Pendidikan
Karakter sebagai Landasan
Anita
Lie ; Profesor dan Direktur Program Pascasarjana
Unika Widya Mandala,
Surabaya
|
KOMPAS,
02 Juni 2014
KARAKTER
adalah apa yang kita lakukan ketika tidak ada orang lain yang melihat. Dalam
pemaparan visi misinya dan revolusi mental baru-baru ini, capres Joko Widodo
menyampaikan alokasi yang besar untuk pendidikan karakter (dalam kurikulum
SD, 80 persen pendidikan karakter, etika, dan budi pekerti serta 20 persen
ilmu pengetahuan; tingkat SMP, 60-40 persen untuk pendidikan karakter;
tingkat SMA 20 persen).
Karakter
akan menentukan arah peradaban bangsa yang sedang kita bangun. Ketika suatu peradaban sudah kehilangan
jiwanya, harapan bangkit dari keterpurukan dan pembaruan akan ditentukan oleh
karakter yang masih tersisa pada sebagian anggota masyarakat. Harapan disandarkan pada pendidikan—bukan
karena ada orang-orang terdidik yang berperan sebagai guru dan pamong di
sekolah—melainkan karena ada tunas-tunas muda yang masih berpotensi
menumbuhkan nilai-nilai etis.
Sebagian
studi mengenai pendidikan karakter menelaah proses pertumbuhan nilai-nilai
moral dan etis dalam individu dan norma kelompok atau budaya. Karakter suatu masyarakat memengaruhi—tetapi
tak menentukan—karakter warganya.
Dalam eksperimen dompet hilang (Thomas Lickona, 2004), tingkat
kejujuran paling tinggi ada di Norwegia dan Denmark (100 persen pengembalian)
serta paling rendah di Meksiko (21 persen).
Dikotomi semu
Nilai-nilai kejujuran yang sudah menjadi
norma dalam suatu masyarakat akan meneguhkan pertumbuhan nilai-nilai itu
dalam setiap warga. Namun sebaliknya,
ketika nilai-nilai kejujuran sangat lemah dan tidak bisa menjadi norma dalam
suatu masyarakat, toh masih ada segelintir warga yang memegang teguh
nilai-nilai kejujuran. Ini berarti
harapan selalu ada untuk meningkatkan norma dan karakter para anggota
masyarakat.
Saya
berharap alokasi persentase untuk pendidikan karakter dalam kurikulum,
seperti disampaikan Jokowi, tidak diterjemahkan menjadi pembagian jam
pelajaran, kisi-kisi, teritori guru bidang pelajaran, serta penyekatan
kurikulum dalam implementasi di sekolah, tetapi sebagai ajakan menelaah
kembali apa yang telah hilang di sekolah-sekolah kita. Dengan tekanan yang dihadapi dalam
kehidupan profesional seorang guru, mulai dari target angka kelulusan ujian,
standar mutu, kompetisi untuk menunjukkan prestasi dan keunggulan siswa,
sampai kebutuhan guru atas kesejahteraan yang tak tercukupi, pendidikan karakter
telah tersisihkan.
Padahal,
pengembangan karakter adalah landasan bagi prestasi akademik yang
berkelanjutan. Menjadi seseorang yang
berkarakter berarti menjadi yang terbaik yang bisa dicapai. Tumbuh dalam karakter berarti menumbuhkan,
baik potensi intelektual maupun etis. Pertumbuhan karakter meliputi kapasitas
untuk mengasihi dan kapasitas untuk berkarya.
Nilai-nilai seperti empati, kasih sayang, pengorbanan, loyalitas, dan
pengampunan menjadi bagian dari kapasitas untuk mengasihi.
Nilai-nilai
seperti usaha keras, inisiatif, keuletan, dan disiplin adalah bagian dari
kapasitas untuk berkarya dan menjadi kompeten dalam kehidupan. Jadi, etos kerja dan kompetensi tidak bisa
dipisahkan dari karakter. Seberapa
baik seseorang melakukan pekerjaannya adalah salah satu cara dia
mengembangkan potensi dirinya secara optimal dan memengaruhi kualitas
kehidupan orang lain.
Kerangka, prinsip, strategi
Kepemimpinan
nasional yang berkomitmen pada pendidikan karakter perlu untuk membangun
kerangka dan merumuskan prinsip pendidikan karakter. Dalam konteks pendidikan nasional kini
(ketika peran pemerintah masih sangat kuat dalam penyelenggaraan pendidikan),
kepemimpinan nasional diharapkan bisa menjaga koherensi visi-misi dengan kebijakan pendidikan yang
menimbulkan implikasi praksis di tataran sekolah.
Pendidikan
karakter yang efektif harus melibatkan kemitraan keluarga dan sekolah dalam
prosesnya. Studi longitudinal atas
12.000 remaja kelas VII-XII di 80 sekolah di AS pada 1997 menemukan dua
faktor pelindung dari perilaku berisiko (kenakalan, kekerasan, seks bebas,
dan alkoholisme serta narkoba), yakni kedekatan dengan orangtua dan dengan
orang-orang di sekolah. Selain itu,
pendidikan karakter yang sukses terjadi di semua area kurikulum (formal dan tersembunyi
serta inti dan ekstra). Artinya,
koherensi tujuan pendidikan karakter dan praksis pendidikan menuntut
kebijakan kurikulum dan penilaian belajar yang holistik. Baik-buruk karakter peserta didik tak bisa
diukur dari tipe tes kertas dan pensil.
Praksis
ujian nasional harus dihentikan karena nilai-nilai ekonomis (target angka
kelulusan, sistem insentif dan hukuman bagi para guru, serta pengukuran
prestasi sekolah dan daerah berdasarkan kelulusan ujian nasional) yang
melandasi penyelenggaraan UN telah menggerus nilai-nilai etis dan moral.
Selama
bertahun-tahun berbagai manipulasi dalam penyelenggaraan ujian nasional yang
tak lagi bisa diatasi birokrasi pendidikan/aparat kepolisian telah merusak
karakter anak, karakter sekolah, dan karakter masyarakat secara masif. Keterlibatan puluhan guru dalam pencurian
soal-soal UN di Jawa Timur merupakan fenomena pucuk gunung es kerusakan
karakter bangsa yang sedang terjadi.
Kerangka
dan prinsip pendidikan nasional bisa dirumuskan pada tingkat nasional. Namun, pada tataran strategi dan
implementasi, inisiatif daerah atau bahkan satuan pendidikan akan membuat
gerakan pendidikan karakter lebih hidup dan relevan dengan konteks setiap
satuan pendidikan. Nilai-nilai pendidikan
karakter bisa digali dan dikaitkan dengan berbagai sumber: ajaran agama,
Pancasila, nilai-nilai budaya lokal, atau karakter masyarakat setempat.
Nilai-nilai
dasar karakter bersifat universal, tetapi kontekstualisasi yang sesuai
kekhasan setiap satuan pendidikan akan membuat pendidikan karakter lebih
bermakna dan dinamis. Bahkan,
keberhasilan pada tingkat lokal akan bisa jadi inspirasi di seluruh
Nusantara. Model pendidikan Taman
Siswa yang dimotori Ki Hajar Dewantara dengan model among dan pamong menjadi
inspirasi secara nasional dan perlu diberi ruang kembali pada tingkat akar
rumput. Beberapa bangsa telah berhasil melakukan transformasi sosial dan
bangkit dari keterpurukan. Ketika
bangsa Indonesia bersiap untuk (kembali) menjadi bangsa besar, karakter
bangsa menjadi modal etis dan intelektual.
Pendidikan merupakan ranah yang diperhatikan karena ada anak-anak muda
dengan potensi karakter yang menentukan keberhasilan atau kegagalan Indonesia
jadi bangsa besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar