Memahami
Revolusi Mental
Sudarsono
Hardjosoekarto ; Guru Besar Sosiologi Organisasi FISIP UI;
Sekjen
DPD
|
KOMPAS,
20 Juni 2014
LEBIH dari 10 tahun sebelum capres Jokowi menyampaikan
gagasan tentang Revolusi Mental (Kompas,
10 Mei 2014), saya sudah mengemukakan hal itu pada artikel berjudul ”Presiden sebagai Pemimpin Pembelajaran”
(Kompas, 8 November 2003). Saat
itu, saya mengupas kepemimpinan Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung dan
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad berdasarkan studi systems thinking
yang dilakukan Prof Kim Dong-hwan dari Chung
Ang University, Korsel.
Sama
dengan calon presiden Joko Widodo, saya menggunakan istilah revolusi mental
untuk menggambarkan kebutuhan pemimpin nasional sebagai pemimpin
pembelajaran.
Saat
itu, saya katakan, ”Itulah sebabnya setiap negara dan bangsa memerlukan
pemimpin pembelajaran, yakni pemimpin yang telah mengalami revolusi mental
atau shift of paradigm. Pemimpin
yang bukan hanya pandai membawa dirinya menjadi pembelajar sepanjang hayat,
melainkan juga membangun seluruh organisasi bangsa menjadi organisasi
pembelajaran (learning organization)
dan sekaligus membimbing bangsanya menjadi bangsa pembelajar.”
Trisakti Bung Karno
Esensi
revolusi mental adalah proses pembelajaran dan perubahan, yakni perubahan
dari cara berpikir lama (linier
thinking) ke cara berpikir baru (system
thinking). Pentingnya revolusi mental ini dikemukakan oleh CK Prahalad, ”If you don’t change, you die.” Juga
ditegaskan oleh Peter Drucker bahwa ”The
greatest danger in times of turbulence is not the turbulence… it is to act
with yesterday’s logic.” Maksudnya adalah ”Yang paling berbahaya dalam situasi krisis bukanlah krisis itu
sendiri, tetapi justru tindakan yang dilandasi cara berpikir yang ketinggalan
zaman”.
Capres
Jokowi mengupas Trisakti Bung Karno sebagai tawaran untuk menyelesaikan
krisis nasional saat ini. Dalam revolusi mental yang merupakan cerminan
proses pembelajaran, tiga hal harus dilakukan.
Pertama,
meninggalkan paradigma lama (to unlearn)
yang menjadi penyebab sekaligus kendala penyelesaian krisis. Kedua, menggali
dan kemudian menghidupkan kembali paradigma lama (to relearn) yang masih dapat diandalkan untuk menyelesaikan
krisis. Ketiga, mempelajari, menguasai, dan mempraktikkan paradigma baru (to learn) untuk menjawab krisis
multidimensi dan tantangan bangsa yang makin kompleks.
Jelas
bahwa tawaran penyelesaian krisis nasional dengan Trisakti Bung Karno barulah
satu aspek saja, yakni to relearn
dari revolusi mental. Masih harus dielaborasi lebih lanjut bagaimana strategi
to unlearn dan sekaligus to learn
sebagai satu kesatuan triple loop
learning, sebagai wujud revolusi mental, bagi bangsa dan pemimpin
pembelajaran.
Ketidakberdayaan
Selain
strategi triple loop learning yang
harus diurai dengan jelas, aplikasi revolusi mental juga harus mengantisipasi
potensi ketidakberdayaan belajar (learning
disability). Paling tidak ada 7 butir yang harus diantisipasi menurut
Peter Senge, yakni (1) I am my
position, (2) the enemy is out of there, (3) the illusion of taking charge,
(4) the fixation on events, (5) the parable of boiled frog, (6) the delusion
of learning from experience, dan (7) the myth of the management team.
”Saling menyalahkan” adalah
contoh penyakit the enemy is out of
there. Maka menyembuhkan penyakit ”semua
orang lain salah, yang benar hanya diri sendiri” adalah salah satu contoh
revolusi mental itu.
Demikian
juga, I am my position adalah penyakit serius yang harus masuk agenda
penyembuhan, termasuk, antara lain, ”Saya anggota DPRD dipilih oleh tiga
puluh ribu pemilih, jadi untuk apa saya harus ikut pelatihan?”
Mempertimbangkan
banyaknya potensi ketidakberdayaan belajar, sering dikatakan bahwa proses
pembelajaran dan revolusi mental tidaklah mudah. Learning is a painful process. Karena itu, revolusi mental
memerlukan contoh nyata keteladanan pemimpin.
Jauh
hari, saya sudah mengemukakan pentingnya disiplin dialog seorang pemimpin.
Dialog adalah metode komunikasi untuk memperoleh kecendekiaan kolektif (collective intelligence) dan
kesepahaman (shared meaning) yang
optimal. Dengan dialog akan diperoleh keseimbangan antara mencari tahu (inquiry) dan memberi tahu (advocacy).
Pemimpin
yang telah mengalami revolusi mental adalah pemimpin yang telah meninggalkan
cara-cara debat kusir, bahkan telah naik kelas melampaui diskusi terampil,
menunjukkan kecanggihan dalam dialog, yakni antara lain mau dan mampu
mendengarkan hal-hal yang tidak ingin didengarkan.
Capres
Jokowi menawarkan revolusi mental menjadi gerakan nasional. Untuk itu,
praktik nyata dan keteladanan pemimpin sangat perlu: mulai dari diri sendiri,
keluarga, tempat kerja, tempat tinggal, meluas sampai kota dan negara. Lebih
dari itu, gerakan nasional ini harus ditopang perombakan sistem pendidikan
secara keseluruhan.
Basis pendidikan
Pertama,
tata ulang pendidikan umum nasional. Target-target kuantitatif, sampai
karut-marut ujian nasional, memberi kesan kuat bahwa pendidikan dari usia
dini sampai pendidikan tinggi kita bersifat traumatis dan diwarnai kekerasan,
baik fisik maupun simbolik. Dalam kurikulum kita tidak ada yang memastikan
bahwa proses belajar-mengajar harus membahagiakan siswa.
Kedua,
reformulasi pendidikan kedinasan, pendidikan aparatur sipil negara, dan pendidikan
pejabat publik. Saat ini masih terdapat kesenjangan dalam pendidikan pejabat
publik. Siapakah yang melakukan pendidikan politik dan kebangsaan, sebagai
landasan revolusi mental, bagi kader parpol?
Kiprah
parpol dalam melakukan pendidikan kadernya sejak diundangkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol nyaris tidak terdengar.
Bila
kader parpol menjadi kepala daerah atau anggota DPRD, memang ada fasilitas
pelatihan seperti yang diatur dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Namun, bagaimana dengan pendidikan institusional politik dan
kenegaraan bagi anggota DPR dan DPD? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar