Kita
Semua Kapitalis
Bisma
Yadhi Putra ; Fasilitator Sekolah Demokrasi Aceh Utara
|
OKEZONENEWS,
02 Juni 2014
Di
sebuah pesta pernikahan:
M: Hai, udah gendut, ya, sekarang.
B: Iya. Udah ganti ideologi makanya gendut.
R: Sekarang dia jadi penentang demokrasi, makanya
gendut.
M dan B: Ha-ha-ha.
Apa yang
terjadi di atas? Sederhana: humor agar teman terhibur. B biasa melakukannya.
Jadi wajar R menanggapinya dengan seloroh pula. Di situ, M dan R tidak
mempermasalahkan perut B yang belakangan terlihat agak buncit. Tidak pula
memandang sikap antidemokrasi sebagai kekeliruan dan berkorelasi positif
dengan ukuran perut seseorang.
Namun
sebagai bekas manusia kurus kering, B hanya merasa seperti terus-terusan
dibuat salah dengan keadaannya. Kurus diejek, gemuk juga. Apalagi kalau pada
punya gadget baru, malah kemudian disebut “kapitalis”. Dapat dimaklumi
pelabelan itu hanya ejekan. Tidak serius. Kemampuan membeli produk teknologi
terbaru dan ukuran besar tubuh tidak bisa dijadikan indikator untuk
mengidentifikasi keberpihakan ideologis seseorang. Namun di dalam pemakaian
istilah tersebut ada kerancuan yang perlu diulas, baik saat dipakai dalam
konteks mengejek maupun sindiran serius.
Kerancuan itu
Mengapa
orang yang menikmati hasil kerja dari pabrik-pabrik kapitalis dilabel
“kapitalis”? Bagaimana caranya orang yang tidak berkapital melainkan hanya
mengonsumsi kreasi dari penggunaan kapital lantas dicap sebagai pemilik
kapital? Aneh. Logika sederhananya: tidak bermodal untuk keperluan
(re)produksi tetapi disebut kapitalis. Ini jelas membingungkan.
Predikat
“kapitalis” kini tak hanya mengacu pada pemilik modal semata, sebagaimana
pengertian sebenarnya. Orang yang tak bermodal (berkapital), sejauh ia
menikmati produk-produk dari perusahaan para kapitalis, disebut kapitalis
pula. Terjadi “perluasan” definisi. Inilah masalah yang kerap muncul dalam
masyarakat yang tidak menjadikan pencarian atas keabsahan dari satu atau
beberapa informasi (pengetahuan) sebagai budayanya. Bahkan di banyak kalangan
lulusan perguruan tinggi, ini belum menjadi kebiasaan. Tidak ada jaminan
ketika berhasil masuk dan lulus dari perguruan tinggi seseorang akan selesai
dari masalah pelurusan konseptual.
Jika
definisi “kapitalis” yang diperlebar tadi diterima, maka kita semua adalah
kapitalis! Ah, yang benar saja. Masa orang yang memiliki Samsung S5 tetapi
kesulitan mendapat makan malam; orang yang memiliki keluaran terbaru Apple
tetapi pagi-siang-malam didatangi debt
collector; atau orang yang belanja di Carrefour tetapi rekening listrik
sering menunggak lantas kita sebut kapitalis? Di zaman ini, orang-orang
merasa tak perlu menunggu tercukupi dulu kebutuhan primer dan sekundernya
sebelum memenuhi aneka keperluan tersier. Maka jangan heran mereka yang
menikmati beberapa barang mewah dari pengolahan kapital ternyata masih sulit
memenuhi kebutuhan dasar untuk sekadar bertahan hidup.
Mereka
bisa disebut korban kapitalisme kalau lebih banyak menghabiskan hidupnya
untuk memenuhi hasrat belanja. Sementara kapitalis bahagia karena menangguk
keuntungan dari si korban yang merasa bahagia pula. Kapitalisme menghasilkan
korban-korban, dan mereka semua bahagia menjadi korban. Karena masyarakat
gila belanja, maka kapital semakin membengkak sehingga para kapitalis bisa
terus hidup sebagaimana mereka biasa hidup: bermewah-mewah, menikmati surplus
sumber daya, berfoya-foya, atau menghasut dan membiayai perang.
Apakah
ini kecenderungan untuk memperlebar makna “kapitalis” dari “pemilik kapital”
menjadi “pemilik produk dari penggunaan kapital” atau hanya kegoblokan alias
kerancuan umum dalam memahami sebuah istilah?
Ah,
tampaknya yang terakhir itu. Sama halnya dalam kasus kekeliruan dalam
memahami komunisme di beberapa kalangan. Namun kalau yang pertama disepakati,
itu berarti, seperti disebut di atas, kita semua adalah kapitalis. Termasuk
orang-orang miskin di desa yang punya senter atau radio (hasil penggunaan
kapital).
Dalam
sebuah diskusi, seorang lulusan perguruan tinggi berkomentar, “Kalau seks bebas merajalela, nanti
Indonesia menjadi negara komunis”. Entah literatur apa yang dibaca
sehingga komunisme dianggap mengharuskan seks bebas. Ini lucu. Terkadang
seseorang mengucapkan sesuatu yang tidak dipahaminya sama sekali. Asal
bicara.
Maka
penting metode pendidikan kritis yang dapat membuat setiap orang memahami
segala sesuatu secara objektif. Disebabkan maraknya manipulasi pemikiran dan
probabilitas kesalahan pengajar, maka setiap orang yang belajar harus sering
curiga. Ini kemudian akan membangun kewaspadaan sebelum menyimpulkan sesuatu.
Kita harus membiasakan diri mengecek ulang temuan-temuan untuk memperoleh kesahihan,
sehingga kemudian tidak rancu menggunakan istilah atau konsep.
Di sini
metodenya bukan mengumpulkan dan menjelaskan satu per satu ide-ide yang
dipahami secara keliru. Dalam cara belajar seperti itu, keharusannya bukan
semata menyebut dan menjelaskan mana yang bisa dimakan dan tidak, melainkan
cara mengenali mana yang bisa dan tidak dimakan. Disertai ulasan mengenai
akibat-akibat yang muncul dari derasnya akumulasi informasi atau pengetahuan
yang tidak diimbangi dengan kecepatan serta ketekunan mencari kebenaran. Kita
sudah tahu pentingnya cara belajar begitu. Dan tak perlu takut terhadap apa
yang kita mengerti.
Pelurusannya
Maka
ejekan yang tepat untuk B adalah tidak terlalu taatnya ia pada asas
ideologinya, yang ditunjukkan oleh dua kegiatan kontradiktif: menjadi
pendakwah antikapitalisme tetapi membeli dan menggunakan produk yang
dihasilkan perusahaan kapitalis. Ada kelonggaran dalam berideologi.
Namun
perlu dipahami, sejauh motif pembelian bukan didasari pada hasrat memperbarui
diri dengan keluaran terbaru pasar, berarti B tidak bisa begitu saja disebut
korban kapitalisme. Seorang kapitalis tentu tak bisa memiliki kebahagiaan
berkelanjutan kalau konsumennya hanya menjadi pembeli satu versi produk saja
dan tidak mewajibkan diri terus “memakan” keluaran terbaru. Tak menjadi
individu dengan nafsu belanja tanpa henti.
Sementara
kapitalisme selalu berupaya menciptakan individu-individu seperti itu untuk
membentuk “masyarakat pemakan” (masyarakat konsumtif). Dalam masyarakat
tersebut, berlaku semangat kesementaraan: barang yang mampu dibeli hari ini
oleh orang-orang dianggap sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja dan
wajib diganti ketika keluar versi terbaru.
Kalau hari ini Ibu Riska membeli tas dari kulit buaya tipe A, dia akan
meninggalkan tas itu meski masih sangat layak dipakai dan menggantinya dengan
keluaran terbaru, yakni tipe B yang telah diinovasi dengan campuran kulit
landak. Kalau watak seperti ini tak dimiliki, maka B belum memenuhi syarat
sebagai korban kapitalisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar