Imitasi
Kekerasan “Pokoke Joget”
Tri
Marhaeni Pudji Astuti ; Guru
Besar Antropologi Jurusan Sosiologi
dan
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
|
SUARA
MERDEKA, 17 Juni 2014
KETIKA
menyaksikan tayangan ”Yuk Keep Smile”
di TransTV pada 12 Juni 2014, ada yang mengusik nurani saya, ”Mengapa tayangan yang dikemas dengan
canda ria dan gembira ini sering menayangkan adegan verbal kekerasan?”
Adegan
itu sering diperankan, baik oleh para host maupun bintang tamu yang kadang
bukan dari kalangan selebriti tapi dari penonton awam. Meskipun kita sebagai
orang dewasa memahami adegan berantem, bertengkar, atau saling mengejek itu
hanya sandiwara dan permainan peran, hal itu bisa menjadi contoh nyata yang
buruk bagi pemirsa anak-anak.
Acara
YKS ini punya banyak penggemar dari semua segmen. Bahkan pada hari-hari
tertentu ada segmen khusus anak-anak. Saya cukup lama mencermati sajian
program ini, yang ternyata tidak hanya ”Pokoke
Joget”, tapi juga banyak diwarnai adegan yang kurang memberi contoh baik,
terutama bagi anak-anak.
Pada
tayangan 12 Juni lalu, ada adegan —tentu saja hanya pura-pura— yang
menskenario dua anak kecil saling beradu mulut dengan pantun seolah-olah
hendak berantem. Bukankah itu mencontohkan pembelajaran budi pekerti yang
tidak baik?
Saya
mencatat, tiap kali dalam acara apa pun ketika ditayangkan adegan ”yang tidak
masuk akal”, ”khayal”, atau aneh dari segi logika maka orang dewasa sibuk
harus menjelaskan kepada anak-anak bahwa adegan yang baru saja dilihat adalah
”pura-pura” atau acting. Harus
dengan sangat kuat meyakinkan ”itu
bukan adegan sungguhan”.
Para
orang tua bersusah payah meyakinkan anak-anaknya bahwa itu hanya ”cerita”.
Nah, mengapa YKS malah dengan verbal menayangkan adegan dua anak kecil hendak
berantem, saling berbalas pantun layaknya jawara yang siap berduel?
Bagaimana
adegan itu bisa dipahami oleh anak-anak kita? Bukankah kanak-kanak adalah
masa ”mengimitasi” segala sesuatu yang ada di sekitarnya? Meskipun para
”aktor dadakan” dua bocah tadi (mungkin) paham mereka hanya acting, contoh
adegan itu bakal tercetak kuat di benaknya bahwa berduel dan sok jagoan
adalah hal lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Andaikata pemahaman yang
terakhir ini benar, betapa miris kita memikirkan dampak pada masa depan
anak-anak tersebut.
Salah
satu anak yang ”menang adu mulut” akan merasa sebagai jawara, arogan, dan
superior. Sebaliknya, anak yang dalam adegan itu kalah berdebat karena
mungkin tidak terbiasa bicara kasar maka dia bakal merasa inferior dan
”merasa kalah”. Bukankah dampak ini tidak menguntungkan bagi keduanya?
Alangkah miris manakala blue print tentang rasa superior dan inferior ini
terus berlanjut tercetak kuat pada benak anak-anak, baik yang memerankan
maupun yang menonton. Si superior akan selalu merasa sebagai jawara ”dan
memupuk nafsu angkara sangar” karena itulah yang membuat dia menang.
Sementara
di sisi lain si inferior akan merasa ”nyesak” di dada, jengkel, dendam, dan
ingin membalas. Mungkin hal ini dianggap ”nggak ngaruh”, remeh, dan bukan hal
penting; tetapi bagi saya yang berkonsentrasi pada masalah pendidikan,
tayangan YKS itu sangatlah tidak mendidik.
Melihat dan Mengimitasi
Sosialisasi
nilai dimulai sejak dini sehingga menjadi enkulturasi, dalam hal ini adalah
nilai-nilai yang baik. Masyarakat Jawa, dan masyarakat pada umumnya tentu
sepakat, belajar sopan santun, nilai-nilai baik-buruk, salah-benar,
pantas-tidak pantas sudah dimulai sejak usia kanak-kanak.
Bahkan
sejak anak ada dalam kandungan selalu diperdengarkan hal-hal baik, diajak
berkomunikasi secara imajiner oleh orang tuanya. Pada masa kanak-kanak mulai
diajarkan bagaimana berbicara dengan sopan pada orang yang lebih tua,
berkomunikasi yang menghargai teman sebaya, dikembangkan rasa kebersamaan
untuk bermain bersama, bukan rasa permusuhan.
Hildred
Geertz (1983) dalam Keluarga Jawa menulis, sebelum umur 5 atau 6 tahun anak
dikatakan durung njawa, yang maknanya belum mudheng untuk bersikap ”beradab sopan santun”, belum bisa
mengendalikan perasaannya seperti orang dewasa yang dianggap lebih njawa.
Anak
yang belum njawa tadi dianggap belum mampu berbasa-basi dengan uraian tata
krama yang tepat sesuai dengan situasi yang berbeda-beda. Karena itu
masa-masa ini —bahkan sejak bayi— didikan orang tua menjadi sangat penting,
bagaimana mengajarkan anak-anaknya berbagai hal terkait dengan nilai
baik-buruk, nilai kesopanan, nilai pantas dan tidak pantas, nilai benar-salah
dan aturan-aturan hidup bermasyarakat dengan teman sebaya.
Logikanya,
sudah diajarkan rasa kebersamaan, menghargai teman bermain, menghormati yang
muda saja kadang anak-anak masih berantem, apalagi ini diskenario adegan
berantem. Mungkin kita berpikir ”toh hanya sekali-sekali, tidak tiap hari”,
”namun bagaimana andai tayangan YKS tanggal 12 Juni itu disaksikan sekian
juta pasang mata di seantero Nusantara?
Edutainment
Sudah
sangat sering para pakar komunikasi memberi saran dan kritik tentang berbagai
program televisi yang tidak mengedukasi. Namun tampaknya materi-materi
tayangan tetap tidak jauh bergeser dari yang bersubstansi mengejar bombas
saja. Paling-paling yang dikurangi adalah adegan-adegan ”saru”. Adegan ”kekerasan, kekurangajaran, kemustahilan,
dan ketidaklogisan” terus berlanjut.
Saya
sering harus berkali-kali menjelaskan kepada anak-anak, ”di Indonesia tidak
ada seragam sekolah seperti itu” ketika kami secara tidak sengaja melihat
tayangan sebuah sinetron. Bagaimana kita berharap menghasilkan generasi yang
cerdas, berlogika kuat, berakal sehat, dan beragumentasi dengan logis dan
benar, jika program-program televisi tidak mencontohkan demikian?
Televisi
sudah menjadi penyihir anak-anak di setiap ruang pada setiap waktu. Bahkan
televisi bisa terkemas mungil bersamaan aplikasi telepon genggam. Bagaimana
anak-anak akan menggenggam dunia jika yang ada dalam genggamannya adalah
sihir yang menyesatkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar