Menggugat
Rasio Pajak Versi Capres
Chandra
Budi ; Bekerja di Ditjen Pajak, Alumnus
Pascasarjana IPB
|
JAWA
POS, 14 Juni 2014
DALAM dokumen visi dan misi
bidang ekonomi dua calon presiden (capres) yang disampaikan ke Komisi
Pemilihan Umum (KPU), disebutkan bahwa rasio pajak (tax ratio) akan dinaikkan menjadi 16 persen. Capres-cawapres
nomor urut 1 Prabowo-Hatta akan melakukan dua hal untuk mencapai target rasio
pajak tersebut. Yaitu, memastikan reformasi pajak berjalan dan melaksanakan
ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.
Adapun capres-cawapres nomor
urut 2 Jokowi-JK, mereka juga akan melakukan dua hal. Yaitu, mengevaluasi
kenaikan penerimaan pajak seiring dengan kenaikan potensinya serta merancang
ulang lembaga pemungutan pajak berikut penguatan kuantitas dan kualitas
aparatur perpajakan. Namun, sangat disayangkan, program kerja yang
direncanakan para capres tersebut tidak menyentuh permasalahan mendasar pajak
selama ini. Kalaupun dijalankan, rasio pajak 16 persen akan sulit tercapai.
Karena itu, tulisan ini akan mengurai apa permasalahan mendasar pajak saat
ini dan bagaimana mengatasinya agar target rasio pajak 16 persen versi capres
tersebut bisa menjadi kenyataan.
Para capres menyadari bahwa
program kerja yang ditawarkan selama kampanye tidak akan terwujud bila tidak
didukung dana yang cukup. Prabowo-Hatta tidak akan berhasil mewujudkan
program satu desa Rp 1 miliar. Demikian juga, Jokowi-JK akan gagal
mengimplementasikan kartu sehat, kartu pintar, dan kartu sejahtera. Nah,
karena sebagian besar dana atau pendapatan negara berasal dari penerimaan
pajak, sudah seharusnya para capres melirik pajak. Karena itu, sangat tepat
bila tema cara meningkatkan rasio pajak –persentase jumlah pajak yang
dipungut dibandingkan dengan produk domestik bruto suatu negara– dijadikan
diskursus antarcapres.
Berbicara cara meningkatkan
rasio pajak tidak terlepas dari cara mengonversi potensi penerimaan pajak
menjadi riil pajak (fresh money). Justru, sering dijumpai, potensi penerimaan
pajak menjadi tontonan semata, tidak berhasil disentuh petugas pajak karena
keterbatasan internal dan eksternal. Keterbatasan internal adalah kurangnya
kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Ditjen Pajak. Misalnya,
Ditjen Pajak sangat membutuhkan SDM yang memahami proses bisnis pertambangan.
Sebab, praktik penggelapan pajak di sektor pertambangan yang bernilai
miliaran rupiah terendus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak beberapa
waktu lalu.
Dari sisi kuantitas, Ditjen
Pajak memerlukan SDM dalam jumlah banyak untuk menyisir (menyensus) aktivitas
usaha wajib pajak. Contohnya, SDM yang banyak untuk menyisir satu per satu
tempat usaha (los) pedagang Pasar Tanah Abang. Potensi pajak di Pasar Tanah
Abang dihitung Ditjen Pajak mencapai miliaran rupiah. Namun, sampai detik
ini, pajak yang dibayarkan hanya puluhan juta. Itu terjadi karena, dengan
potensi sebesar itu, hanya ada satu petugas yang mengawasi. Karena itu, wajar
banyak pedagang yang luput membayar pajak di Pasar Tanah Abang selama ini.
Kendala eksternal yang dihadapi
adalah belum terbentuknya dukungan nyata dari pihak terkait dalam
implementasi tugas serta fungsi Ditjen Pajak. Ditjen Pajak sering berjuang
sendiri dalam menagih utang pajak wajib pajak bandel tanpa dukungan
kepolisian. Justru sebaliknya, ada kasus petugas pajak dijadikan tersangka
oleh kepolisian atas aduan perbuatan tidak menyenangkan oleh wajib pajak.
Padahal, Ditjen Pajak sedang menjalankan tugas negara berdasar undang-undang.
Juga, Ditjen Pajak terbentur dalam menggali potensi pajak di Pasar Tanah
Abang. Dukungan dari pemda setempat selaku pengelola pasar sangat sulit
terlaksana. Padahal, selama ini Pemprov DKI Jakarta menikmati kucuran alokasi
dana yang cukup besar dari pemerintah pusat yang bersumber dari pajak.
Wewenang
Ketika permasalahan yang
dihadapi Ditjen Pajak tersebut mampu diselesaikan, target rasio pajak para
capres sebesar 16 persen akan mudah tercapai. Tetapi, tidaklah mudah
menyelesaikan masalah tersebut. Sebab, para capres harus melawan sistem yang
ada dengan menambah wewenang kepada Ditjen Pajak.
Selama ini, jika
dibandingkan dengan otoritas pajak negara lain, kewenangan Ditjen Pajak
paling sedikit. Dari enam kewenangan yang mungkin dimiliki otoritas pajak,
Ditjen Pajak hanya memiliki dua kewenangan. Yaitu, kewenangan menjatuhkan
sanksi perpajakan dan usul untuk membuat aturan pelaksanaan undang-undang.
Kewenangan lain seperti mendesain struktur organisasi, manajemen anggaran,
menetapkan standar kinerja administrasi perpajakan, dan manajemen kepegawaian
tidak dimiliki. Kondisi itu ironis bila dibandingkan dengan otoritas pajak
Malaysia –Lembaga Hasil Dalam Negeri Malaysia (LHDN)– yang hampir memiliki
seluruh kewenangan tersebut.
Ditjen Pajak setidaknya
membutuhkan tiga kewenangan tambahan. Yaitu, kewenangan di bidang SDM,
organisasi, dan keuangan. Kewenangan di bidang SDM meliputi kewenangan untuk
rekrutmen, pemberhentian pegawai, assessment kinerja pegawai, dan
penyelenggaraan diklat. Hal itu merupakan respons atas perkembangan dunia
usaha dan bisnis yang sangat cepat yang memerlukan SDM dengan kualitas serta
integritas tinggi. Kewenangan di bidang organisasi ditekankan pada adanya
fleksibilitas dalam menyusun struktur organisasi. Ditjen Pajak dapat
menyesuaikan jumlah kantor pelayanan pajak di suatu wilayah untuk menangkap
fenomena bisnis dan ekonomi yang berkembang. Sementara itu, kewenangan di
bidang anggaran lebih berupa keleluasaan dalam menggunakan anggaran untuk
menyesuaikan proses bisnis Ditjen Pajak, termasuk pengelolaan sistem insentif
dan kompensasi yang disesuaikan dengan prestasi kerja serta wilayah kerja.
Tentu, keinginan untuk menambah
wewenang tersebut akan terbentur sistem yang sudah ada. Kewenangan SDM akan
terbentur aturan kepegawaian yang berlaku umum bagi pegawai negeri sipil
(PNS). Kewenangan organisasi bakal terhalang aturan baku struktur organisasi
level kementerian. Demikian juga, kewenangan penganggaran akan berhadapan
dengan aturan alokasi anggaran kementerian, kebijakan fiskal, serta sistem pengadaan
barang dan jasa pemerintah. Karena itu, agar segera mendapat tambahan
kewenangan tersebut, Ditjen Pajak harus keluar dari sistem yang ada dan
menjalankan sistem sendiri sesuai dengan aturan yang dibuat khusus.
Kalaupun nanti ada usul
perubahan bentuk organisasi Ditjen Pajak, harus dipahami bahwa itu sebenarnya
adalah konsekuensi logis dari strategi para capres untuk meningkatkan
penerimaan pajak tersebut. Sebab, dengan keterbatasan wewenang saat ini,
mustahil target rasio pajak 16 persen versi para capres dapat terwujud.
Artinya, sampai kapan pun, rasio pajak Indonesia akan berjalan di tempat
–sekitar 12 persen– sebagai efek ketidakmampuan Ditjen Pajak mengonversi
pesatnya pertumbuhan kapasitas ekonomi Indonesia ke depan ke dalam penerimaan
pajak. Sebagai catatan penting, para capres hendaknya tidak terjebak pada
tema kampanye tentang perlu atau tidaknya menjadikan Ditjen Pajak sebagai
badan atau kementerian tersendiri. Sebab, sekali lagi, kalaupun ada perubahan
bentuk organisasi Ditjen Pajak nanti, hal tersebut adalah akibat, bukanlah
sebab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar