Minggu, 01 Juni 2014

Kesucian Politik

Kesucian Politik

Peter C Aman  ;  Staf Pengajar STF Driyarkara
SINAR HARAPAN,  31 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pada hari-hari ini, nyaris tak ada ruang sosial yang tidak dijejali berita, propaganda, kampanye dua pasang calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).

Bila dicerna lebih dalam, semua wacana serta gambar yang ditampilkan menyiratkan satu hal, yaitu betapa pentingnya mengemas diri demi citra publik. Betapa perlunya juga mendesain gagasan (program) agar tampak rasional, accountable, dan berdaya pikat.

Di level praktis, tim kampanye diminta dengan sangat menjauhkan cara dan wacana yang tidak etis, entah itu kampanye hitam (black campaign) atau kampanye negatif (negative campaign). Mengedepankan etika kampanye yang santun dan beradab tentu saja benar dan dituntut dilakukan.

Bukan saatnya melantunkan fitnah dan menjelek-jelekkan lawan tanpa fakta serta bukti empiris. Setiap lontaran wacana tanpa fakta akan cepat tersingkap kepalsuan dan kebohongannya. Rakyat tak akan percaya!

Politik sebagai Kebajikan

Penegasan kembali urgensi dari suatu etika politik dalam berkampanye, sesungguhnya menggarisbawahi ada persepsi serta praksis politik selama ini yang keliru dan tidak tepat. Politik seolah-olah harus selalu berurusan dengan tipu-menipu, memfitnah, menjelek-jelekkan, tujuan menghalalkan cara, dan korup (machiavelis).

Mencuatnya kesadaran akan pentingnya politik yang etis dengan mengedepankan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan kesantunan merupakan sinyal �revitalisasi� makna serta substansi politik sebagai suatu kebajikan. Mengapa?

Kebajikan berhubungan dengan nilai (values). Dalam kehidupan bermasyarakat, nilai utama yang mesti dikejar diwujudkan adalah bonum commune (kesejahteraan umum). Dapat dikatakan, bonum commune adalah kebajikan pokok yang mesti diupayakan dicapai dalam kehidupan bersama.

Dalam suatu negara demokratis, bonum commune adalah concern serta pekerjaan partai politik serta orang-orangnya, yang mendapatkan mandat dari rakyat pemilih.

Pencapaian bonum commune merupakan pembuktian, bukan saja tentang efektivitas dari suatu manajemen pemerintahan atau kekuasaan, melainkan juga moralitas kekuasaan.

Ini menunjukkan kekuasaan ada untuk pelayanan serta perwujudan bonum commune. Di situ kekuasaan tidak saja mendapatkan legitimasi politik formal, tetapi terutama legitimasi moral.

Sebegitu substansialnya legitimasi moral dari kekuasaan terbaca dari pernyataan Santo Agustinus dari Hypo abad kelimat, bahwa para penguasa yang tidak mengupayakan kesejahteraan umum, tetapi hanya kepentingan pribadi dan kelompok, sesungguhnya tak lain dari kelompok maling.

Karena itu, wacana yang menguat sekarang ini tentang perlunya etika politik mesti lahir dari kesadaran bahwa politik adalah kebajikan moral. Jika tidak, wacana tentang perlunya etika politik tidak lain dari manipulasi etika demi pencapaian kekuasaan yang tidak akan bertransformasi secara kualititatif-etis, tetapi tetap saja korup, kasar, menindas, dan tak adil.

Kesucian Politik

Tak lazim politik diasosiasikan dengan kesucian, namun lebih sering dikawinkan dengan kelicikan dan manipulasi. Hal itu terutama disebabkan konsep kita tentang kesucian yang serbaritualis dan spiritual.

Kesucian dihubungkan dengan ibadah formal, kesetiaan mengikuti aturan dan hukum agama, mengenakan aksesori religius, dan lain-lain. Semuanya serbaformal, kelihatan dan sarat pencitraan.

Konsep serta persepsi yang serupa itu menyebabkan manusia menghayati agama secara ambigu atau dualistis serta terpecah. Politik adalah urusan profan, duniawi dan sarat kejahatan; sedangkan agama adalah ibadah, suci, ritualis serta spiritual.

Agama berurusan dengan surga dan politik adalah urusan duniawi. Dualisme seperti ini melahirkan cacat ganda. Pertama, agama serta nilai-nilainya tidak punya resonansi dan aktualisasi dalam perilaku politik. Kedua, perilaku politik malah menabrak nilai-nilai agama, kendati atribut-atribut serta wacana formal agama digembar-gemborkan.

Kejahatan korupsi yang menimpa tokoh utama lembaga agama serta politikus yang menggembar-gemborkan agama dalam berpolitik adalah buah keterpecahan diri sebagai makhluk politik (zon politikon) dan (homo religiosus). Mereka gagal menjadi politikus karena ternyata tidak mengurus bonum commune. Mereka juga gagal sebagai orang beragama karena tidak mewujudkan nilai-nilai agama dalam berpolitik.

Di titik ini, integritas dan kualitas pribadi politikus menjadi prasyarat mutlak. Integritas dan kualitas seorang politikus adalah fondasi bagi kesucian politis. Track record serta masa lalu seorang politikus jangan sampai luput dari pencermatan kritis. Penguasa tidak turun dari langit, ia bertumbuh dari jaringan serta keterlibatan sosial politik yang menempanya untuk menjadi layak atau tak layak menjadi pengurus bonum commune.

Kesucian politik adalah pengorbanan kepentingan diri, pengutamaan kepentingan rakyat, penjalananj kekuasaan sebagai pelayanan, mendengarkan, dekat, dan mencintai rakyat. Kesucian politik tidak hadir dan mendaulat diri dalam simbol-simbol yang gegap gempita dan mewah. Ia hadir dalam ketulusan, kejujuran, dan komitmen ala Yohanes Pembaptis, “Biarlah aku makin kecil dan rakyat (negara) makin besar.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar