Jumat, 13 Juni 2014

Media dalam Kontestasi Politik 2014

Media dalam Kontestasi Politik 2014

Ahmad Sahide  ;   Mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana UGM
KOMPAS,  12 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Berita tidaklah dibentuk dalam ruang hampa. Berita diproduksi dari ideologi dominan.    Matthew Kieran

Kampanye politik para calon presiden dan calon wakil presiden menjelang 9 Juli telah meramaikan jagat kehidupan masyarakat Indonesia dan dunia internasional akhir-akhir ini.

Dalam menyemarakkan pesta demokrasi ini, media—baik cetak maupun elektronik—tentulah punya peran sangat dominan. Tak bisa dimungkiri bahwa pemberitaan melalui media massa punya pengaruh sangat besar dalam memengaruhi persepsi publik. Tidak heran, beberapa media nasional pun terindikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan penyimpangan dalam pemberitaan menjelang pemilihan presiden 9 Juli nanti (Kompas, 4/6/2014).

Beberapa media mengeksploitasi kekurangan pasangan calon tertentu yang bertujuan untuk menjatuhkan. Kampanye negatif pun marak disuguhkan kepada publik hari ini. Benarlah kata Kieran di atas bahwa berita tidaklah dibentuk dari ruang yang hampa. Berita diproduksi dari ideologi yang dominan. Ideologi itulah yang memengaruhi framing (pembingkaian) dalam pemberitaan. Oleh karena itu, publik seharusnya memahami ideologi di balik sebuah media.

”Framing” dan ideologi

Dalam dunia jurnalistik tentulah tidak asing lagi istilah framing dalam pemberitaan, yakni berkaitan dengan bagaimana realitas dibingkai dan disajikan kepada khalayak. Sebuah berita bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh media. Proses membingkai dan menyajikan fakta itu sendiri sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dimiliki media tersebut.

Peta ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan dalam tempat-tempat tertentu. Ideologi juga memengaruhi bagaimana sesuatu itu dibahasakan sehingga menghasilkan makna atau pesan yang berbeda.

Di situlah letak kekuatan bahasa yang mampu menguasai publik yang mengonsumsinya. Kekuasaan itu sendiri tidak terlepas dari bahasa. Maka, media pun bertarung dalam bahasa yang dibingkai, yang sangat dipengaruhi oleh ideologi atau kepentingan dari media tersebut.

Penulis yakin sebagian besar rakyat Indonesia yang menonton kontestasi politik hari ini mengatakan Jokowi-JK baik dan Prabowo-Hatta kurang baik, atau sebaliknya, lebih karena pemberitaan lewat media. Bukan karena mengetahui secara dekat tokoh tersebut.

Proses pembingkaian dalam pemberitaan oleh beberapa media inilah yang mendapatkan perhatian dari KPI. Media televisi seperti TVOne, RCTI, MNC TV, dan Global TV memiliki porsi pemberitaan yang lebih banyak untuk kandidat nomor urut satu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sebaliknya, MetroTV dinilai lebih banyak memberikan porsi pemberitaan untuk Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Model pembingkaian pemberitaan yang berbeda tersebut tentulah dipengaruhi oleh kepentingan (ideologi) dari masing- masing media, di mana ideologinya lebih banyak ditentukan oleh kepemilikan media tersebut. TVOne, misalnya, lebih banyak memberikan porsi pemberitaan untuk pasangan Prabowo-Hatta karena Aburizal Bakrie selaku pemiliknya adalah koalisi politik Prabowo-Hatta dalam menghadapi pilpres mendatang. Begitupun RCTI, MNC TV, dan Global TV yang dinilai lebih berpihak pada pasangan nomor urut satu tersebut karena Hary Tanoesoedibjo, pemiliknya, berlabuh ke gerbong Prabowo-Hatta setelah gagal mendapatkan target politiknya bersama Wiranto dan partainya, Hanura.

Sementara MetroTV cenderung mengangkat pasangan Jokowi-JK karena pemiliknya, Surya Paloh—yang juga Ketua Umum Nasdem—bergabung dalam barisan Jokowi-JK. Itulah yang memengaruhi perbedaan dalam proses membingkai dan membahasakan apa pun terkait dengan pasangan tersebut.

Seperti itulah peran media dalam kontestasi politik untuk memilih pemimpin 9 Juli nanti. Tentu banyak media lokal lainnya yang terperangkap oleh ideologi dari pemiliknya dalam membingkai berita terkait dengan kedua pasangan tersebut, mengangkat atau menjatuhkan.

Pengaruh media

Sudah cukup lama Alvin Toffler menuliskan fenomena ini bahwa yang akan kita peroleh bukannya demokrasi, melainkan teknokrasi, di mana kekuasaan politik dimonopoli oleh kelas ketiga (pemilik media). Lebih dari 10 tahun silam, Silvio Berlusconi berhasil merebut kursi kekuasaan di Italia karena menguasai media. Kita pun akrab dengan jargon bahwa siapa yang menguasai media maka dialah yang menguasai dunia. Contoh lain adalah tergulingnya Muhammad Mursi dari kursi kepresidenan Mesir, awal Juli 2013, tidak lepas dari ketidakberpihakan media kepada dirinya.

Seperti itulah pengaruh media dalam kancah politik saat ini, baik nasional maupun internasional. Media menjadi sangat menentukan untuk membunuh atau mengangkat sang tokoh. Menyadari pentingnya peran media itulah yang membuat para capres berlomba menggaet kelas ketiga di atas, pemilik media. Untungnya, para pemilik media tidak hanya berlabuh dalam satu gerbong koalisi sehingga terjadi kontestasi dalam memengaruhi publik lewat media.

Peran media memang sangat besar dalam memunculkan figur tertentu sebagai pemimpin, tetapi media bukanlah segalanya. Rakyat Indonesia baru saja mendapatkan pelajaran dari hal tersebut, yakni menjelang pemilihan anggota legislatif 9 April lalu.

Saat itu Partai Hanura lebih awal mendeklarasikan pasangan capres-cawapresnya, yaitu Wiranto-Hary Tanoesoedibjo (HT). Setelah itu, kedua tokoh ini hampir setiap saat dapat disaksikan oleh masyarakat Indonesia lewat jaringan televisi milik HT, MNC TV Group. Faktanya, dalam pileg lalu, Hanura adalah peraih suara paling sedikit dari parpol yang lolos electoral threshold.

Artinya, walaupun punya pengaruh yang sangat besar, media bukanlah segalanya. Apakah kekuasaan politik Indonesia ke depan akan ditentukan oleh kelas penguasa media? Rakyatlah yang menentukan dan berbicara. Yang pasti, kita berharap rakyat harus lebih pandai mengonsumsi pemberitaan lewat media yang tidak lahir dari ruang yang hampa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar