Demokrasi
atau Demokursi?
R Siti Zuhro ;
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
|
REPUBLIKA,
15 Juli 2014
Kesemarakan dan sekaligus
ketegangan pilpres tahun ini memang agak lain. Tak seperti yang sudah-sudah,
peserta nya hanya dua pasang dan langsung saling berhadapan untuk satu
putaran.
Entah karena saking
bersemangat atau saling berebut yang tercepat, ketika sebagian besar wilayah
Indonesia masih sibuk menghitung suara, sejumlah lembaga survei sudah
menyelesaikan quick count-nya.
Hasil tersebut langsung
ditanggapi satu kubu kandidat dengan mendeklarasikan kemenangannya. Kubu
lainnya pun tak kalah gertak. Berdasarkan hasil quick count beberapa lembaga survei juga yang mengunggulkannya,
mereka pun mendeklarasikan hal yang sama. Maka, tak ayal lagi rakyat pun jadi
terkoyak, terapung di antara dua gelombang lautan emosi. Siaga I yang dinyatakan
pemerintah sebelum hari "H" seolah memperoleh pembenarannya.
Perjalanan demokrasi
Indonesia relatif sudah cukup panjang. Sejak awal kemerdekaan, para pendiri
negeri ini telah meletakkan dasar-dasar demokrasi dalam konstitusi. Sebagai
bangsa yang majemuk, demokrasi merupakan pilihan yang tepat yang bisa
menjamin kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sistem pemerintahan yang
demokratis pada dasarnya menekankan makna "dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat". Intinya adalah pemberdayaan rakyat. Karena alasan ini
pula, partisipasi rakyat menjadi hal yang utama dalam demokrasi.
Pilpres langsung pada
dasarnya dimaksudkan sebagai sarana bagi suksesi kepemimpinan dan terpilihnya
pemimpin secara transparan dan akuntabel yang dikehendaki rakyat. Siapa pun
pemenangnya harus diterima semua pihak dan disikapi dengan arif.
Sayangnya, kemuliaan
nilai-nilai tersebut belum sepenuhnya dihayati. Hal ini terlihat dari
deklarasi saling klaim kemenangan secara dini. Demokrasi yang semestinya
ditopang nilai-nilai mulia bangsa sendiri justru dikesampingkan.
Pilar penyangga demokrasi
Dalam konteks pilpres, ada beberapa pilar penting demokrasi yang perlu disorot.
Pertama, partai politik sebagai pilar utama demokrasi merupakan institusi
penting penyedia calon pemimpin baik untuk legislatif maupun eksekutif. Untuk
memerankan fungsi sebagai pilar demokrasi, partai politik harus menjadi
partai kader yang fokus pada kaderisasi.
Kedua, media massa menjadi
pilar utama dan berperan penting dalam proses demokratisasi. Bahkan, perannya
semakin mengedepan ketika publik kecewadan kurang mempercayai partai. Celakanya,
ternyata media sulit netral secara politik, termasuk media elektronik.
Seiring dengan media,
lembaga survei juga berperan penting. Banyaknya jumlah lembaga survei
menambah kesemarakan sejak pemilu 2014. Meskipun be berapa prinsip penting
harus dipegang teguh, realitasnya lembaga-lembaga survei masih saja
membingungkan dan mengecewakan publik.
Hasil lembaga survei
dengan kerja yang profesional memang bisa merepresentasikan hasil yang
mendekati kenyataan. Hasil quick count,
misalnya, bisa sama dengan hasil real
count.
Tetapi, adalah juga sebuah
hal yang manusiawi bila hasil quick
count bisa salah. Dalam aktivitas ilmiah, kesalahan dalam sebuah pekerjaan
yang dinilai sudah dilakukan dengan proses yang benar merupakan hal yang
biasa.
Benar-tidaknya hasil kerja
lembaga survei tentu dapat dilihat pascapenetapan final hasil KPU. Maka, bila
ada lembaga survei yang menyatakan dirinya lebih benar dari hasil final KPU,
hal tersebut merupakan sebuah sikap yang tidak akademik karena seolah telah
menyamakan dirinya dengan Tuhan.
Ketiga, civil society juga berperan penting
dalam demokratisasi, khususnya dalam pilpres, melalui kehadirannya sebagai
penyeimbang agar demokrasi tak terlalu bernuansa elitis. Civil society turut berperan mendorong munculnya banyak calon
dalam pilpres dan pilkada.
Keempat, KPU dan Bawaslu
memiliki otoritas dan tanggung jawab besar dalam menjalankan pilpres. Sukses
tidaknya pilpres tergantung kedua institusi itu.
Namun, karena memori negatif
publik terhadap Pilpres 2009, para penyelenggara pilpres dituntut lebih
memperlihatkan kualitas kinerjanya demi meraih kembali kepercayaan rakyat.
Tampaknya kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kekhawatiran masih membayangi
hasil pilpres yang akan di umumkan 22 Juli nanti.
Karena itu, KPU dan
Bawaslu harus menunjukkan kinerjanya yang maksimal dan profesional agar tak
ada lagi sikap yang saling menyalahkan, saling menuduh, dan merasa benar sen
diri.
Kelima, penegakan hukum
merupakan bagian tak terpisahkan dari keberhasilan pilpres. Penegakan hukum
tak hanya tecermin melalui antisipasi terhadap kemungkinan kerusuhan, tapi
juga bagaimana menciptakan kepastian hukum dan keterikatan rakyat dan para
elite pada hukum.
Bukan demokursi Dalam
sistem demokrasi, kompetisi/kontestasi merupakan hal yang niscaya sebagaimana
diwujudkan dalam pemilu. Pemilu seharusnya tak hanya bernuansa kompetisi
saja, tapi juga pendalaman nilai-nilai dan substansi demokrasi. Sebab, pilpres
bukan sekadar "demokursi", melainkan merupakan pengejawantahan
"demokrasi".
Proses learning by doing yang dilalui
Indonesia dalam melaksanakan demokrasi memang tidak mudah. Jalan menuju
demokrasi yang substantif tampaknya masih cukup panjang.
Lesson
learned yang bisa dipetik dari pilpres saat ini ada lah
pentingnya kematangan/kedewasaan politik, terutama di kalangan elite. Di tengah
kegersangan kedewasaan politik para elite politik saat ini, sayangnya nyaris
tak ada "orang-orang suci" (negarawan) yang menjadi referensi moral
bangsa. Ibarat pohon khuldi, dunia politik terlalu menggoda dan sulit
ditaklukkan. Seperti halnya Adam, tak sedikit di antara "orang-orang
suci" yang akhirnya turut terjerembab.
Pilpres 2014 bukanlah hari
kiamat.
Bangsa Indonesia harus mampu
membangun tradisi baru yang mengedepankan nilai-nilai positif, membenahi
memori negatif supaya tak senantiasa dirundung perasaan ketakutan yang tak
beralasan yang justru membuat demokrasi Indonesia mundur. Menjadi pihak yang
mengawasi jalannya pemerintahan juga sama terhormatnya dengan yang memerintah.
Melalui pilpres, rakyat
sudah memberikan suaranya, maka jangan lagi dustakan harapan mereka. Bangsa
ini tidak hanya memerlukan politisi, tapi juga membutuhkan banyak "orang
suci". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar