Senin, 23 Juni 2014

Kerukunan Semu

Kerukunan Semu

Achmad Fauzi  ;   Aktivis Multikulturalisme
TEMPO.CO, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Mungkinkah kerukunan sejati antarumat beragama pada masa mendatang sekonyong-konyong bisa tercipta melalui peranti regulasi formal? Saya katakan, tidak! Sebab, muatan regulasi, entah berbentuk undang-undang maupun perda, berpotensi menciptakan sekat yang menghambat ruang interaksi kultural umat beragama. Alih-alih melahirkan suasana kerukunan yang berbasis kejujuran dan kesadaran sejati, kerangka filosofis dari istilah kerukunan justru semakin sumir karena masyarakat terfragmentasi oleh formalitas yang stagnan. Pola hubungan antarumat beragama hanya akan bersumbu pada pasal-pasal mati, bukan pada etika, ajaran, dan kearifan lokal.

Ini berarti kita sedang bicara kesadaran yang tumbuh. Sesuatu yang lebih sulit diciptakan daripada sekadar merumuskan draf hukum. Padahal, watak kerukunan yang lahir dari proses regulasi formal cenderung menghasilkan kesadaran koersif dan semu. Proses akomodasi kerukunan koersif dilaksanakan melalui beleid dengan kekuatan daya paksanya, sehingga salah satu pihak (baca: minoritas) yang berinteraksi berada dalam keadaan lemah dibanding pihak mayoritas.

Salah satu ancaman yang menghambat agenda kerukunan adalah soal regulasi pendirian rumah ibadah. Di banyak tempat, terdapat temuan belied pendirian tempat ibadah yang harus disetujui, salah satunya oleh pemuka agama setempat. Aturan ini menyulitkan kelompok minoritas karena pemberi stempel izin pendirian adalah tokoh agama mayoritas.

Karena itu, menciptakan kerukunan secara organik dalam aturan diskriminatif hanya akan melahirkan persoalan baru. Ruang masyarakat sipil untuk turut serta  membangun interaksi antarumat beragama semakin sempit, sehingga mereka kehilangan kapasitas yang dalam jangka panjang akan melemahkan tingkat keberdayaannya. Umat beragama juga semakin jauh dari spirit persatuan karena  terfragmentasi oleh batasan-batasan peraturan yang kaku. Karena itu, lebih baik negara memberikan mandat kepercayaan kepada para pemuka agama dan tokoh masyarakat untuk menggunakan kapasitasnya meretas budaya kerukunan yang berbasis pada kearifan lokal. Nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini tergerus oleh mesin modernisasi perlu dihidupkan kembali dalam tata pergaulan masyarakat. Di Maluku, misalnya, ada budaya Pela Gandong.   

Tanpa aturan berkedok kerukunan pun secara kultural masyarakat bisa membangun titik temu sumbu-sumbu kesadaran bersama. Pemerintah cukup memberikan ruang ekspresi kepada entitas masyarakat sipil untuk membangun secara otonom kehidupan umat beragama yang lebih baik dan harmonis.

Pemerintah juga sebaiknya berfokus memberikan jaminan ketenangan dan keamanan kepada warganya dalam menjalankan ibadah. Akar intoleransi di Indonesia sejatinya tumbuh dalam situasi penegakan hukum yang lemah. Praktek kekerasan dengan modus operandi yang berbeda-beda terus membuka ruang baru karena terjadi pembiaran negara. Akibatnya, jaminan keamanan ruang publik dan hak privat warga negara berada dalam situasi rentan. Seandainya organ negara yang memiliki otoritas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat berfungsi maksimal, sungguhpun potensi alamiah naluri tribalisme dimiliki setiap orang, kecenderungan untuk berbuat kecamuk bisa dikendalikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar