Ketahanan
Berbasis Impor
Posman
Sibuea ; Guru
Besar Tetap di Unika Santo Thomas Sumatera Utara;
Pendiri
dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
|
KORAN
SINDO, 17 Juni 2014
Di
tengah produksi gabah kering giling (GKG) yang terancam menurun tahun 2014,
pemerintah kembali merencanakan mengimpor beras. Penurunan produksi terjadi
karena gangguan hama wereng batang cokelat yang meluas di 22 provinsi. Serangan
wereng mengakibatkan turunnya produktivitas tanaman padi dari 6,5 ton menjadi
4,5 ton GKG per hektar Penurunan produksi akan mendongkrak kenaikan harga
beras menjelang pilpres. Apalagi selama ini pemerintah lebih mengedepankan
opsi impor beras dibandingkan berusaha keras meningkatkan stok beras di dalam
negeri dengan memberdayakan petani lokal.
Alasan
klasik seperti serangan wereng, musim kemarau dan banjir menjadi justifikasi
untuk membuka keran impor. Seakan serangan wereng tidak bisa diatasi dan
banjir tak bisa ditangani. Masalah ini terus dikloning dan cara cerdik pun
tidak ditemukan untuk solusi. Pasar pangan di Indonesia kian dibanjiri pangan
impor. Pemerintah nyaris tidak punya kekuatan untuk menghempangnya. Indonesia
menjadi negara yang membangun ketahanan pangan berbasis impor.
Kita
menghuni negeri yang makmur, namun tidak mampu memproduksi pangan untuk
rakyatnya. Krisis pangan datang silih berganti. Mulai krisis beras, krisis
kedelai, daging sapi, gula, jagung, bawah putih hingga bawang merah. Sebagai
negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya pertanian dan pangan yang
melimpah, Indonesia seharusnya bisa menjadi lumbung pangan dunia.
Namun
ironisnya, berdasarkan data terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS),
pertumbuhan sektor pertanian tanaman pangan pada kuartal I/2014 hanya sebesar
0,94% atau melambat dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yang
sebesar 2,18%. Implikasinya, impor pangan makin tidak terbendung. Hampir 75 %
dari kebutuhan pangan di dalam negeri dipenuhi dari impor.
Ruang
impor pangan akan semakin terbuka lebar guna mengawal stabilitas politik
Pemilu Presiden 2014. Agar gejolak harga pangan—memicu inflasi
tinggi—terkendali, maka pangan harus tersedia. Sayangnya pangan yang tersedia
kerap harganya tidak terjangkau rakyat miskin. Kian mahalnya harga pangan
diduga akibat ulah para pemain kartel pangan yang dikuasai segelintir pemodal
besar.
Praktik
kartel pangan dengan power (kekuasaan) uang yang dimiliki semakin terkuak
setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus dugaan korupsi
impor daging sapi dan ketidakefisienan penyaluran raskin. Temuan ini
menunjukkan bahwa suap impor pangan adalah jenis corruption by design.
Fenomena ini menunjukkan pangan impor sudah dikendalikan oleh mafia pangan yang
melibatkan pejabat tertentu dan politisi untuk meraup keuntungan.
Sepanjang
2013, Indonesia mengimpor bahan pangan utama dengan menghabiskan devisa
sekitar Rp125 triliun. Suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan
untuk membangun infrastruktur sektor pertanian. Masih tingginya pertumbuhan
penduduk dan kian miskinnya petani ditengarai penyebab kian derasnya pangan
impor mengalir ke Indonesia.
Meski
usia kemerdekaan republik ini sudah memasuki 69 tahun, alih-alih pemerintah
dapat menyejahterakan petani justru petani gurem kian meningkat jumlahnya.
Petani kecil termarginalisasi digilas roda pembangunan hedonis yang
kapitalistik. Keterpurukan ini membawa konsekuensi logis, yakni Indonesia
semakin tak berdaulat atas pangan. Dalam satu dekade terakhir, petani di
negara yang dikenal sebagai bangsa agraris ini mengalami proses pemiskinan.
Hasil
sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan keluarga petani berkurang sebanyak
5,04 juta keluarga. Pada 2003, BPS mencatat jumlah keluarga petani 31,17 juta
keluarga, sepuluh tahun kemudian menurun menjadi 26,13 juta keluarga. Jumlah
keluarga petani yang berhenti menggantungkan hidup dari usaha pertanian
ratarata 500.000 rumah tangga pertahunataulajupenurunannya mencapai 1,75% per
tahun.
Namun,
jumlah perusahaan di bidang pertanian justru naik 36,77%. Dari 4.011
perusahaan per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013. Di negara
maju, susutnya jumlah keluarga petani dan meningkatnya jumlah perusahaan
pertanian merupakan pertanda kemajuan sektor pertanian.
Penurunan
jumlah keluarga petani gurem karena ada penyerapan tenaga kerja secara
signifikan di sektor industri dan jasa. Sayangnya, yang terjadi di Indonesia
adalah guremisasi akibat tingginya alih fungsi lahan pertanian pangan.
Jalan di Tempat
Setuju
atau tidak setuju, selama 10 tahun terakhir pembangunan pertanian jalan di
tempat atau bahkan ”mundur” ke belakang. Mayoritas warga Indonesia yang
bekerja sebagai ”petani”, hidupnya mengalami proses pemiskinan. Fenomena ini
harus dapat menyadarkan pemerintahan hasil Pemilu 2014 bahwa pekerjaan rumah
memperkuat ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat belum selesai.
Rapuhnya
(decay) kedaulatan pangan tak bisa
dilepaskan dari kurangnya perhatian pada pembangunan sektor pertanian.
Alokasi anggaran yang masih terbatas di kementerian pertanian hanya satu
indikator ketidakberdayaan bangsa ini untuk keluar dari perangkap pangan
impor. Untuk melepaskan Indonesia dari jebakan pangan impor maka perlu
didorong penggunaan produk pangan lokal dengan segala konsekuensinya dan
mengurangi ketergantungan dan ketagihan produk pangan berbasis beras dan
gandum.
Kita
perlu belajar dari negara kaya yang teknologinya maju, seperti Jepang dan
Korea Selatan. Mereka tetap bangga menggunakan produk lokalnya seperti
telepon seluler dan mobil buatan sendiri tanpa terpengaruh produk bangsa lain
yang lebih canggih. Harga diri bangsa menjadi harga mati dalam melepaskan
diri dari jebakan pangan.
Sebagai
bangsa agraris, Indonesia harus keluar dari jebakan dan perangkap pangan
negara maju dengan segera melakukan pengurangan praktik liberalisasi pangan.
Praktik ini telah menyebabkan munculnya beragam kartel pangan baru yang pola
kerjanya mirip mafia yang menguasai distribusi dan perdagangan pangan. Untuk
menghentikannya, pemerintah harus melakukan pembatasan penguasaan distribusi
pangan melalui korporasi.
Satu hal
yang tak kalah penting adalah kecenderungan selama ini yang memilih langkah
gampang dengan mengimpor tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang harus
diakhiri. Kebergantungan pada impor ini hendaknya menyadarkan pemerintah
untuk terus membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat seperti
perintah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar