Minggu, 01 Juni 2014

Kampanye Hitam

Kampanye Hitam

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  01 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kampanye hitam marak lagi menjelang Pilpres 2014. Seingat saya, maraknya sejak Pemilu 2004. Baik dalam rangka pilcaleg, pilkada, maupun pilpres seperti sekarang ini. Saya jadi penasaran.

Apa sih yang menyebabkan kampanye hitam? Mengapa orang getol sekali berkampanye hitam setiap menjelang pemilihan umum? Karena saya peneliti (selain mbahnya empat cucu saya), saya browsing internet. Pertama sekali saya mengarah ke website Proquest yaitu website berisi artikel-artikel akademik, hasilhasil penelitian, buku-buku ilmiah, dan lain-lain yang merupakan salah satu fasilitas penting yang harus ada di universitas-universitas yang bonafid sedunia, termasuk Universitas Indonesia.

Website itu bisa diakses oleh dosen dan mahasiswa yang bersangkutan dengan menggunakan password tertentu. Awalnya saya tidak menemukan satu pun artikel tentang kampanye hitam seperti yang saya maksud, ketika saya memasukkan key words ”black campaign”. Yang banyak muncul justru artikel-artikel tentang black campaign dalam bidang marketing (persaingan dalam pemasaran).

Karena itu, saya balik dulu ke Google untuk mencari deskripsi kampanye hitam seperti yang saya maksudkan untuk dibicarakan di rubrik ini. Maka itu, saya mendapatkan dari Wikipedia bahasa Indonesia rumusan seperti ini: ”Kampanye hitam adalah penggunaan metode rayuan yang merusak, sindiran atau rumor yang tersebar mengenai sasaran kepada para kandidat atau calon kepada masyarakat agar menimbulkan persepsi yang dianggap tidak etis terutama dalam kebijakan publik.

Komunikasi ini diusahakan agar menimbulkan fenomena sikap resistensi dari para pemilih. Kampanye hitam umumnya dapat dilakukan oleh kandidat atau calon bahkan pihak lain secara efisien karena kekurangan sumber daya yang kuat untuk menyerang salah satu kandidat atau calon lain dengan bermain pada permainan emosi para pemilih agar akhirnya dapat meninggalkan kandidat atau calon pilihannya”.

Dari kutipan di atas, kita bisa tarik satu kata kunci yang terkait kampanye hitam dalam artian politik, bukan pemasaran (walaupun sangat mungkin prinsip yang sama terjadi juga dalam persaingan pemasaran) yaitu: permainan emosi. Artinya, kampanye hitam dengan sengaja mempermainkan emosi calon-calon pemilih sehingga mereka risau, galau, atau cemas (anxious) sehingga akhirnya tidak jadi memilih calon sudah dibom dengan kampanye hitam itu.

Dari temuan kata kunci itu, saya kembali ke Proquest dan masuk ke sektor Social Sciences dan menemukan sebuah disertasi yang ditulis oleh Ronald Andrew Holbrook, dari The Ohio State University, yang bertajuk ”Emotion and Campaign Advertising: Causes of Political Anxiety and Its Effects on Candidate Evaluation” (2005). Dalam disertasi itu dikemukakan bahwa seorang pemilih menghadapi ribuan informasi yang diterimanya melalui berbagai media dalam proses ia memilih calon (kandidat) dalam pemilu.

Di antara ribuan informasi itu memang ada yang bisa menimbulkan kerisauan, bahkan amarah pada pemilih, sehingga ia raguragu atau bahkan batal memilih kandidat tertentu. Tetapi dalam penelitiannya, Ronald menemukan bahwa banyak kampanye yang dibuat untuk memanipulasi emosi yang seperti itu (dia tidak menyebutnya sebagai kampanye hitam sehingga saya tidak langsung menemukannya dalam browsing saya) tidak memenuhi sasaran.

Si pemilih tetap saja memilih calon yang sudah dikampanyehitamkan. Ternyata, faktor penyebabnya adalah emosi itu, terutama yang terkait kerisauan dan kemarahan, bersifat spesifik, tidak general (umum). Kita kebanyakan percaya pada mitos bahwa kampanye hitam dengan sendirinya akan memicu kecemasan dan keraguan terhadap calon yang dijadikan sasaran oleh kampanye hitam tersebut.

Padahal, menurut Ronald, ada dua kecemasan yang bisa ditimbulkan oleh kampanye yang memanipulasi emosi yaitu threat based anxiety (TBA/kecemasan karena ada sesuatu yang bersifat ancaman) dan novelty based anxiety (NBA/kecemasan karena ada ihwal baru yang belum diketahui sebelumnya). Kampanye yang menimbulkan TBA seperti keterlibatan kandidat pada kejahatan masa lalu atau sejarah hidup yang pernah kecanduan alkohol dan sebagainya akan memicu pemilih untuk menggali ingatannya tentang masa lalu calon yang bersangkutan.

Kalau tidak ada sesuatu yang mencemaskan dalam ingatannya, ia tidak terpengaruh. Tetapi, kalau ia menemukan dalam ingatannya bahwa memang calon itu terlibat seperti yang dikhawatirkan, akan timbul keraguan dan kemungkinan besar tidak akan memilih calon yang bersangkutan. Dalam TBA pengaruh media massa dan media sosial akan sangat kecil karena orang lebih percaya pada memorinya.

Sebaliknya, jika yang ditimbulkan adalah NBA seperti calon belum berpengalaman dalam politik, wajah baru, kebijakan baru, pemilih akan terdorong untuk mencari informasi lebih banyak dan lebih mendalam lewat media massa atau media sosial.

Keputusan memilih akan bergantung pada apa yang diperoleh melalui informasi media. Ketika Presiden Obama akan mengikuti Pilpres AS untuk yang pertama kalinya misalnya ia harus menghadapi isu tentang dirinya yang bukan Kristen dan nonwarga negara AS. Tetapi, isu ini segera pupus karena tidak ada data di media yang bisa mengukuhkan isu tersebut.

Tentu saja penelitian Ronald (sekarang sudah menjadi Dr Holbrook) tidak serta-merta bisa diterapkan di Indonesia karena Amerika bukan Indonesia. Di Amerika misalnya isu SARA bukan lagi isu sentral seperti di Indonesia. Hal yang ingin saya sampaikan sebagai kesimpulan dari tulisan ini adalah kita tidak perlu terlalu cemas dengan kampanye hitam selama kampanye hitam itu dilakukan secara asal-asalan, apalagi oleh orang-orang yang tidak profesional, seperti yang selama ini kita lihat di pemilu-pemilu Indonesia.

Saya rasa kita perlu lebih waspada pada upaya adu domba antargolongan, antarsekte, dan antaretnik ketimbang kampanye hitam itu sendiri. Kampanye-kampanye adu domba yang biasanya disertai dengan politik uang dan intrikintrik fisik itu lebih berbahaya karena bangsa kita memang masih rentan pada golonganisme dan sektarianisme.

Hasilnya bukan hanya menyebabkan kegalauan terhadap calon tertentu, melainkan juga bisa sampai mengancam kesatuan dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar