Ungkapan
Indah Tim Sukses
Mohamad
Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi,
Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 02 Juni 2014
Apa yang
kita sebut tim “sukses” itu secara psikologis kelihatan, atau terasa,
melegakan. Mungkin bahkan membawa semangat pembebasan. Kita seperti dibujuk,
dan diberi jaminan, untuk tidak usah risau. Tim itu seolah meyakinkan
jaminannya: bila Anda ingin sukses, serahkan semua urusan pada kami.
Anda
cukup duduk manis. Kami yang bekerja keras, Anda yang memetik hasilnya.
Begitulah yang kita pahami dari tampilan simboliknya. Dan mereka membikin
jembatan antara dunia simbolik dan dunia nyata ini dengan penampilan
meyakinkan. Masingmasing berbusana rapi “jali”, kemeja mahal, dasi mahal, jas
mahal, yang kadang hanya untuk nampang , ditenteng melulu, dan dalam rapat
ditaruh di sandaran kursi. Dalam presentasi, jelas mereka mengesankan adanya
kemampuan orang profesional. Ungkapan-ungkapan yang digunakannya meyakinkan.
Mereka
selalu bicara tentang solusi, alternatif, terobosan, strategi, investigasi,
mencuri start, dan banyak “trik” lainnya yang memesona. Semua itu untuk
membungkam bos, yang dilayani, agar dia menaruh “trust “ yang besar pada
mereka. Tapi kalau diperhatikan secara cermat, terasa bahwa di sana sini
sebenarnya mereka tak terlalu yakin akan kata-kata mereka sendiri. Mereka
bukan manusia sempurna, yang mengerti segala hal. Ada banyak yang sebetulnya tak
mereka pahami. Tapi sisi gelap ini disembunyikan dengan rapi, serapi tampilan
lahiriah mereka.
Kita
memang memerlukan tim sukses. Tapi sebaiknya kita yang mengendalikan mereka,
dan bukan sebaliknya. Kita bukan konsumen benda-benda bikinan pabrik yang sudah
jadi, dan punya jaminan kesempurnaan. Kepada mereka, kita harus kritis. Kita
dilarang untuk sepenuhnya “pasrah bongkokan“ atau percaya seutuhnya, dengan
sikap taklid buta pada orangorang itu. Barangkali bagus diingat, bahwa dunia
ini merupakan kuburan tim sukses yang kebanyakan tidak meraih sukses. Kalau
dihitung sejak tim sukses dalam pilkades, pilcamat, pilkada, baik di tingkat
kabupaten, dan kabupaten kota maupun provinsi, dan pilpres, betapa banyak
jumlah mereka.
Makin
banyak pasangan yang bertarung, makin banyak tim sukses yang dilibatkan, dan
makin banyak jumlah mereka “gugur” di dalam pertarungan. Di tingkat
organisasi masyarakat sipil, juga di dalam lingkungan organisasi sosial
keagamaan, banyak sekali pemilihan ini pemilihan itu, yang juga melibatkan
tim sukses. Sudah jelas bahwa tak semua pasangan yang bersaing itu memperoleh
kemenangan. Tim sukses itu hanya sebuah nama, atau ungkapan. Namanya tampak
positif, tapi menjebak kita, karena kenyataannya, seperti sudah disebutkan di
atas, tak semua tim sukses meraih sukses.
Kita
mencatat, ada yang meraih cercaan, ada yang disesali, ada yang tak berkutik
ketika oleh jago yang didukungnya, yang marah besar karena kekalahannya itu,
mereka dicaci maki dan ditololtololkan, disebut otak udang, sok tahu, tak mau
mendengar suara orang lain, dan bukan hanya itu. Di mana-mana, di dalam
pertarungan apa pun, selalu ada tim sukses yang rontok. Dan ada orang-orang
yang kapok, dan bersumpah mati untuk tak mengulangi lagi menjadi tim sukses
apapun.
Tim
sukses bisa datang dari dalam lingkungan partai sang bos, bisa juga dari
luar. Mereka bisa suatu tim profesional yang didatangkan, teken kontrak dan
minta bayaran tinggi. Bisa juga orang-orang dari berbagai latar belakang,
yang entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba “merapat” ke suatu pasangan yang
bakal bersaing di pentas politik. Tim sukses dari luar partai itu bisa saja
menimbulkan kemarahan dan rasa cemburu di kalangan orang-orang dalam. Bila
tim sukses tak mengantarkan bos ke pintu kemenangan, konflik itu bisa menjadi
semakin ganas.
Caci
maki, kutukan, dan penghinaan, terpaksa ditelan dengan diam oleh tim sukses
itu. Beban, dan tanggung jawab moral tim sukses mungkin dapat disamakan
dengan pelatih sepak bola. Ketika sang pelatih tak berhasil mengantarkan
“anak-anak” asuhannya ke pintu kemenangan, pelatih pun menghadapi risiko
serupa. Bedanya, pelatih sepak bola hanya mempertaruhkan kemampuan teknis dan
pengalaman, tim sukses lebih dari itu. Mereka, terutama yang “merapat”
sendiri ke suatu pasangan calon presiden dan wakil presiden, bisa dicibir dan
dipandang sebelah mata.
Dan
seperti disebut di atas, mereka juga bisa menimbulkan kejengkelan dan rasa
cemburu orang dalam. Sudah lama mereka bekerja untuk partai, dan tak
dilibatkan ke dalam posisi penting itu, tapi tiba-tiba orang yang “merapat”
dengan diam-diam itu malah memperoleh posisi begitu istimewa. Orang yang
memang memiliki ambisi besar, cibiran, dan kritik yang bermuatan etis itu
jelas tidak ada gunanya. Suara-suara etis itu tak bakal digubris. Etika hanya
menyentuh kulit luar yang sudah terlalu tebal. Untuk membela diri dari
cibiran orang banyak, mereka bisa menghibur diri dengan mengatakan bahwa
mereka kerja profesional.
Mungkin
bahkan sejak awal mereka telah menutup rapat kemungkinan cibiran ini dengan
alasan profesional tadi. Tingkah laku dan sikap seperti itu seolah memberi
tahu kita bahwa apa yang profesional tak perlu menggubris etika. Kata
“profesional” kelihatannya bisa dijadikan kedok, dan jalan keluar dari
keruwetan etis yang lembut itu. Kita cenderung tak peduli. Tapi orang partai,
ketua partai, penasihat dan mereka yang disebut pengendali biduk partai,
diminta untuk tak bersikap seperti itu. Seprofesional apa pun suatu tim
sukses, kita wajib mengendalikannya.
Partai
tak boleh menjadi ajang bagi orang luar untuk memainkan kartu politiknya. Tim
sukses bila benar bakal membawa sukses pasti ada tuntutannya. Mungkin minta
jabatan menteri. Mungkin minta bayaran lain, yang tak mudah memenuhinya.
Untuk sementara kelihatannya mereka membantu partai, tapi dilihat dari segi
manajemen sumber daya manusia, mereka merusak tatanan karena dengan begitu
akan menjadi jelas, orang yang sudah lama menanti karier, ternyata diloncati begitu
saja oleh orang yang menyebut dirinya profesional tadi.
Jika
perkara-perkara etis lain yang berhubungan dengan dirinya sendiri pun bisa
dilanggar, kita harus mencatat bahwa di masa depan, kemungkinan “merusak”
partai, atau mencemarkan nama baik partai, bukan tak mustahil terjadi. Orang
macam itu tidak menaruh loyalitas pada siapa pun karena hidupnya dilandaskan
pada apa yang bersifat “kontrak”, atau “perjanjian” serba tertulis, atas
dasar kebanggaan profesional tadi. Sikap hati-hati, dengan penuh perhitungan
dan antisipasi, menjadi penting sekali.
Partai
harus bisa menjaga dirinya sendiri karena tim demi tim, juga tim sukses,
belum tentu membantu. Mereka tak bicara loyalitas. Bagi mereka, yang
dijadikan rujukan hanya beberapa unsur penting di dalam kontrak. Tim sukses
maupun yang tak sukses, sama-sama menjanjikan ungkapan indah, dengan segenap
pemanis yang menawan. Tapi komitmen dan perjuangan mereka hanya terbatas pada
apa yang disepakati dalam kontrak. Mereka tak pernah bicara tentang
loyalitas, dan tak pernah menyertakan hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar