Menimbang
Visi Otonomi Daerah Capres
Nur
Diah Fitriani ; Ketua
Dewan Pemberdayaan Perempuan di Aliansi Penulis Idealis (API) Walisongo
Semarang, Peneliti Muda di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN)
|
HALUAN,
19 Juni 2014
Debat
pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) 2014
mengenai topik pembangunan demokrasi, pemerintahan yang bersih dan penegakan
hukum oleh pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa versus Joko Widodo-Jusuf
Kalla beberapa waktu lalu, menyisakan pertanyaan bagi masyarakat, bagaimana
nasib otonomi daerah selama lima tahun ke depan?
Mengingat
wilayah Indonesia yang sangat luas, tentu hal ini mustahil jika yang mengurusi
hanya pemerintahan pusat. Praktik pemerintahan sentralistik selama ini
menguatkan asumsi tersebut, terbukti hanya memakmurkan ibu kota dan sebagaian
wilayah di pulau Jawa. Sementara wilayah-wilayah yang notabene kaya sumber
daya alam hanya bisa menyaksikan kekayaan alamnya mengalir ke Jakarta dan
Jawa. Seakan-akan wilayah yang di luar Jawa ini di “anak tirikan”.
Ketidakmerataan pembangunan inilah yang menyebabkan separatisme di berbagai
daerah.
Menilik
kembali sejarah kelahiran otda (otonomi daerah) pada 1 Januari 2001, telah
menjadi titik tumpu untuk mengurangi separatisme dan meratakan kemakmuran
masyarakat. Oleh karena itu, visi otonomi daerah capres-cawapres akan
menjadi pedoman bagi 539 pemerintahan daerah (34 provinsi, 412 kabupaten dan
93 kota di seluruh Indonesia).
Menimbang Visi Otonomi Daerah
Dengan
gamblangnya dalam debat capres-cawapres yang berlangsung beberapa waktu lalu,
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyatakan strategi
mereka tentang ke arah mana otonomi daerah akan dibawa, jika mereka memimpin.
Masing-masing
capres-cawapres mempunyai perbedaan visi-misi. Jokowi-JK meletakkan isu
desentralisasi dan otonomi daerah
secara khusus diantara sembilan agenda prioritas kerjanya. Pada prioritas
ketiga, ia mengatakan akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pasangan yang dimotori Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut
juga menjelaskan konsep yang diusungnya mereka sebut desentralisasi asimetri.
Artinya, diberlakukan sama untuk masing-masing daerah.
Dengan
pengalaman memimpin daerah, Jokowi tampaknya memahami kemampuan dan
perbedaan modalitas setiap daerah. Jokowi-JK berkomitmen menjadikan otonomi
daerah sebagai kebijakan pokok dan arah bagi kebijakan publik lain. Selain
itu, mereka menjanjikan reformasi pengelolaan keuangan daerah, dengan cara
mengurangi biaya rutin pemerintah daerah dan memperbanyak belanja pelayanan
publik.
Berbeda
dengan Jokowi-JK, Prabowo-Hatta secara khusus meletakkan otonomi daerah
sebagai salah satu prioritas. Namun, pasangan yang dikomandoi Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra) ini menyelipkan beberapa isu dengan nuansa otonomi
daerah dalam prioritas kerjanya yang mereka sebut “Agenda dan Program Nyata
untuk Menyelamatkan Indonesia”. Mereka juga membuat program satu miliar untuk
satu desa, sebagai strategi untuk menjalankan ekonomi kerakyatan yang lebih
baik.
Prabowo-Hatta
dalam isu strategis keuangan daerah, ia akan meningkatkan transfer anggaran
pusat ke daerah dengan tujuan mempercepat pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur masyarakat di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.
Mengenai
pemekaran daerah, pasangan dari Partai Gerindra akan melakukan peninjauan
rencana dan penajaman ulang dalam pemekaran daerah, demi terwujudnya
efisiensi pemerintahan. Sedangkan pasangan dari PDIP akan menata kembali pembentukan
daerah otonom baru (DOB). Dalam isu strategis ini, secara substansi hampir
sama, mereka setuju untuk kembali menata kebijakan pemekaran daerah. Secara
tidak langsung masing-masing capres-cawapres melihat daerah DOB selama ini
hanya tertuju pada politik-ekonomi daripada kesejahteraan masyarakat
Indonesia.
Di sisi
lain, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menawarkan konsep lebih terperinci dengan
pola pembentukan DOB secara bertahap. Selain itu, mereka juga memberi tawaran
peranti yang hukumnya sudah ada sejak terbitnya PP No 78/2007 yakni, membuka
kemungkinan penerapan kebijakan penggabungan bahkan penghapusan daerah
otonom yang dinilai gagal. Namun, saat ini yang diperlukan bukan hanya
terbitnya hukum semata, melainkan ada ketegasan dan keberanian politik dalam
menegakkan peraturan tersebut.
Dari
perbedaan visi otonomi daerah capres-cawapres 2014 tersebut, masyarakat
Indonesia dapat menimbang mana calon presiden dan wakil presiden yang pantas
dipilih dan pantas memimpin Indonesia lima tahun ke depan serta yang pro
terhadap otonomi daerah. Memilih capres-cawapres yang dikira siap melakukan
pemerataan pembangunan di setiap daerah, dengan tujuan pembangunan tidak
hanya tersentralisasi pada ibu kota saja. Selain itu, yang mempunyai kapasitas memadai dalam
menyeimbangkan konstelasi politik nasional menggunakan arah desentralisasi.
Dalam konteks ini, dengan cara mempromosikan putra-putri terbaik dari
berbagai daerah, untuk menduduki jabatan bupati maupun wali kota dalam
menjalankan otonomi daerah. Sebab, salah satu faktor maju tidaknya daerah
terletak pada kepemimpinan kepala daerah tersebut. Wa’ Allahu a’lamu bi Al-Shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar