Selasa, 24 Juni 2014

KTP

KTP

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 22 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Nyonya Murtina mendadak pingsan di sebuah halte Trans Jakarta. Orang-orang panik karena wanita ini datang sendirian. Petugas lantas membawanya ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan. Syukur, kartu tanda penduduk (KTP) Murtina diketemukan. Segera KTP itu dibawa ke bagian pendaftaran. Dengan memasukkan ke card reader, semua catatan pribadi Murtina terungkap, termasuk riwayat kesehatannya. Setelah diberikan pertolongan, pihak rumah sakit memasukkan riwayat kesehatan yang baru di KTP Murtina, tentang jenis penanganan dan obat yang diberikan.

KTP itu canggih. Cip elektronik yang ada di sana bisa menyimpan berbagai data, bahkan bisa ditambahkan data baru. Itulah KTP Online yang diperkenalkan pertama kali di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, pada 2011. Dari KTP Online ini lantas dikembangkan KTP elektronik (e-KTP) yang dijadikan program nasional. Jika saja e-KTP berjalan sesuai dengan rencana, dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional, orang tak bisa punya KTP ganda. Data yang tercantum di kartu juga bisa dipangkas. Cukup dengan kolom nama, tanggal lahir, dan alamat.

Ini bisa menjawab polemik tentang perlu-tidaknya ada kolom agama di KTP, sebuah perdebatan yang muncul lagi belakangan ini. Adalah Siti Musdah Mulia, guru besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang melontarkan perlunya kolom agama dihapus dalam KTP. Alasannya, agama kerap dipolitisasi dalam berbagai kepentingan jangka pendek. Semisal, kata Siti, pegawai yang berbeda agama dengan pimpinannya akan dipersulit saat naik jabatan. Banyak kasus yang dialami masyarakat minoritas yang tak bisa mencantumkan agama yang diyakininya karena dipersulit oleh petugas kelurahan dan kecamatan. Apalagi kalau ada razia yang menyasar masalah SARA.

Di KTP (versi lama) memang sudah ada NIK, lalu kolom nama, tanggal lahir, alamat, agama, status kawin, pekerjaan, dan kewarganegaraan. Untuk apa kolom status kawin? Ada kisah tentang seorang wanita yang ketika memperbarui KTP sedang berstatus janda. Maka petugas mencantumkan janda di kolom status kawin. Setahun kemudian dia menikah. Tapi, dengan alasan KTP berlaku lima tahun, dia tak bisa mengubah status itu. Celakanya, saat dia dan suaminya bermalam di hotel kecil di Pasuruan, ada razia. Suami-istri itu pun terkena razia, Satpol tak percaya bahwa pasangan itu suami-istri.

Kolom pekerjaan juga tak berguna. Petugas kecamatan yang mengeluarkan "KTP primitif" itu terbatas pengetahuannya tentang pekerjaan, yakni pegawai negeri, swasta, petani, ibu rumah tangga, dan pekerjaan lain. Kalau wartawan mencari KTP di kolom pekerjaannya, tertera swasta atau pekerjaan lain. Adapun kolom kewarganegaraan, untuk apa pula? Bukankah di balik kolom identitas itu sudah tertulis besar: Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia.

Saatnya program e-KTP yang lebih canggih dari KTP Online versi Purwakarta segera diteruskan dengan meminimalkan kolom-kolom "KTP primitif". KTP modern sudah memiliki cip yang bisa dibaca di card reader dan di situ terpampang identitas yang sangat lengkap. Pada April tahun lalu, PT Jamsostek dan PT Askes juga sudah menandatangani perjanjian kerja sama pemanfaatan e-KTP dan database kependudukan yang berbasis NIK dengan Kementerian Dalam Negeri. Kalau e-KTP yang dipermodern ini bisa terwujud, Pemilu 2019 sudah bisa dilakukan secara e-voting. Betapa murahnya pemilu.

Sayang, program e-KTP terhambat gara-gara korupsi. Mudah-mudahan pemerintahan yang akan datang serius menggarap KTP modern ini, siapa pun presiden yang terpilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar