Memerangi
Praktek Kartel
Bambang
Soesatyo ; Anggota Komisi III
DPR RI Fraksi Partai Golkar,
Wakil Ketua Umum
Kadin Indonesia
|
KORAN
SINDO, 16 Juni 2014
Perekonomian
nasional sarat praktik kartel. Potensi kerugian masyarakat sebagai konsumen
akan terus berlanjut jika sistem hukum nasional tidak memberi sanksi maksimal
kepada para pihak yang bersekutu dalam kartel.
Maka,
Presiden RI terpilih harus berani melancarkan gerakan sapu bersih atas
praktik kartel dalam perekonomian Indonesia. Kebetulan, dari para pendukung
dan simpatisannya masingmasing, dua pasang capres-cawapres, Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah menerima sapu lidi sebagai simbol.
Sapu lidi merefleksikan harapan publik kepada pemimpin untuk melakukan
pembersihan.
Artinya,
siapa pun pemenang Pilpres 2014, masyarakat mendesak presidenwakil presiden
terpilih membersihkan semua praktik kotor dalam tata kelola kehidupan
berbangsa dan bernegara. Untuk menunjukkan dukungannya pada pasangan Prabowo-
Hatta, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) menyebar sapu lidi yang dililit
kertas merah putih di rumah Polonia, Jakarta Timur. Adapun Komunitas Barisan
Pejuang Kebersihan Jakarta menyerahkan sapu lidi sebagai dukungan untuk
pasangan Jokowi–JK.
Sebelumnya,
cawapres Jusuf Kalla juga menerima sapu lidi dari ”Gerakan Nasional Relawan Matahari Indonesia”. Jika mengikuti
arus pendapat umum terkini, desakan sapu bersih dalam konteks Indonesia
adalah memberantas korupsi dan perang melawan kemiskinan. Dua isu ini telah
mendapatkan respons dari sejumlah institusi terkait. Namun, praktik kartel
dalam perekonomian nasional kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Padahal,
praktik kartel untuk komoditas ekonomi tertentu bersentuhan langsung dengan
kepentingan setiap orang. Belum lama ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) menyatakan 19 importir bawang putih bersalah melakukan kartel. KPPU
menetapkan total denda Rp13,3 miliar kepada mereka. Majelis KPPU memastikan
19 importir itu melanggar Pasal 19 c dan Pasal 24 UU No 5/1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Para
importir itu didakwa sengaja membatasi peredaran bawang putih di pasar,
sebagai strategi mendongkrak harga. Hebatnya, majelis juga menyatakan Menteri
Perdagangan dan Dirjen Perdagangan Luar Negeri bersalah ikut bersekongkol.
Setelah kasus bawang putih, KPPU sedang mendeteksi praktik kartel perbankan
dalam mematok bunga bank.
Penyelidikan
KPPU sudah berjalan setahun lebih. Belakangan ini, perhatian KPPU diarahkan
pada perilaku sepuluh bank besar yang patut dijadikan acuan. Fokusnya pada
besaran bunga. Ada indikasi kartel karena bunga bank dan marjin bank sangat
tinggi di atas BI rate. Tingkat bunga kredit tetap tinggi walau BI rate
pernah diturunkan. KPPU sudah mengendus masalah ini sejak tahun 2011.
Persoalan
ini juga menarik perhatian Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Maka, OJK pun
mengajak KPPU bekerja sama mendalami dugaan kartel ini. Tak hanya kartel suku
bunga, KPPU dan OJK pun mendeteksi praktik kartel dalam bisnis asuransi yang
melibatkan perbankan (bancassurance). Banyak perusahaan asuransi sulit
memasarkan produknya karena tidak berafiliasi dengan bank.
Bank dan
asuransi bersekongkol untuk menutup ruang pemasaran bagi perusahaan asuransi
lainnya. Dalam praktiknya, nasabah yang mendapatkan kredit dari bank tertentu
didorong, tepatnya setengah “dipaksa” menggunakan produk asuransi dari
perusahaan terafiliasi. Tak jarang, penggunaan produk asuransi tertentu itu
sudah difinalkan sebagai persyaratan. Nasabah tidak diberi kebebasan memilih
walaupun nasabahlah yang membayar premi.
Bagi
KPPU, praktik persaingan tidak sehat atau kartel bancassurance ini lebih
sebagai pengulangan. Sebab, pada 2002 dan 2012, KPPU pernah memutus kasus
serupa terhadap dua bank BUMN. Berarti, putusan bersalah atau sanksi tidak
menimbulkan efek jera.
Kalau
kartel merusak dinamika persaingan sehat dan merugikan konsumen, apakah
kecenderungan seperti itu harus selalu disikapi dengan ganjaran minimalis
berupa denda? Kendati dampak negatifnya sangat serius, penanganan kasus
kartel selama ini hanya berpedoman pada Undang-Undang No 5/1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Destruktif
Padahal,
praktik kartel itu destruktif, tidak hanya membunuh perusahaan sejenis lain
serta merugikan konsumen, tetapi juga menutup peluang bagi tumbuh dan
berkembangnya potensi ekonomi rakyat. Kalau kartel bawang putih terus
“dipelihara” eksistensinya, yang menjadi korban adalah petani bawang putih.
Petani juga enggan menanam kedelai jika pasar dikendalikan oleh kartel yang
pastinya lebih memilih kedelai impor karena margin labanya jauh lebih besar.
Karena
itu, harus ada kemauan politik yang kuat dan sungguh-sungguh dari pemerintah
untuk menutup ruang bagi praktik kartel dalam perekonomian nasional. Gambaran
tentang ketidaknyamanan masyarakat sudah sangat jelas dari kasus kelangkaan
dan lonjakan harga kedelai beberapa waktu yang lalu.
Tingginya
harga daging sapi sampai saat ini pun diduga kuat karena berawal dari praktik
kartel, yang kemudian melahirkan ekses dalam kasus suap impor daging sapi. Lebih
dari itu, negara cq pemerintah harus memberi ruang bagi pertumbuhan dan
perkembangan bagi semua sektor bisnis di dalam negeri guna meningkatkan daya
saing negara. Semua potensi lokal, baik skala kecil, menengah maupun besar,
harus didorong untuk bertumbuh dan berkembang untuk mewujudkan ketahanan
ekonomi nasional.
Karena
itu, praktik kartel yang jelas-jelas merusak harus diberangus. Tantangan di
bidang perekonomian tahun-tahun mendatang semakin berat karena berlakunya
penyatuan ekonomi ASEAN. Sektor bisnis dalam negeri harus tangguh agar mampu
bersaing dengan negara lain di lingkungan ASEAN. Indonesia hanya akan menjadi
pasar jika dunia usaha dalam negeri tidak dipersiapkan untuk berkompetisi.
Dalam
beberapa tahun terakhir ini, peran dan praktik kartel dalam pengelolaan
sejumlah komoditas kebutuhan pokok dirasakan sangat kuat. Peran oknum
birokrat dalam kasuskasus tertentu pun tak dapat ditutup-tutupi lagi. Coba
saja simak kronologi kasus suap impor daging sapi itu. Selain itu, fakta
bahwa ada puluhan komoditas kebutuhan pokok yang harus diimpor juga memberi
peluang bagi hadirnya kartel.
Maka,
dalam konteks mewujudkan kesejahteraan bersama dan pembangunan dunia usaha
nasional, tantangan bagi presiden-wakil presiden terpilih sesungguhnya sangat
berat, terutama jika mengacu pada janji-janji kedua kandidat presiden. Jika
presiden ingin mendapatkan apresiasi dari rakyat, dia harus fokus membenahi
tata niaga semua komoditas kebutuhan pokok.
Pembenahan
itu harus berujung pada terbentuknya harga kebutuhan pokok yang moderat alias
terjangkau. Untuk itu, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah
mengeliminasi peran kartel yang selama ini mengontrol dan mengendalikan
permintaanpenawaran sejumlah komoditas kebutuhan pokok. Mungkin tidak mudah
karena tantangannya adalah menghadapi kepentingan dari sejumlah kelompok yang
selama ini sudah menikmati untung dari praktik kartel itu.
Namun,
gerakan sapu bersih terhadap kartel bukan lagi sekadar pilihan, melainkan
sebuah keharusan. Bayangkan, kalau benar ada kartel bank yang memformulasikan
tingkat bunga kredit, betapa dahsyatnya daya rusak kartel itu terhadap
masyarakat dan para pengusaha sebagai nasabah. Boleh jadi, faktor suku bunga
yang tinggi menjadi salah satu sebab rendahnya daya saing sektor bisnis dalam
negeri. Sapu lidi yang diserahkan para pendukung kepada para kandidat
capres-cawapres adalah simbol sekaligus aspirasi.
Siapa
pun yang memenangi Pilpres 2014, dia didesak untuk melancarkan gerakan
bersihbersih. Tak hanya memberantas korupsi, tetapi juga membersihkan
perekonomian negara dari praktik kartel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar