Bawaslu,
‘Pemburu Kampanye Hitam’
Feri Amsari ;
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas;
Peneliti Tamu di William and Mary Law School, Virginia
|
KORAN
TEMPO, 07 Juli 2014
|
Di tengah maraknya kampanye hitam terhadap kedua calon presiden, Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) lelap tertidur. Padahal lembaga itu adalah
"pemburu hantu" (ghost buster) segala bentuk pelanggaran Pemilu.
Termasuk menyingkirkan "hantu-hantu pelaku kampanye hitam".
Pembiaran kampanye hitam hanya membuka pintu bagi keributan,
sebagaimana terjadi di sebuah televisi swasta. Sebelum terulang atau lebih
besar, "panasnya pemilihan presiden" harus diredam dengan
menghentikan huru-hara kampanye hitam.
Berdasarkan Pasal 73 ayat (3) huruf b angka 4 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, salah satu tugas Bawaslu
adalah mengawasi bentuk dan materi kampanye, hingga dana kampanye. Temuan
Bawaslu terhadap pelanggaran kampanye dapat ditindaklanjuti lembaga lain yang
berwenang, misalnya kepolisian. Namun kepolisian hanya dapat bergerak jika
Bawaslu menyatakan telah terjadi pelanggaran pidana berupa kampanye hitam.
Sayangnya, Bawaslu seakan membiarkan pelaku kampanye hitam dan siapa
yang memberi pendanaan. Pembiaraan itu mengakibatkan meledaknya kampanye
hitam di pelbagai media. Terutama media Internet.
Seandainya Bawaslu punya niat baik membenahi kualitas pemilu, membuat
jera pelaku kampanye hitam adalah kewajiban. Setidaknya tindakan Bawaslu akan
mengakhiri berita "busuk" tak mendidik dan membuat publik lebih
memperbincangkan kualitas track record berupa pengalaman dan visi dan misi
capres. Lalu rumitkah bagi Bawaslu menelusuri jejak-jejak hantu kampanye
hitam?
Kampanye hitam pada pemilihan presiden (pilpres) adalah fakta sejarah
yang terus berulang. Itu sebabnya, Daniel Hays Lowenstein meyakini
langkah-langkah licik tidak akan hilang dalam proses kampanye (2012; hlm.
540). Dalam pemilihan presiden Amerika, misalnya, hantu kampanye hitam
bergentayangan sejak perebutan kursi Gedung Putih antara John Adams dan
Thomas Jefferson.
Tingkat keterpilihan (elektabilitas) Adams dianggap tidak sepadan
dengan Jefferson yang menjadi "idaman publik". Agar elektabilitas
pesaing menurun, Jefferson dicitrakan sebagai "perampok" dana
bantuan para janda dan anak yatim-piatu. Lebih mengerikan, Jefferson disebut
memiliki banyak anak dari budak-budak kulit hitamnya. Dua isu itu merupakan
hal sensitif bagi kulit putih yang memiliki hak pilih satu-satunya ketika
itu.
Nasib serupa dialami capres Joko Widodo, yang dituduh berdarah Cina
turunan Singapura dan beragama Kristen. Lebih jauh, penyebaran transkrip
percakapan palsu Jaksa Agung tentang upaya penundaan kasus korupsi bus
Transjakarta adalah kampanye terskema rapi. Menggunakan isu agama dan korupsi
tentu akan membuat para pemilih mayoritas "ketakutan". Kampanye
hitam itu jelas bertujuan meruntuhkan elektabilitas Joko Widodo yang terlalu
tinggi.
Jika permasalahan itu disigi, Bawaslu tentu dengan mudah menemukan
"pemain inti" kampanye hitam. Setidaknya tiga langkah penting dapat
dilakukan. Pertama, Bawaslu dapat menelusuri pelaku dengan menggunakan tenaga
ahli di bidang cyber crime karena kampanye hitam paling marak berada di ruang
cyber (Internet). Tenaga ahli Bawaslu dapat menelusuri internet protocol (IP)
address pelaku yang akan membongkar "dalang kampanye hitam".
Kedua, Bawaslu dapat meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK). Transaksi keuangan tim capres dapat ditelusuri
untuk menemukan pelaku kampanye hitam dan penyandang dananya. Ketiga, Bawaslu
dapat mempersempit ruang penyidikan dengan "membaca" pihak mana
yang paling diuntungkan dari maraknya kampanye hitam. Dalam kasus Jefferson,
pelaku dapat dipastikan adalah kubu Adams karena elektabilitas Jefferson
menurun selama berlangsungnya kampanye hitam. Dalam konteks
"pertarungan" antara Prabowo dan Joko Widodo, Bawaslu dapat membaca
dengan melihat elektabilitas capres mana yang menurun tajam setelah kampanye
hitam terjadi.
Saya yakin penelusuran pelaku kampanye hitam adalah perihal mudah bagi
Bawaslu. Apalagi anggota Bawaslu adalah figur yang dianggap memiliki
pengetahuan dan keahlian di bidang yang berkaitan dengan pengawasan (Pasal 85
UU Penyelenggara Pemilu). Lalu apa yang membuat Bawaslu tidak mampu menjadi
pemburu hantu pelanggaran penyelenggaraan pemilu? Dugaan bahwa anggota
Bawaslu terlibat pembiaran kampanye hitam karena mendukung salah satu
kandidat tentu saja agak berlebihan. Namun, dalam banyak proses penyelenggaraan
pemilu, Bawaslu seperti "duri dalam daging" dalam melindungi
demokrasi pemilu.
Semestinya kinerja Bawaslu yang lamban dievaluasi. Publik dapat
melaporkan lambannya kinerja Bawaslu sebagai tindakan yang menjatuhkan etika
penyelenggara Pemilu, khususnya dalam bidang pengawasan. Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) dapat mengeluarkan pernyataan terbuka untuk siap
menerima laporan dari masyarakat dan tim kampanye salah satu capres terkait
dengan kampanye hitam. Hal itu penting agar DKPP dapat
"membangunkan" Bawaslu untuk menjalankan tugasnya menjadi
"pemburu kampanye hitam". Sebelum anak negeri terbelah lebih dalam,
Bawaslu mesti segera berburu pelaku kampanye hitam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar