
SINDO, 02 Juli 2014
Lingkungan hidup beserta isinya (manusia, hewan, tumbuhan, air, batu,
udara, cahaya, dan lain-lain) saling berinteraksi dalam suatu sistem yang
dinamis dan kompleks.
Ia membentuk mata rantai kehidupan secara berkesinambungan. Interaksi
yang bersifat timbal balik ini diperkenalkan Ernst Haekel, ahli biologi Jerman,
tahun 1869 dengan menyebutnya sebagai ekologi. Kini, ekologi berkembang
menjadi ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dan
lingkungannya secara sistemik dan menyeluruh. Itulah sebabnya para ahli
lingkungan memandang perlunya melihat ekologi secara mendalam (deep ecology) & bukan ekologi
permukaan yang dangkal (shallow ecology).
Dalam konteks inilah, ukuran- ukuran dimensi ekologi yang selama ini
bertumpu pada interaksi organisme dengan lingkungannya perlu disempurnakan
dengan pandangan yang lebih luas dan lebih mendalam. Hal ini menjadi sangat
penting mengingat; (1) peran sumber daya alam (SDA) dan lingkungan sebagai
penyangga sistem kehidupan, (2) semua benda ataupun hidupan di bumi ini
mempunyai sifat intrinsic, dan (3)
keanekaragaman hayati flora, fauna dan ekosistemnya harus mendapat
penghargaan secara layak karena fungsinya yang sangat penting sebagai
pendukung kehidupan manusia dan pembangunan. Paham ini dikenal sebagai
ekologi dalam (deep ecology).
Arne Naess, seorang filosof dan pendaki gunung berkebangsaan Norwegia,
memperkenalkan pendekatan deep ecology
ini tahun 1973 setelah ia melakukan penelitian sekaligus penjelajahan alam
secara luas. Dalam perkembangannya, ekologi pun telah menjadi landasan utama
gerakan konservasi sebagai upaya umat manusia untuk menyelamatkan bumi
beserta lingkungan hidupnya dari ancaman kehancuran.
Bumi kini sedang menghadapi krisis ekologi berkepanjangan, sehingga
berbagai pihak terus mencari cara-cara baru untuk menyelamatkannya. Salah
satu pendekatan yang sedang trendi, adalah pendekatan religius (moral dan
spiritual). Pendekatan ini diharapkan mampu menggerakkan hati nurani manusia
untuk menjaga kelestarian lingkungan dan bumi secara menyeluruh. Gerakan
religius itu, kini makin diterima berbagai kalangan, karena pendekatannya
lebih menyentuh kepada pertanggungjawaban manusia (Homo sapiens) sebagai khalifah (makhluk yang berakal budi) untuk
memberikan penghargaan kepada alam yang telah berjasa memberikan kehidupan.
Naess memperkenalkan pendekatan di atas sebagai paham ecosophy atau paham konservasi (Drengson, 1999). Paham ecosophy ini, tidak hanya memberikan
landasan pada tanggung jawab etika dan moral, tapi juga memberikan tempat
terhormat pada pengetahuan lokal (local
knowledge) yang banyak tersebar di berbagai wilayah di dunia, termasuk
Indonesia. Prinsip dasar ecosophy
atau deep ecology adalah
menyelamatkan SDA dan lingkungannya dari kerusakan dengan mengedepankan
moral. Kenapa? Karena hanya moralitas yang mampu menghargai dan menjaga alam
demi keberlanjutan umat manusia itu sendiri.
Sebagai umat beragama, kita juga seharusnya meyakini bahwa SDA di
planet bumi ini adalah ciptaan Tuhan YME yang diperuntukkan bagi
kesejahteraan makhluknya. Di pihak lain, Tuhan juga mengharuskan manusia
untuk menjaganya secara bertanggung jawab dari berbagai ancaman kerusakan.
Manusia sebagai khalifah di muka bumi mempunyai kewajiban untuk memelihara
sistem ekologi bumi sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan untuk mendukung
kehidupan manusia dari generasi ke generasi bisa tercapai. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa SDA mempunyai keterbatasan untuk mendukung
kebutuhan manusia, sedangkan kebutuhan manusia nyaris tak terbatas karena
keserakahannya.
Pinjam kata-kata bijak Gandhi: Alam menyediakan kebutuhan manusia, tapi
tidak untuk keserakahannya. Itulah sebabnya, kitab suci Alquran melarang
manusia merusak alam untuk kepentingannya yang serakah (QS 2: 11,12) . Pertumbuhan penduduk dunia yang terus meningkat
yang kini mencapai tujuh miliar lebih telah menyebabkan cadangan SDA bumi
kian tipis. Di samping itu, sistem cuaca yang kacau akibat perubahan iklim
global telah berdampak pada perubahan sistem biologi dan sistem ekologi bumi.
Dampaknya: cadangan pangan pun terus menyusut dan manusia bisa
mengalami krisis pangan yang amat berbahaya bagi kelangsungan hidupnya.
Menurut perhitungan WWF (World Wildlife
Fund), sejak tahun 1966 ecological
footptrint penduduk bumi sudah berlipat dua, jika setiap tahunnya
konsumsi SDA makhluk bumi mendekati angka 1,25 planet bumi. Jika kondisi itu
terus berlanjut, menurut WWF pada tahun 2030 dibutuhkan dua planet bumi untuk
mencukupi kebutuhan umat manusia. Padahal planet bumi hanya satu. Solusinya:
umat manusia harus serius menghemat SDA.
Untuk itulah harus ada upaya untuk meningkatkan produktivitas planet
bumi namun tetap lestari, prokonservasi, dan pro-ekologi. WWF dalam
analisisnya menyatakan: masalah SDA dan lingkungan hidup kini telah menjadi
krisis lingkungan global yang berdampak serius terhadap keberlanjutan
kehidupan manusia. Sebagai reaksi terhadap krisis ini, sejak abad ke-20 telah
tumbuh dan berkembang gerakan penyelamatan alam dan lingkungan yang lebih
mendasar dengan pendekatan ecoshopy,
yaitu pendekatan filosofi penyelamatan bumi dengan memasukkan dimensi ekologi
dan religius (Alikodra, 2012).
Naess memberikan definisi ecosophy sebagai filosofi yang pahamnya
didasarkan atas ekologi yang harmoni dan seimbang (ecological harmony). Berarti ecosophy
adalah filosofi yang mengusung pandangan bijak (wisdom) yang tertuang dalam norma, aturan, nilai (value), ataupun rumusan dalil (postulates) yang digunakan menjadi
tuntunan manusia untuk menghargai alam lingkungannya. Sebagai makhluk
beragama, pertanggungjawaban umat manusia terhadap kelestarian alam bukan
hanya di dunia, tapi juga di akhirat nanti.
Dengan demikian, di titik akhir perjalanan hidupnya, manusia harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada Tuhan Sang Pencipta. Dan inilah yang disebut god spot (Agustian, 2001).
God spot merupakan pilar penting
bagi pelaksanaan ecosophy sekaligus
sebagai landasan bagi penyempurnaan politik maupun kebijakan untuk memelihara
dan menjaga SDA dari kerusakan (Drengson,
1999). Dengan demikian, paham ecosophy
yang berlandaskan etika konservasi bertujuan membongkar cara pandang manusia
yang keliru tentang dirinya, tentang alam dan Sang Pencipta; juga tentang tempat dirinya di alam dan cara
memperlakukan alam.
Karena itu jika ecosophy ini
diimplementasikan secara konsekuen, insya Allah akan membawa keselamatan umat
manusia baik dunia maupun akhirat. Kita berharap, siapa pun capres yang terpilih,
Prabowo Subianto atau Joko Widodo, peduli terhadap keberlanjutan dan
kelestarian SDA. Indonesia, kata Prabowo Subianto, dalam Debat Capres 9 Juni
lalu, adalah negara yang amat kaya SDA. Indonesia adalah negeri
megabiodiversity yang luar biasa kaya dan kekayaan itu harus diselamatkan.
Agar penyelamatan SDA ini muncul dari hati nurani terdalam setiap warga
negara Indonesia, maka kita perlu memberikan landasan ecosophy sebagai dasar pemikirannya. Dengan landasan ecosophy, motivasi penyelamatan SDA
tidak hanya bersifat material semata-mata, tapi juga spiritual.
Dampaknya: penyelamatan ecosophy
bukan saja merupakan tanggung jawab seorang warga negara terhadap tanah
tumpah darahnya, tapi juga merupakan bentuk tanggung jawab seorang hamba
(manusia) terhadap Tuhannya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar