Perombakan
Sistem Pendidikan Tinggi
Rr
MI Retno Susilorini ; Menggeluti
bidang Manajemen Pendidikan Tinggi,
Dosen Unika
Soegijapranata Semarang, Team Leader Project IDB untuk Program Pengembangan
Kurikulum Internasional di Indonesia
|
SUARA
MERDEKA, 20 Juni 2014
"Moratorium pendirian prodi dan perguruan
tinggi baru, serta penegerian PTS, perlu mendapat kejelasan"
MENCERMATI
tawaran ide terkini dari kampanye capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla dan
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, saya merasa galau mengingat masalah pendidikan
tinggi tidak muncul secara signifikan dalam visi, misi, dan program
’’spektakuler’’ mereka. Kegalauan itu bahkan menjadi-jadi setelah mendengar
keduanya hanya menyentuh sedikit isu pendidikan tinggi. Jokowi-JK sebatas
menyinggung aksesibilitas masyarakat terhadap perguruan tinggi negeri, dan
Prabowo-Hatta menyoal pentingnya kesejahteraan dosen yang paralel dengan
guru. Efek kegalauan saya cukup dramatis, yakni ingin menantang
presiden-wakil presiden 2014-2019 supaya berani merombak sistem pendidikan
tinggi yang saat ini karut-marut. Pemerintah telah menata dengan baik sistem
pendidikan tinggi lewat UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Faktanya, sejumlah masalah krusial belum tuntas hingga hari ini. Diskusi
tentang pendidikan tinggi selalu melibatkan dua kubu besar, yaitu Ditjen
Dikti Kemdikbud sebagai penyelenggara dan penentu kebijakan, dan kubu
perguruan tinggi (PTN/PTS) sebagai pelaku kebijakan. Revolusi mental yang
mengedepankan pendidikan karakter mungkin bisa menjadi salah satu alternatif
solusi.
Namun,
aspek strategis seperti kelembagaan, standardisasi pendidikan, kurikulum,
peningkatan kualitas SDM, upaya memperoleh pengakuan internasional terhadap
karya intelektual anak bangsa, dan gerakan cerdas menghadapi serbuan PTasing
(PTA), wajib menjadi perhatian. Ditjen Dikti sepertinya hampir sempurna
menjabarkan peran strategis pendidikan tinggi dalam renstra 2010-2014.
Tataran kebijakannya cukup baik, namun timpang dalam tataran operasional. Hal
mencolok beberapa tahun terakhir adalah kemenonjolan perannya sebagai
regulator ketimbang sebagai fasilitator. Di sisi lain, kubu PTN/PTS acap
mengaburkan tujuan pendidikan tinggi dengan meraup sebesarbesarnya keuntungan
tapi menghalalkan segala cara.
Penyelenggaraan
yang alakadarnya menghasilkan lulusan berkualitas rendah yang tak mampu
bersaing di pasar global, apalagi memperoleh pengakuan internasional. Upaya
serius pemerintah menerapkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI),
Perpres Nomor 8 Tahun 2012 dan Permendikbud Nomor 73 Tahun 2013 belum mampu
menimbulkan efek jera. Keberanian Merombak Tak bisa dimungkiri kemendesakan
untuk merombak sistem pendidikan tinggi. Menyangkut kelembagaan misalnya,
moratorium pendirian prodi dan perguruan tinggi baru, penegerian PTS, perlu
mendapat kejelasandengan regulasi yang lebih matang, bijak, dan terukur.
Sudah cukup lama ’’korban-korban’’ berbagai jenis moratorium tersebut
terlantar tanpa kejelasan. Namun di pihak lain, perguruan tinggi sering
melakukan trik supaya bisa memperoleh SK pendirian.
Tugas
Direktorat Kelembagaan dan Kerja Sama Ditjen Dikti menata dan
merestrukturisasi sistem kelembagaan perguruan tinggi, sebaiknya diselaraskan
dengan regulasi dan standardisasi pendirian prodi baru dan program unggulan.
Termasuk mengawasi kelembagaan perguruan tinggi asing yang ke depan makin
banyak melebarkan sayap di Indonesia. Hal itu supaya mereka tidak melenceng
dari peraturan dan tidak mencaplok hidup-hidup sekian ribu PTS kita yang
berjuang mati-matian untuk meraih posisi terhitung tadi. Perombakan lain yang
mendesak adalah pengimplementasian KKNI dan kurikulum agar mampu menghasilkan
manusia berkarakter. Belajar dari perguruan tinggi maju kelas dunia, KKNI
masih perlu penjabaranyang lebih operasional. Standardisasi kurikulum
berbasis KKNI tidak sekadar merumuskan capaian pembelajaran atau menghasilkan
dokumen struktur kurikulum namun lebih pada esensi rancangan kurikulum yang
membangun karakter lulusan. Masalah berikutnya adalah tata kelola SDM tenaga
pendidik (dosen). Sekali lagi, kubu Direktorat Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Ditjen Dikti dan kubu PTN/PTS perlu bersinergi.
Masalah
krusial saat ini adalah penyelarasan data kinerja dosen berbasis teknologi
informasi (TI) yang diaplikasikan melalui sistem informasi pengembangan
karier dosen (SIPKD) dengan jabatan akademik, yang justru menimbulkan
kegerahan berkelanjutan. Masalah yang tak kalah penting adalah pemberdayaan
penelitian. Dua tahun terakhir ini Direktorat Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat Ditjen Dikti asyik menerapkan sistem informasi untuk ’’menertibkan’’ pengelolaan
penelitian. Efek sampingnya adalah keluh-kesah kubu perguruan tinggi yang
menjadi lebih sibuk pada masalah administrasi ketimbang konten. Keberlanjutan
penelitian di masyarakat dan implementasinya di kalangan industri masih
sebatas terwujud saat hibah diterima oleh kelompok peneliti. Memang tak mudah
mengurai benang kusut sistem pendidikan tinggi. Tapi saya tetap memimpikan sistem
yang ugahari-unggul. Sistem yang
ugahari adalah sederhana dalam kelembagaan, tata kelola, dan operasional,
namun unggul dalam kualitas, hasil, dan berkelanjutan. Presiden baru mesti
bersabar untuk duduk bersama dengan mendikbud baru serta para pemikir lama/baru
pendidikan tinggi, untuk merombak sistem pendidikan tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar