Kerukunan
Semu
Achmad
Fauzi ; Aktivis Multikulturalisme
|
TEMPO.CO,
21 Juni 2014
Mungkinkah
kerukunan sejati antarumat beragama pada masa mendatang sekonyong-konyong
bisa tercipta melalui peranti regulasi formal? Saya katakan, tidak! Sebab,
muatan regulasi, entah berbentuk undang-undang maupun perda, berpotensi
menciptakan sekat yang menghambat ruang interaksi kultural umat beragama.
Alih-alih melahirkan suasana kerukunan yang berbasis kejujuran dan kesadaran
sejati, kerangka filosofis dari istilah kerukunan justru semakin sumir karena
masyarakat terfragmentasi oleh formalitas yang stagnan. Pola hubungan
antarumat beragama hanya akan bersumbu pada pasal-pasal mati, bukan pada
etika, ajaran, dan kearifan lokal.
Ini
berarti kita sedang bicara kesadaran yang tumbuh. Sesuatu yang lebih sulit
diciptakan daripada sekadar merumuskan draf hukum. Padahal, watak kerukunan
yang lahir dari proses regulasi formal cenderung menghasilkan kesadaran
koersif dan semu. Proses akomodasi kerukunan koersif dilaksanakan melalui
beleid dengan kekuatan daya paksanya, sehingga salah satu pihak (baca:
minoritas) yang berinteraksi berada dalam keadaan lemah dibanding pihak
mayoritas.
Salah
satu ancaman yang menghambat agenda kerukunan adalah soal regulasi pendirian
rumah ibadah. Di banyak tempat, terdapat temuan belied pendirian tempat
ibadah yang harus disetujui, salah satunya oleh pemuka agama setempat. Aturan
ini menyulitkan kelompok minoritas karena pemberi stempel izin pendirian
adalah tokoh agama mayoritas.
Karena
itu, menciptakan kerukunan secara organik dalam aturan diskriminatif hanya
akan melahirkan persoalan baru. Ruang masyarakat sipil untuk turut serta membangun interaksi antarumat beragama
semakin sempit, sehingga mereka kehilangan kapasitas yang dalam jangka
panjang akan melemahkan tingkat keberdayaannya. Umat beragama juga semakin
jauh dari spirit persatuan karena
terfragmentasi oleh batasan-batasan peraturan yang kaku. Karena itu,
lebih baik negara memberikan mandat kepercayaan kepada para pemuka agama dan
tokoh masyarakat untuk menggunakan kapasitasnya meretas budaya kerukunan yang
berbasis pada kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini
tergerus oleh mesin modernisasi perlu dihidupkan kembali dalam tata pergaulan
masyarakat. Di Maluku, misalnya, ada budaya Pela Gandong.
Tanpa
aturan berkedok kerukunan pun secara kultural masyarakat bisa membangun titik
temu sumbu-sumbu kesadaran bersama. Pemerintah cukup memberikan ruang
ekspresi kepada entitas masyarakat sipil untuk membangun secara otonom
kehidupan umat beragama yang lebih baik dan harmonis.
Pemerintah
juga sebaiknya berfokus memberikan jaminan ketenangan dan keamanan kepada
warganya dalam menjalankan ibadah. Akar intoleransi di Indonesia sejatinya
tumbuh dalam situasi penegakan hukum yang lemah. Praktek kekerasan dengan
modus operandi yang berbeda-beda terus membuka ruang baru karena terjadi
pembiaran negara. Akibatnya, jaminan keamanan ruang publik dan hak privat
warga negara berada dalam situasi rentan. Seandainya organ negara yang
memiliki otoritas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat berfungsi
maksimal, sungguhpun potensi alamiah naluri tribalisme dimiliki setiap orang,
kecenderungan untuk berbuat kecamuk bisa dikendalikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar