Kesucian
Politik
Peter
C Aman ; Staf Pengajar
STF Driyarkara
|
SINAR
HARAPAN, 31 Mei 2014
Pada
hari-hari ini, nyaris tak ada ruang sosial yang tidak dijejali berita,
propaganda, kampanye dua pasang calon presiden dan calon wakil presiden
(capres-cawapres).
Bila
dicerna lebih dalam, semua wacana serta gambar yang ditampilkan menyiratkan
satu hal, yaitu betapa pentingnya mengemas diri demi citra publik. Betapa
perlunya juga mendesain gagasan (program) agar tampak rasional, accountable,
dan berdaya pikat.
Di level
praktis, tim kampanye diminta dengan sangat menjauhkan cara dan wacana yang
tidak etis, entah itu kampanye hitam (black
campaign) atau kampanye negatif (negative
campaign). Mengedepankan etika kampanye yang santun dan beradab tentu
saja benar dan dituntut dilakukan.
Bukan
saatnya melantunkan fitnah dan menjelek-jelekkan lawan tanpa fakta serta
bukti empiris. Setiap lontaran wacana tanpa fakta akan cepat tersingkap
kepalsuan dan kebohongannya. Rakyat tak akan percaya!
Politik sebagai Kebajikan
Penegasan
kembali urgensi dari suatu etika politik dalam berkampanye, sesungguhnya
menggarisbawahi ada persepsi serta praksis politik selama ini yang keliru dan
tidak tepat. Politik seolah-olah harus selalu berurusan dengan tipu-menipu,
memfitnah, menjelek-jelekkan, tujuan menghalalkan cara, dan korup
(machiavelis).
Mencuatnya
kesadaran akan pentingnya politik yang etis dengan mengedepankan nilai-nilai
kebenaran, kejujuran, dan kesantunan merupakan sinyal �revitalisasi�
makna serta substansi politik sebagai suatu kebajikan. Mengapa?
Kebajikan
berhubungan dengan nilai (values).
Dalam kehidupan bermasyarakat, nilai utama yang mesti dikejar diwujudkan
adalah bonum commune (kesejahteraan
umum). Dapat dikatakan, bonum commune adalah
kebajikan pokok yang mesti diupayakan dicapai dalam kehidupan bersama.
Dalam
suatu negara demokratis, bonum commune adalah concern serta pekerjaan partai
politik serta orang-orangnya, yang mendapatkan mandat dari rakyat pemilih.
Pencapaian
bonum commune merupakan pembuktian,
bukan saja tentang efektivitas dari suatu manajemen pemerintahan atau kekuasaan,
melainkan juga moralitas kekuasaan.
Ini
menunjukkan kekuasaan ada untuk pelayanan serta perwujudan bonum commune. Di
situ kekuasaan tidak saja mendapatkan legitimasi politik formal, tetapi
terutama legitimasi moral.
Sebegitu
substansialnya legitimasi moral dari kekuasaan terbaca dari pernyataan Santo
Agustinus dari Hypo abad kelimat, bahwa para penguasa yang tidak mengupayakan
kesejahteraan umum, tetapi hanya kepentingan pribadi dan kelompok,
sesungguhnya tak lain dari kelompok maling.
Karena
itu, wacana yang menguat sekarang ini tentang perlunya etika politik mesti
lahir dari kesadaran bahwa politik adalah kebajikan moral. Jika tidak, wacana
tentang perlunya etika politik tidak lain dari manipulasi etika demi pencapaian
kekuasaan yang tidak akan bertransformasi secara kualititatif-etis, tetapi
tetap saja korup, kasar, menindas, dan tak adil.
Kesucian Politik
Tak
lazim politik diasosiasikan dengan kesucian, namun lebih sering dikawinkan
dengan kelicikan dan manipulasi. Hal itu terutama disebabkan konsep kita
tentang kesucian yang serbaritualis dan spiritual.
Kesucian
dihubungkan dengan ibadah formal, kesetiaan mengikuti aturan dan hukum agama,
mengenakan aksesori religius, dan lain-lain. Semuanya serbaformal, kelihatan
dan sarat pencitraan.
Konsep
serta persepsi yang serupa itu menyebabkan manusia menghayati agama secara
ambigu atau dualistis serta terpecah. Politik adalah urusan profan, duniawi
dan sarat kejahatan; sedangkan agama adalah ibadah, suci, ritualis serta
spiritual.
Agama
berurusan dengan surga dan politik adalah urusan duniawi. Dualisme seperti
ini melahirkan cacat ganda. Pertama, agama serta nilai-nilainya tidak punya
resonansi dan aktualisasi dalam perilaku politik. Kedua, perilaku politik
malah menabrak nilai-nilai agama, kendati atribut-atribut serta wacana formal
agama digembar-gemborkan.
Kejahatan
korupsi yang menimpa tokoh utama lembaga agama serta politikus yang
menggembar-gemborkan agama dalam berpolitik adalah buah keterpecahan diri
sebagai makhluk politik (zon politikon)
dan (homo religiosus). Mereka gagal
menjadi politikus karena ternyata tidak mengurus bonum commune. Mereka juga gagal sebagai orang beragama karena
tidak mewujudkan nilai-nilai agama dalam berpolitik.
Di titik
ini, integritas dan kualitas pribadi politikus menjadi prasyarat mutlak.
Integritas dan kualitas seorang politikus adalah fondasi bagi kesucian
politis. Track record serta masa
lalu seorang politikus jangan sampai luput dari pencermatan kritis. Penguasa
tidak turun dari langit, ia bertumbuh dari jaringan serta keterlibatan sosial
politik yang menempanya untuk menjadi layak atau tak layak menjadi pengurus bonum commune.
Kesucian
politik adalah pengorbanan kepentingan diri, pengutamaan kepentingan rakyat,
penjalananj kekuasaan sebagai pelayanan, mendengarkan, dekat, dan mencintai
rakyat. Kesucian politik tidak hadir dan mendaulat diri dalam simbol-simbol
yang gegap gempita dan mewah. Ia hadir dalam ketulusan, kejujuran, dan komitmen
ala Yohanes Pembaptis, “Biarlah aku
makin kecil dan rakyat (negara) makin besar.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar