Teknologi
dan Keamanan Pangan
Clive
James ; Pendiri the International Service for the Acquisition
for Agri-biotech
Applications
|
TEMPO.CO,
02 Juni 2014
Pada
2050, populasi dunia diperkirakan akan mencapai lebih dari 9 miliar jiwa, di
mana 60 persen dari total tersebut, atau sekitar 5 miliar jiwa, berada di
Asia. Ini berarti, Asia-sebagai benua dengan jumlah penduduk terbanyak di
dunia-akan menghadapi tantangan terbesar dalam memenuhi kebutuhan pangan
masyarakatnya. Sayangnya, komoditas makanan pokok masyarakat, seperti beras,
gandum, dan jagung, jumlah produksinya masih berada jauh di bawah yang
seharusnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan yang terus meningkat,
negara-negara di Asia harus mampu meningkatkan produksi pertanian secara
signifikan.
Kenyataannya,
pemenuhan permintaan atas kebutuhan makanan yang berkelanjutan semakin sulit.
Air dan lahan subur dinilai semakin langka. Area tanah lebih banyak digunakan
untuk industri ketimbang pertanian. Investasi untuk meningkatkan
produktivitas pertanian juga terkesan lamban, belum lagi kondisi pemanasan
global yang menyulitkan proses untuk menghasilkan makanan. Semua hal ini
menjadikan keamanan pangan sebagai prioritas agenda kebijakan pemerintah di
negara-negara Asia.
Bioteknologi
dipandang sebagai salah satu solusi paling tepat untuk mengatasi masalah
tersebut. Selain mampu meningkatkan produktivitas, bioteknologi dapat
menyokong produksi tanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim seperti yang
dialami oleh sebagian besar negara di Asia, termasuk Indonesia. Hal ini
karena bioteknologi memiliki dua keuntungan-ketelitian serta
kecepatan-sehingga menjadikannya salah satu metode paling efektif untuk
mengidentifikasi gen dengan karakteristik berbeda dalam waktu singkat,
seperti gen untuk meningkatkan produktivitas atau toleransi terhadap penyakit
tanaman.
Berdasarkan
laporan terbaru International Service
for the Acquisition of Agri-Biotech Applications (ISAAA), jumlah daerah
yang mengadopsi tanaman biotek secara global meningkat lebih dari 100 kali
lipat dari 1,7 juta hektare pada 1996 menjadi lebih dari 175 juta hektare
pada 2013. Angka ini menjadi bukti tingkat ketahanan serta manfaat dari
penerapan bioteknologi bagi petani dan konsumen.
Pada
2013, jumlah petani yang menanam tanaman biotek di negara berkembang telah
mencapai 18 juta. Angka ini meningkat dibanding pada 2012, yaitu 17,3 juta,
dengan lebih dari 90 persen di antaranya, atau kurang dari 16,5 juta, merupakan
petani miskin. Selain keuntungan ekonomis, petani memperoleh dampak positif
lain, yaitu dari berkurangnya penggunaan insektisida sebesar 50 persen,
sehingga mengurangi risiko bagi petani terpapar insektisida serta secara
signifikan memberi kontribusi yang berkelanjutan bagi lingkungan.
Pada
2012, tanaman biotek diperkirakan mampu menghemat hingga 2,1 miliar kilogram
emisi CO2, setara dengan mengurangi 0,94 juta jumlah mobil di jalan.
Bioteknologi juga mampu memberikan cadangan tanah untuk pangan, pakan, dan
serat tanaman biotek, memungkinkan tanah menyerap CO2 sebanyak 24,61milliar
kg, setara dengan mengurangi 10,9 juta mobil di jalan selama setahun. Jika
digabung, penerapan bioteknologi mampu mengurangi 26,7 miliar kg CO2, setara
dengan mengurangi 11,8 juta mobil di jalan.
Penerapan
bioteknologi juga berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi penggunaan air
yang memiliki dampak besar bagi konservasi dan ketersediaan air secara
global. Saat ini, 70 persen air di seluruh dunia digunakan untuk kebutuhan
pertanian. Hal ini bukanlah sesuatu yang sifatnya berkelanjutan, mengingat
populasi akan terus meningkat hingga mencapai hampir 30 persen atau lebih
dari 9 miliar pada 2050.
Sampai
saat ini, tanaman biotek berhasil menggarap produktivitas di atas tanah
sebesar 1,5 miliar hektare. Hal ini dinilai dapat mencegah mutasi deforestasi
serta melindungi keanekaragaman hayati di hutan dan kawasan konservasi
lainnya. Di negara berkembang, lebih dari 13 juta hektare kawasan dengan
nilai keanekaragaman hayati lenyap setiap tahunnya. Apabila 377 juta ton
jumlah makanan, pakan, dan serat yang dihasilkan selama periode 1996-2012
bukan hasil tanaman biotek, dibutuhkan sekitar 123 juta hektare tanaman
konvensional sebagai tambahan untuk menghasilkan jumlah yang sama. Dari 123
juta hektare tersebut mungkin digunakan untuk lahan marginal yang rapuh,
tidak cocok untuk produksi tanaman, membutuhkan pengolahan tanah dan
khususnya hutan tropis yang kaya keanekaragaman hayati, ditebang untuk lahan
pertanian sehingga menghancurkan keanekaragaman hayati.
Agar
bioteknologi berhasil diimplementasikan dan mendukung produktivitas
pertanian, diperlukan kehendak politis kuat dari pemerintah dan dukungan
sektor swasta. Kerja sama yang baik diperlukan untuk mengimplementasikan
teknologi demi mengatasi masalah ketahanan pangan. Lambannya proses
persetujuan peraturan yang mendukung penerapan bioteknologi menjadi
penghalang utama pencapaian ketahanan pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar