Selasa, 24 Juni 2014

Mahfud, Soekarno, dan Dake

Mahfud, Soekarno, dan Dake

Asvi Warman Adam  ;   Sejarawan LIPI
JAWA POS, 23 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DI Bengkulu mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. menuding mantan Presiden Soekarno juga ikut bertanggung jawab dan terlibat dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) saat memerintah (Kompas.com, 20 Juni 2014). Dia dalam pidatonya antara lain mengatakan, ”Jenderal-jenderal banyak yang dibantai, itu yang bertanggung jawab adalah Bung Karno sebagai presiden.”

Jenderal-jenderal yang dibantai itu tentu dimaksudkan Mahfud sebagai enam orang jenderal yang tewas pada 1 Oktober 1966. Walaupun saat itu Soekarno masih menjadi presiden, apakah dia bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut?

Pendapat Mahfud itu sebetulnya mengulang tuduhan Antonie C.A. Dake dalam buku Sukarno File. Dake dan penerbitnya diadukan Yayasan Bung Karno karena penghinaan yang terdapat dalam buku tersebut. Tidak sekadar menyatakan bahwa Bung Karno ”biang yang sebenarnya” dari apa yang terjadi pada paro akhir 1965, Dake juga menuding bahwa sang proklamator ”secara langsung harus memikul tanggung jawab atas pembunuhan enam jenderal dan secara tidak langsung untuk pembantaian antara komunis dan bukan komunis yang berlangsung kemudian”.

Tuduhan Dake itu didasarkan pada hasil pemeriksaan ajudan Presiden Soekarno, Bambang Widjanarko, oleh Teperpu (Team Pemeriksa Pusat) Kopkamtib yang mengungkapkan bahwa pada 4 Agustus 1965 Bung Karno memanggil Brigjen Sabur dan Letkol Untung ke kamar tidurnya serta menanyakan apakah mereka bersedia ”menerima perintah yang mencakup tindakan terhadap para jenderal yang tidak loyal. Untung menyatakan kesediaannya”. Keterangan Bambang Widjanarko itu dijadikan alasan Dake untuk menyimpulkan bahwa Soekarno bertanggung jawab secara langsung atas pembunuhan enam jenderal. Pengakuan Widjanarko itu diterbitkan –dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris– dengan kata pengantar dari Antonie Dake pada 1974 di Belanda dengan judul The Devious Dalang. Yang menarik, Dake mengaku menerima laporan pemeriksaan itu di hotelnya di Jakarta melalui pos tanpa alamat pengirim.

Pada 1990 pemerintah Indonesia melarang peredaran buku The Devious Dalang itu dengan SK Jaksa Agung No: Kep-059/J.A/8/1990 dan Instruksi Jaksa Agung No: Ins-014/J.A.8/1990 kedua tanggal 14 Agustus 1990. Pada 2005 penerbit Aksara Karunia menerbitkan Sukarno File yang terdiri atas 549 halaman, bagian lampiran (sekitar 300 halaman) lebih banyak daripada isi buku. Pada bagian apendiks itu dicantumkan secara lengkap teks Indonesia kesaksian Bambang Widjanarko yang sebelumnya dimuat pada The Devious Dalang. Dengan demikian, sebetulnya penerbit Aksara Karunia telah menerbitkan (ulang) buku yang pernah dilarang di Indonesia. Dokumen Widjanarko itu sangat lemah dari sudut metodologi sejarah. Sebab, beberapa tahun setelah itu, ketika mendiskusikan buku Sewindu Dekat Bersama Bung Karno, Widjanarko mengakui bahwa pengakuan tersebut diberikan secara paksa. Pada 27 Maret 2006 saya menyurati keluarga Widjanarko yang mengirimkan kliping harian Merdeka edisi 5 dan 7 Oktober 1974. Koran tersebut pada 5 Oktober 1974 memberitakan dibukukannya kesaksian Widjanarko. Namun, pada 7 Oktober 1974 Widjanarko menyatakan tidak tahu-menahu, tidak kenal dengan Antonie Dake. Selain melanggar etika, penerbit tersebut telah membocorkan atau menyebarluaskan rahasia negara Indonesia kepada pihak internasional.

Maulwi Saelan yang menjadi wakil komandan Tjakrabirawa mengatakan, tidak ada pertemuan antara Soekarno dan Letnan Kolonel Untung pada 4 Agustus 1965. Justru pada tanggal tersebut Bung Karno mengalami stroke ringan.

Yang sangat mengherankan, Bambang Widjanarko meninggal pada 1996, sedangkan buku The Devious Dalang terbit pada 1974. Dake sendiri dalam beberapa kesempatan berkunjung ke Indonesia. Dalam rentang waktu 22 tahun itu (1974 sampai 1996) kenapa Dake tidak mewawancarai Bambang Widjanarko? Selain sangat lemah dalam hal sumber, secara logika kesimpulan Dake kurang kuat. Kalau ingin memecat Jenderal Jani atau jenderal lain, Soekarno bisa melakukannya setiap saat. Mengapa harus dengan cara berliku-liku? Mengapa Soekarno yang sedang berkuasa membuat persekongkolan agar terjadi kedeta yang bisa menggulingkan dirinya sendiri? Dengan kata lain, Soekarno mengudeta dirinya sendiri.

Adanya berbagai versi dalam penjelasan suatu kejadian sejarah seperti kasus G 30 S termasuk dalam demokratisasi sejarah. Kalau ada orang yang menyatakan Soekarno terlibat G 30 S, tentu tidak bisa dilarang, seperti halnya mengungkap Soeharto melakukan kudeta merangkak pada 1965–1967. Tetapi, menuding sang proklamator dan bapak bangsa tersebut terlibat langsung dalam pembunuhan enam jenderal itu sudah fitnah.

� . e@� � lokalisasi prostitusi tidak menyelesaikan masalah, tetapi memindahkan masalah. Tentu semua tidak berharap akan terjadi penyakit seksual menular yang meluas ke seluruh kota dan daerah sekitarnya. Juga semua berharap jangan sampai prostitusi yang tidak terlokalisasi justru membuat seluruh kota menjadi tempat prostitusi. Peran pemerintah kota (daerah) sangat penting untuk mengontrol masyarakat agar tidak tumbuh prostitusi terselubung.


Prostitusi dapat dikatakan tergolong pekerjaan hitam (black work atau black activity) di bidang jasa hiburan. Pekerjaan hitam selain itu, ada pengedar narkoba, sindikat pencurian, pengemis terorganisasi, dan lain-lain. Semua penduduk kota pasti menginginkan situasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya yang sejahtera, sehat, nyaman, indah, dan menyenangkan. Pemimpin kota (daerah) beserta jajarannya mempunyai tanggung jawab untuk menumbuhkan tempat kerja yang halallan toyiban, terciptanya sosial budaya yang mengangkat nilai-nilai manusiawi, terciptanya ekosistem lingkungan yang sehat. Memang berat tugas pemimpin. Pemimpin adalah amanah yang diharapkan dapat menciptakan harmoni keseimbangan di berbagai kehidupan. Semoga.

nt-fami� RAi@� � -serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";mso-bidi-font-weight:bold'> ungkap Oka yang bernama lengkap Ida Ayu Oka Rusmini.


Meski gugatan atas ketidaksetaraan jender kental terasa dalam bukunya, Oka mengaku tidak membuatnya secara sengaja. Ia lebih ingin merekam budaya dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Bali. Oka ingin buku yang bagus tentang Bali tidak hanya ditulis oleh orang asing, tetapi juga oleh pribumi. Buku Oka di kemudian hari menjadi pembicaraan di kalangan indonesianis.

Tommy menilai apa yang dilakukan Oka sangat berani. Ia sampai menanyakan, apakah Oka pernah berdiskusi dengan kalangan laki-laki di Bali tentang buku-bukunya. Oka menjawabnya, ia sering dikira tidak tinggal di Bali, melainkan di Jakarta sehingga ia ”aman”. Diakui Oka, ada kekhawatiran dirinya, gugatannya ini akan dihadapkan dengan persinggungan dengan agama sehingga menyulitkan dialog.

Bagi Tommy, membaca Tarian Bumi seperti membuka kotak pandora karena ada banyak hal mengejutkan, termasuk luka dan kemuraman yang muncul. Tarian Bumi dinilainya menceritakan kesuraman budaya yang sangat bertolak belakang dengan citra manis Bali di dunia pariwisata. ”Itu mengapa pendekatan budaya ditakuti karena bisa memunculkan banyak borok,” kata Tommy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar