Selasa, 24 Juni 2014

KPK Wajib Membayar Kerugian Rp 100 Juta

KPK Wajib Membayar Kerugian Rp 100 Juta

Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar Emeritus
Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung
KORAN SINDO, 22 Juni 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
MAJELIS hakim agung Tata Usaha Negara RI memutuskan KPK terbukti menyalahgunakan wewenang dalam menyita harta kekayaan mantan hakim terpidana Syarifudin.

Ketika membaca berita itu seketika saya terhenyak karena serasa mustahil KPK yang terdiri atas manusia terpilih dan berintegritas serta profesional, tiba-tiba terbukti telah bertindak melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan. Bak pepatah tiada gading yang tak retak dan pengakuan bahwa manusia selalu tidak luput dari kekeliruan atau kesalahan, itu merupakan penghibur kekecewaan kita terhadap kinerja pimpinan KPK terkait putusan majelis hakim agung dalam perkara TUN ini.

Namun, bagi KPK sebagai lembaga ”superbody” dan memiliki kewenangan luar biasa–antara lain dapat bertindak sendiri tanpa izin (pengawasan) pengadilan– putusan kasasi dalam perkara TUN tidak dapat diremehkan dan dianggap sepele. Apalagi, menilai putusan tersebut ditengarai keliru atau dikriminalisasi ”miscarriage of justice”; justru sebaliknya harus dijadikan bahan introspeksi bagi kelima pimpinan KPK dan bahan evaluasi atas kinerja bawahan mereka: deputi dan direktur.

Jika perlu dibentuk majelis kode etik dan perilaku oleh kelima pimpinan KPK, sekalipun setiap langkah dan pengambilan keputusan dalam lingkup tugas dan wewenang KPK selalu harus memperoleh persetujuan kelima pimpinan KPK.

Tidak ada keengganan bagi kelima pimpinan KPK sesuai dengan UU KPK yang mewajibkan untuk secara terbuka (transparan) mempertanggungjawabkan kepada publik, dan mengakui telah terjadi kekeliruan dalam menetapkan kebijakan, termasuk tindakan perampasan harta kekayaan terdakwa mantan hakim Syarifudin. Apalagi putusan kasasi dalam perkara ini tidak menghalangi eksekusi sekalipun pimpinan KPK memutuskan untuk mengajukan PK.

Konsekuensi hukum putusan kasasi dalam perkara TUN ini memaksa KPK melaksanakan eksekusi. Pertanyaannya, siapa yang harus melaksanakan eksekusi, jaksa pada KPK? Persoalan kedua, jika putusan kasasi harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang tanpa peduli akan pengajuan upaya hukum PK; uang dari mana yang harus dikeluarkan KPK karena tidak ada pos khusus anggaran belanja KPK untuk membayar denda atau ganti rugi.

Apakah kelima pimpinan KPK harus tanggung renteng berdasarkan asas kolektif kolegial dengan mengeluarkan dari kocek masing-masing sebesar Rp20 juta? Kekecewaan saya dalam konteks putusan MA tersebut karena peristiwa ini pertama kalinya terjadi dalam sejarah perjalanan KPK sejak didirikan pada 2003.

Hal kedua yang menarik untuk disampaikan kepada publik ialah siapa eksekutor putusan MA tersebut karena KPK tidak memiliki jaksa/penuntut bidang tata usaha negara, kecuali kejaksaan agung, akan tetapi apakah dimungkinkan jaksa TUN melakukan eksekusi untuk kepentingan perorangan (terpidana)? Jaksa KPK hanya berwenang antara lain melaksanakan eksekusi atas putusan dalam perkara pidana.

Namun, hukum adalah hukum dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (putusan kasasi tidak menunda eksekusi) serta siapa pun atau setiap lembaga negara, termasuk KPK, wajib tunduk dan mematuhi putusan pengadilan.

Ke depan, kelima pimpinan KPK harus sangat berhati-hati menggeledah dan menyita harta kekayaan seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang karena integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas lembaga ini menjadi taruhannya di hadapan 250 juta rakyat Indonesia; dan itulah yang selalu saya ingatkan kepada KPK melalui berbagai tulisan saya.

Prinsip perlakuan hukum yang sama di muka hukum (equality before the law), termasuk bagi setiap lembaga penegak hukum, termasuk KPK, tetap harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam konteks ini saya dapat katakan bahwa prinsip ”zero tolerance against abuse of power” sama pentingnya dengan prinsip ”zero tolerance against corruption”.

Karena harkat dan martabat kelima pimpinan KPK sama penting kedudukannya dengan pengakuan atas harkat dan martabat seseorang sekalipun terpidana sebagai manusia sesama makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam pengetahuan saya, gugatan terhadap KPK juga pernah terjadi dalam putusan pengadilan yang telah merampas harta kekayaan mereka yang diduga turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan didakwa bersama pelaku (dader) tetapi terhadap mereka yang turut serta tidak pernah dijadikan tersangka (tanpa sprindik– surat perintah penyidikan), apalagi dilimpahkan kepada pengadilan sebagai terdakwa.

Peristiwa ini kemudian dipandang sebagai perampasan tanpa dasar hukum yang berlaku sekalipun perintah majelis pengadilan atau telah terjadi perampasan atas hak atas harta kekayaan secara sewenang-wenang atau miscarriage of justice yang dilakukan pengadilan yang merujuk kepada tindakan penyitaan yang telah dilakukan KPK.

Menurut hemat saya, pimpinan KPK wajib mengambil langkah-langkah eksaminasi bersama meneliti kembali semua prosedur dan langkah hukum yang telah dilaksanakan dalam beberapa perkara korupsi lampau. Lalu pimpinan KPK segera menerbitkan SOP baru untuk mencegah peristiwa ini terjadi kembali.

Langkah ini penting karena KPK telah menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia dalam pemberantasan korupsi, bukan pada outputsemata-mata, melainkan juga harus dibenarkan dari sisi prosedur. Dunia hukum dan dalam praktik diharamkan bekerja atas dasar tujuan menghalalkan cara, kecuali bagi dunia ilmu ekonomi.

Karena disiplin hukum selalu bekerja di atas landasan ”value oriented” bukan ”mechanistic oriented”. Karena objek perbuatan yang dilarang dalam hukum ditujukan terhadap manusia sesama subjek hukum dalam kehidupan masyarakat, bukan manusia sebagai objek (perlakuan) hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar