Senin, 02 Juni 2014

Putin Sang “Vladimir Agung”

Putin Sang “Vladimir Agung”

Anton Sanjoyo  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  01 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sewaktu ribuan demonstran memadati Lapangan Kemerdekaan, atau biasa disebut Maidan oleh penduduk Kiev, pada akhir Februari lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin tengah bersantai di kediaman resminya yang mewah di Novo-Ogaryovo, sedikit di luar ibu kota Moskwa.

Dia sama sekali tidak mengkhawatirkan nasib Presiden Ukraina Viktor Yanukovych, sekutunya di jantung Kiev itu. Putin justru tersenyum. Dia punya rencana besar untuk menanggapi krisis politik di negara tetangga yang jaraknya hanya selontaran tembakan mortir tersebut.

Yanukovych tak lama kemudian tumbang. Pemerintahan Kiev kemudian jatuh ke tangan kelompok oposisi pro Barat.

Sambil menunggu Olimpiade Sochi kelar, Putin dan para pembantu dekatnya mulai melancarkan ”serangan” terhadap pemerintahan baru Kiev. Dimulai dengan menyebut mereka sebagai fasis baru, bahkan Nazi baru, Kremlin mulai menyusun strategi untuk merebut kembali Ukraina dari pengaruh Barat, terutama dari kelompok Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Putin tersenyum karena dengan jatuhnya Yanukovych, dia punya alasan untuk merebut kembali Crimea, semenanjung bersejarah yang merupakan salah satu simbol kejayaan Kekaisaran Rusia.

Ben Judah, penulis buku Fragile Empire: How Russia Fell In and Out of Love With Vladimir Putin menyatakan, bagi Rusia, Crimea merupakan jantung romantisisme mereka. Semenanjung inilah satu-satunya wilayah yang pernah ditaklukkan Kekaisaran Rusia. Garis aristokrat Tsar begitu mencintai semenanjung yang cantik ini. Crimea juga merupakan simbol fantasi Rusia dalam penaklukan Konstantinopel dan pembebasan Yunani Ortodoks dari penjajahan kaum Muslim.

Hanya dalam dua pekan setelah Yanukovych tumbang, serta nyaris tanpa satu pun desingan peluru, Kremlin memecundangi Barat dengan merebut Crimea, wilayah kedaulatan Ukraina di tepi Laut Hitam.

Rekayasa krisis

Para pemimpin negara Barat terbelalak, pun demikian Washington yang nyaris tidak percaya Kremlin melakukan agresi sedemikian taktis dan cepat. Tak berhenti di sana. Seakan sama sekali tidak terpengaruh dengan rentetan sanksi Barat, Kremlin terus menggoyang pemerintahan Kiev dengan merekayasa krisis politik di wilayah timur dan selatan Ukraina. Kota-kota, seperti Luhansk, Donetsk, Odessa, Kharkiv, dan Slavyansk, yang cukup banyak komunitas Rusia-nya, terus diganggu milisi bersenjata yang disokong penuh oleh Moskwa.

Pertanyaan besarnya, sampai di mana Kremlin akan menggoyang Ukraina yang pemimpinnya kini condong ke Barat?

Para analis dan ahli Eropa bertanya-tanya, apa motivasi politik agresi Putin—yang oleh Menteri Luar Negeri AS John Kerry disebut tindakan barbar abad ke-19—itu? Mengapa Putin berani mempertaruhkan triliunan dollar bisnis Rusia dengan negara-negara Barat dengan aksi koboinya kepada Ukraina?

Meski para pemimpin Barat dan analis mencoba menerka motivasi terbesar Putin, ”agresi” Rusia ke Ukraina bisa dirunut dari kebijakan dan sepak terjang Putin selama berkuasa.

Sebagai mantan petinggi KGB, Putin adalah orang yang sangat kecewa dengan keruntuhan Uni Soviet pada awal 1990-an. Bagi dia, jatuhnya Soviet membuka jalan bagi Barat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk melebarkan sayapnya ke Timur, bahkan ke kawasan Baltik. ”NATO tetaplah sebuah aliansi militer. Dan kita dilarang untuk membentuk aliansi militer, bahkan di tanah kita sendiri, di teritorial historis kita sendiri,” seru Putin saat berbicara di depan parlemen Rusia pada Maret lalu.

Dalam artikelnya di majalah Time, Michael Crowley dan Simon Shuster memaparkan, sejak menjadi perdana menteri pada 2000, Putin punya ambisi besar merestorasi posisi Rusia dalam peta kekuatan dunia. Dia membangun Rusia untuk kembali menjadi kekuatan utama dunia, sejajar, atau bahkan lebih superior dibandingkan AS dan negara-negara Eropa Barat.

Kekuatan ekonomi Rusia yang luar biasa besar membuat Putin semakin pede  untuk menjungkirkan hegemoni Barat dan AS. Bagi Putin, Barat dan AS hanya berpikir masalah uang, segalanya diukur dalam bentuk keuntungan ekonomi. Krisis Ukraina, bagi Barat dan AS, menurut Putin, hanyalah persoalan ekonomi.

Lagi pula untuk apa takut dengan sanksi ekonomi Barat? Rusia secara tidak langsung sudah ”membeli” Eropa. Orang-orang kaya Rusia sudah menguasai properti-properti mewah di West End London atau di Cote d’Azur, Perancis. Miliarder Rusia memutar uang miliaran poundsterling di London, dan itu sebabnya Inggris tak banyak berkicau untuk menghukum Rusia, seperti yang didesakkan Presiden AS Barack Obama.

Rusia juga membelenggu Barat dengan pasokan gas. Sebagian besar negara Eropa Barat, terutama Jerman, menggantungkan nasib energi gas-nya pada pasokan Rusia.

Pelindung kaum Ortodoks

Menurut Crowley dan Shuster, untuk merestorasi Rusia sebagai kekuatan utama dunia, Putin juga mengembangkan ideologi personal yang berlandaskan keyakinan Ortodoks Rusia serta berakar pada liturgi kuno dan terhubung dengan para santo (orang suci) pada era abad pertengahan. Dalam sejarahnya, para Tsar Rusia memang menempatkan dirinya sebagai pelindung kaum Ortodoks.

Putin juga kerap mengidentifikasikan dirinya dengan Vladimir Agung, sang Pangeran Kiev, penguasa Rusia pada abad ke-10 yang mengonversi bangsa Slavia yang semula kaum penyembah berhala menjadi Kristen. ”Semangat spiritualnya menjadi basis kebudayaan, peradaban, dan nilai-nilai kemanusiaan yang mempersatukan rakyat Rusia, Ukraina, dan Belarus,” ujar Putin sebelum menandatangani undang-undang penyatuan kembali Crimea, semenanjung tempat Vladimir Agung dibaptis pada tahun 988.

Jauh sebelum merebut Crimea, Putin sudah tampil sebagai pemimpin yang menjanjikan kejayaan sekaligus pemurnian Rusia. Lewat pandangan konservatifnya, Putin menekan rakyat Rusia untuk membuang jauh hal-hal yang bisa merusak tradisi luhur. Salah satu kampanye sosialnya adalah dengan menyebut negara-negara Barat sebagai kelas sosial yang secara moral sangat korup dan lemah!

Kampanye sosial pemurnian Rusia oleh Putin paling nyata adalah kecamannya terhadap kaum homoseksual yang dituduhnya sebagai penghambat tingkat kelahiran bangsa Rusia. Putin juga melarang aktivitas seni yang amburadul. Dia juga memerintahkan penempelan label peringatan di sejumlah buku yang dianggap menghasut.

Merebut kembali Crimea, bagi Putin, merupakan langkah awal dalam keyakinannya pada kejayaan Uni Soviet dalam persatuan Rusia-Ukraina-Belarus, seperti semangat spiritual Vladimir Agung. Namun, semangat ini tentu membuat takut bangsa-bangsa lain di sekitar Balkan karena, dalam sejarahnya, Putin punya catatan sebagai agresor.

Tentang Putin, mantan Menlu AS Madeleine Albright mengatakan, bagi sebagian orang, Putin telah memenangi Crimea. Sejarah banyak diisi para agresor yang merebut kemenangan untuk sementara waktu. Kemudian tumbang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar