Meluruskan
Kiblat Bangsa
Biyanto
; Dosen
UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis
Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
|
KORAN
SINDO, 31 Mei 2014
Muhammadiyah
baru saja melaksanakan Sidang Tanwir di Samarinda, Kalimantan Timur.
Permusyawaratan tertinggi setelah muktamar ini dilaksanakan pada 23-25 Mei
2014.
Agenda
tahunan ini penting karena dilaksanakan dalam suasana menjelang pemilihan
presiden (pilpres). Tidak ketinggalan, calon presiden (capres) Joko Widodo
dan Prabowo Subianto serta calon wakil presiden (cawapres) Jusuf Kalla,
berkenan hadir. Secara bergiliran, mereka menyampaikan visinya jika terpilih
menjadi presiden dan wakil presiden. Meski dihadiri capres dan cawapres,
Muhammadiyah berkomitmen untuk tidak terjebak pada sikap dukung mendukung.
Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan, bukanlah watak
Muhammadiyah untuk bermain dalam ranah politik praktis. Yang dimainkan
Muhammadiyah adalah politik adiluhung
(high politic) demi pilpres yang
bermartabat. Dengan demikian, Muhammadiyah berkomitmen untuk menjadi gerakan
pencerahan (al-harakah al-tanwiriyah).
Fungsi
dakwah yang mencerahkan itulah yang dilakukan Muhammadiyah dalam sejarah
perkembangannya. Jika menengok sejarah, konteks kelahiran Muhammadiyah jelas
terkait dengan kondisi umat yang terbelakang di segala bidang. Kehidupan berbangsa
saat itujugamasih di bawah pengaruh kolonialisme. Di antara kisah populer
yang menunjukkan kiprah pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, adalah tatkala
beliau meluruskan arah kiblat Masjid Besar Kauman.
Ikhtiar
Dahlan itu kemudian memicu konflik dengan pejabat pemerintah, Kanjeng
Penghulu Kamaludiningrat. Akibatnya, musala tempat pengajian Dahlan dan
murid-muridnya dirobohkan. Peristiwa perobohan musala itu sama sekali tidak
menyurutkan dakwah Dahlan. Dakwah beliau semakin meluas, tidak hanya berhenti
pada usaha meluruskan arah kiblat untuk salat.
Dahlan
juga memelopori penggunaan bahasa Jawa dan Melayu untuk berkhotbah,
pengelolaan haji, program mubalig keliling, salat Idul Fitri dan Idul Adha di
lapangan, penafsiran Alquran dengan bahasa lokal, dan pembentukan badan amil
zakat. Di bidang pendidikan, Dahlan juga mengupayakan terbentuknya sekolah
modern dengan sistem klasikal. Kurikulum pendidikannya pun diperbarui dengan
mengintegrasikan ilmu umum dan agama.
Dengan
sistem ini, Dahlan bermimpi untuk melahirkan ulama-ilmuwan atau
ilmuwan-ulama. Pembaruan Dahlan ini ditujukan untuk mengimbangi pendidikan
unggul yang dimiliki pemerintah kolonial Belanda dan umat kristiani. Di
bidang kesehatan, Dahlan juga meletakkan dasar-dasar pembangunan rumah sakit
melalui badan yang bernama Penolong
Kesejahteraan Oemum (PKO).
Tokoh
Budi Utomo, Dokter Soetomo, yang pernah menjabat penasihat Hoofdbestuur (pimpinan pusat)
Muhammadiyah bidang kesehatan, merupakan figur yang sangat berjasa dalam
pengembangan rumah sakit. Pada 1924, Dokter Soetomo ditunjuk untuk meresmikan
Poliklinik PKO Muhammadiyah yang berada di Jalan KH Mas Mansur, Surabaya.
Saat
berpidato, Dokter Soetomo menyampaikan alasan dirinya bergabung dengan
Muhammadiyah. Ia menyampaikan bahwa paham ”kewelasasihan”
yang diajarkan Dahlan melalui berbagai kegiatan PKO telah memikat hatinya.
Tatkala meresmikan PKO Surabaya, Soetomo mengajak undangan untuk menyumbang.
Ajakan Soetomo disambut hadirin dengan antusias.
Peristiwa
ini menarik karena sebagian besar undangan adalah ”noni-noni” Belanda. Dengan sukarela noni-noni Belanda
menyerahkan cincin, gelang, dan kalung yang dikenakannya untuk disumbangkan
pada Muhammadiyah. Jika melihat kiprahnya, tidak berlebihan kalau dikatakan
bahwa semua yang dilakukan Dahlan telah melampaui zamannya.
Akibatnya,
Dahlan harus menerima kenyataan dicemooh dan dituduh sebagai antek penjajah
dan agen Kristen. Dahlan juga dituduh telah melecehkan agama karena berani
melakukan praktik keagamaan yang masih asing. Semua tuduhan dan ancaman itu
tidak menciutkan nyali Dahlan untuk berdakwah. Dakwah Dahlan memberantas takhayul, bidah, dan churafat (TBC) semakin menggelora
hingga ajal menjemputnya pada 1923.
Kini
Muhammadiyah telah sukses melewati usia satu abad. Yang patut disyukuri,
Muhammadiyah sejak kelahirannya hingga kini masih konsisten berkiprah untuk
menyinari negeri. Muhammadiyah tetap berkhidmat untuk melakukan dakwah amar makruf nahi munkar, tanpa
sekalipun tergoda menjadi partai politik. Yang menarik dinanti adalah kiprah
Muhammadiyah dalam konteks kekinian. Terutama menjelang pilpres yang sangat
menentukan masa depan bangsa.
Karena
tantangan yang dihadapi saat ini berbeda, orientasi dakwah Muhammadiyah tidak
boleh hanya berhenti pada memberantas TBC. Dakwah Muhammadiyah harus mencakup
seluruh aspek, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika pada awal
kelahirannya, ideolog Muhammadiyah berhasil meluruskan arah kiblat salat,
pertanyaannya mampukah generasi Muhammadiyah masa kini meluruskan arah kiblat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu
penting karena situasi kehidupan berbangsa dan bernegara kini sedang
menghadapi banyak persoalan. Berbagai persoalan itu meliputi kemandirian
bangsa, perekonomian yang tak kunjung beranjak, korupsi yang semakin menjadi,
pendidikan yang belum mencerahkan, terorisme, dan dinamika politik yang
cenderung memanas jelang pilpres. Untuk itulah, medan dakwah Muhammadiyah
harus digeser dari memberantas TBC pada membantu tugas negara agar cepat
keluar dari persoalan yang dihadapi.
Dalam
bidang politik kebangsaan, dakwah Muhammadiyah harus mencerahkan rakyat
sehingga menjadi pemilih rasional dalam pilpres nanti. Seruan ini penting
karena di ujung pilihan rakyat itulah masa depan bangsa dipertaruhkan. Sejauh
ini Muhammadiyah telah menunjukkan keprihatinan mendalam dalam kehidupan
berbangsa.
Misalnya
Muhammadiyah telah memelopori gerakan antikebohongan. Itu dimaksudkan agar
elite negeri ini berintegritas dan memiliki kesamaan kata dengan perbuatan.
Muhammadiyah juga bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang terlalu
mudah memberikan izin perusahaan asing untuk mengeksploitasi kekayaan alam.
Hal itu
ditunjukkan tatkala Muhammadiyah memelopori pengajuan judicial review terhadap keberadaan Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Ikhtiar Muhammadiyah membuahkan
hasil dengan dibubarkannya BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal,
ikhtiar Muhammadiyah saat itu awalnya dicibir karena dianggap tidak berkompeten
untuk mengajukan judicial review BP
Migas.
Harus
dipahami, komitmen Muhammadiyah terhadap persoalan Migas merupakan bagian
dari ikhtiar untuk meluruskan arah kiblat dalam kehidupan berbangsa. Karena
itu menarik dinanti kiprah Muhammadiyah di bidang yang lain, termasuk politik
kebangsaan jelang pilpres 9 Juli mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar