Idealitas
Beasiswa Miskin
Elfindri ;
Profesor Ekonomi SDM & Koordinator Program S-3 Ilmu
Ekonomi, Universitas Andalas (Unand), Padang
|
KORAN
SINDO, 18 Juni 2014
Belakangan
ini ramai berita mengenai Raeni, wisudawati terbaik Universitas Negeri
Semarang (Unnes) dengan IPK 3,96 yang datang ke tempat wisuda diantar naik
becak oleh bapaknya yang bekerja sebagai pengayuh becak.
Simpati
mengalir deras ditujukan pada salah satu putri terbaik bangsa itu. Bahkan,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung memberikan Raeni beasiswa ke
luar negeri. Salah satu program perlindungan sosial yang dikembangkan di
Indonesia adalah menyediakan beasiswa untuk anak usia sekolah dan diharapkan
mampu menjangkau untuk seluruh jenjang pendidikan.
Jika
pada jenjang pendidikan dasar beasiswa dapat disediakan melalui pembebasan
dari segala beban sekolah, pada jenjang pendidik tinggi beasiswa untuk
anak-anak keluarga miskin disediakan melalui program afirmasi. Anak keluarga
miskin setelah diterima di PT dinyatakan memperoleh beasiswa akan menerima
tunjangan hidup dan bebas uang kuliah. Program afirmasi pendidikan yang
diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah berjalan.
Setidaknya,
upaya ini dilakukan dengan maksud agar anak-anak keluarga miskin dapat
melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Mengirim anak-anak
tamat SMU dan SMK keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang
pendidikan tinggi memangsebuahharapannamun cukup kompleks. Mengingat, beban
biaya hidup dan biaya pendidikan tinggi merupakan sesuatu yang tidak mungkin
bisa dipenuhi dengan mudah.
Selain
dari itu, melalui program ini, tanggung jawab perguruan tinggi negeri
khususnya juga diperbesar. Perlakuan khusus anak-anak tamatan pendidikan
SLTA, di Papua misalnya, dapat melanjutkan pendidikan pada
universitas-universitas negeri di Jawa. Dengan cara ini, diperkirakan angka
partisipasi murni pendidikan tinggi dapat dinaikkan menjadi 30%. Capaian ini
masih tetap jauh dibandingkan dengan kondisi yang telah dicapai oleh negara
seperti Korea Selatan, di mana angka partisipasi murni pendidikan tingginya
sudah melebihi 65%.
Penyediaan beasiswa untuk anak-anak yang
berasal dari keluarga miskin tentunya m erupakan sebuah keyakinan yang
tinggi. Melalui pendidikan sampai menamatkan jenjang pendidikan tinggi, akan
memutus mata rantai kemiskinan. Dengan asumsi, setelah selesai melalui masa
pendidikan di perguruantinggi, mereka akan sanggup mendapatkan pekerjaan yang
lebih baik, kemudian menghasilkan eksternalitas setidaknya dalam keluarga
miskin.
Dalam
kaitan ini, Luisa Fernandez dari Bank Dunia mencoba memperkenalkan life cycle program (LCP) dalam
menetapkan program sosial. Dalam pandangan life cycle, diperlihatkan bahwa
menargetkan program sosial sebaiknya dengan melihat bagaimana kondisi
penduduk yang masuk ke dalam penghasilan 10% terendah. Pada kelompok ini
kemudian dihitung bagaimana kondisi dan jumlah dari anak-anak yang masuk ke
dalam kategori termiskin.
Misalnya,
akses pendidikan prasekolah, tingkat daftaran pada seluruh jenjang
pendidikan, tingkat capaian mata pelajaran, akses pada jenjang pendidikan
tinggi, penyediaan keterampilan untuk usia kerja, dan kondisi masyarakat
kelompok usia tua. Dengan menggunakan data Susenas tahun 2012, salah satu
hasil yang menarik adalah hanya sekitar 2% anak-anak keluarga miskin
(pengeluaran 10% terendah) yang sempat mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Rendahnya
akses pendidikan tinggi anak dari keluarga miskin disebabkan mereka sudah
lebih dulu putus sekolah pada jenjang pendidikan sebelumnya. Apa yang membuat
hasil perhitungan ini menjadi menarik? Jawabannya ketika Direktorat Jenderal
Pendi-dikan Tinggi menyediakan beasiswa melalui program afirmasi untuk
kelompok miskin, ternyata jumlah beasiswa melebihi jumlah anak yang
berpotensi memasuki jenjang pendidikan tinggi.
Lantas,
beasiswa yang terserap untuk jenjang pendidikan tinggi selama ini bagi siapa?
Ada kemungkinan program pendidikan untuk pendidikan tinggi tidak akan banyak
membantu keluarga sangat miskin, namun justru lebih masuk ke dalam kelompok
keluarga pada decile terendah kedua, ketiga atau keempat. Katakanlah masuk ke
kelompok pengeluaran antara 20–40%.
Mempertajam Arah Sasaran
Program
proteksi sosial yang bertujuan agar anak yang berasal dari keluarga miskin
dapat sekolah harus diperluas jangkauannya. Harus ada data soal mereka yang
difabel, anak yang bersal dari keluarga yang secara geografis sulit
dijangkau, serta anak dari keluarga yang memiliki masalah sosial ekonomi,
agar beasiswa dapat diarahkan untuk jenis dan jenjang pendidikan yang prospek
untuk masa depan mereka.
Pertama
jenis pendidikan, alangkah lebih terarah jika beasiswa diarahkan untuk
meningkatkan kesempatan bagi anak keluarga miskin memasuki jenjang pendidikan
menengah. Dalam kaitan ini, selain mereka bisa mendapatkan kesempatan untuk
berpendidikan, sebaiknya diarahkan kepada jenis pendidikan vokasi. Pendidikan
vokasi akan memudahkan mereka untuk lebih cepat memasuki pasar kerja.
Kedua,anak-anak
dari keluarga miskin, kalaupun diberi kesempatan sampai jenjang pendidikan
tinggi, diharapkan terpilih pada jenis jurusan yang memang diperlukan oleh
pasar kerja. Jurusan-jurusan yang sulit memperoleh pekerjaan tentunya akan
tetap tidak memudahkan mereka masuk ke pasar kerja.
Michael
P Todaro pernah mengungkap pada pertengahan tahun 1980-an bahwa sekalipun
pendidikan tinggi dapat diakses oleh anak-anak keluarga miskin, ketika mereka
memasuki pasar kerja, akan banyak kendala yang berarti. Hal ini disebabkan,
ketika pendidikan yang diikuti adalah jenis-jenis jurusan yang memang tidak
banyak diperlukan di pasar kerja.
Oleh
karenanya, sangat tepat jika afirmasi pendidikan untuk jenjang pendidikan tinggi
diarahkan kepada jenis pendidikan keterampilan. Agenda akses pada
pendidikan tinggi bermutu perlu kita tunggu dari kandidat presiden sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar